Selasa, 26 Juni 2007

Presiden Turun Gunung


27 Juni 2007

Ada dua berita soal Presiden SBY yang menarik perhatian saya hari ini. Pertama, soal Presiden berkantor di Sidoarjo; kedua, Presiden akan meresmikan rel ganda Tanah Abang-Serpong. Menurut saya, kedua peristiwa itu memiliki benang merah; soal apa yang bisa dilihat dan tidak bisa dilihat seorang Presiden.

Yang pertama, yang kemudian diistilahkan sebagai 'turun gunung'. Setelah mendengar paparan para korban Lapindo di Cikeas beberapa hari lalu SBY merasa harus datang dan melihat sendiri kehidupan di Sidoarjo. Bahkan, menurut kabar, SBY menangis mendengar derita para korban. Saking empatinya, SBY kemudian mengemasi barang-barangnya dan berangkatlah ia ke Sidoarjo dan berniatkan untuk berkantor di Surabaya. SBY memilih mes perwira Angkatan Laut yang menurut media dijaga superketat. SBY datang dengan serombongan pejabat elite. Kemarin, SBY memang meninjau lokasi, tapi dengan menggunakan helikopter. Menurut KoranTempo (27/7) kegiatan SBY ini diprotes korban Lapindo karena yang diinginkan adalah SBY menengok langsung ke lokasi. Dan ketika helikopter mendarat, hanya terlihat sekerumunan warga Porong menyambut. Yang lainnya lebih memilih nonton lomba karaoke dangdut yang diadakan Kepolisian Resor Sidoarjo. Penduduk yang diwawancara KoranTempo mengungkapkan kekecewaannya "Percuma, paling cuma janji doang". Yang lainnya mengungkapkan kalimat senada, "Sudah banyak pejabat datang cuma tebar pesona".

Itu tadi soal peristiwa pertama.

Yang kedua, adalah rencana peresmian rel ganda Tanah Abang-Serpong. Sudah sejak kemarin
Kompas memuat berita tentang derita para penghuni gubuk liar di sekitar rel yang terpaksa mengungsi karena gubuk mereka dibongkar tramtib. Hari ini, Kompas memuat lagi sekilas tentang satu malam yang mereka lewatkan beratapkan langit. Seorang anak kecil nampak tak bisa tidur tenang karena digigit nyamuk. Ya, Presiden mau lewat sehingga pinggiran rel harus bersih dan rapi.

Dari dua peristiwa tadi, persamaannya adalah soal apa yang terjadi ketika Presiden berada di tengah rakyat. Saat ketika Presiden turun gunung. Yang pertama untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya. Untuk menyaksikan penderitaan rakyatnya yang tertimpa bencana. Pemerintah pun memfasilitasi dengan menyediakan helikopter agar Presiden bisa melihat lebih jelas.

Sementara yang kedua, untuk melihat apa yang sebenarnya tidak terjadi. Presiden akan melewati jalur kereta yang terletak di lokasi kumuh. Pemerintah memfasilitasi perjalanan dengan cara menggusur hunian liar agar Presiden tak melihat betapa kumuhnya daerah sekitar stasiun Tanah Abang.

Paradoks.

Apa yang ingin dilihat? Penderitaan macam apa yang ingin dirasakan Presiden? Siapa sebenarnya yang berhak menentukan apa yang bisa dilihat dan apa yang tidak bisa dilihat seorang Presiden? Barangkali memang bukan salah sang Presiden semata. Saya kok cenderung menuduh pada sekelompok invisible hands dengan mata licik dan terus mengikik jika sedang merencakan sesuatu (tiba-tiba mengingatkan saya pada tokoh coyote jahat di film-film kartun dengan matanya yang merah menyala licik). Gerombolan ini ada di hampir setiap pemerintahan. Penuh tipu muslihat, haus kekuasaan dan pemburu materiil.

Di jaman Orde Baru, pemerintah pernah membuat program kunjungan mendadak, yang biasa disebut sidak (saya lupa apa kepanjangannya). Sampai sekarang program ini cukup efektif untuk melihat penyimpangan yang terjadi di lapangan. Biasanya dilakukan sesudah libur panjang untuk melihat apakah para pegawai negeri mematuhi tanggal masuk kantor, atau di pasar melalui 'operasi pasar' untuk melihat harga riil komoditas tertentu di pasar tradisional.

Namun, hanya sebatas itu. Kegiatan berkunjung secara mendadak nampaknya hanya terbatas pada apakah suatu peraturan dipatuhi ataukah tidak. Kunjungan mendadak ini juga belum mampu membuka mata para pejabat soal penderitaan rakyat yang sebenarnya.

Saya gemas. Saya berharap para pejabat itu benar-benar turun ke jalan. Merasakan sengat matahari dan semburan debu.

Senin, 25 Juni 2007

Buku Pin Yathay


26 Juni 2007

Kemarin saya datang ke acara peluncuran buku di Bentara Budaya. Buku ini ditulis oleh Pin Yathay, seorang insinyur Kamboja yang berhasil lolos dari rezim Khmer Merah di tahun 1976. Buku berjudul Pertahankan Hidupmu Anakku ini berisi pengalaman pribadi Pin, juga buku kedua setelah sebelumnya ia meluncurkan L'Utopie Meurtriere (Utopi Berdarah) yang ditulis dalam bahasa Perancis. Kedua bukunya sama-sama mengungkapkan suasana mencekam di Kamboja. Setidaknya itu yang dituliskan oleh David Chandler dalam kutipan pengantar buku keduanya.

Saya sendiri belum membaca, saya kira kemarin saya dapat gratis buku itu dan ternyata tidak. Mau beli tidak cukup uang. Meski sudah didiskon. Ya sudah lain kali saja.

Yang menarik adalah acara diskusinya. Pembicaranya Hilmar Farid seorang sejahrawan muda yang cerdas dan Mugiyanto dari IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang). Mugiyanto merasakan peristiwa Pin sama dengan apa yang terjadi di Indonesia yaitu mengenai penghilangan paksa. Orang-orang Kamboja yang menolak Khmer Merah di bawa ke hutan dan kemudian tidak diketahui bagaimana nasibnya. Menurut Farid, penghilangan paksa ini menimbulkan efek teror yang lebih mengerikan dibanding dengan peristiwa di Rwanda dimana tentara membunuh warga secara demonstratif di jalanan.

Saya kok tidak begitu sependapat, bagi saya dua-duanya sama-sama mengerikan. Bedanya yang pertama saya melihat langsung, misalnya saudara saya dipancung di depan mata kepala saya sendiri. Saya tidak yakin apakah di lain hari saya masih menjadi manusia normal? Saya kira peristiwa itu teramat menyakitkan. Menimbulkan trauma yang luar biasa. Dan, bagaimana jika saya kehilangan saudara saya yang sampai sekarang saya tidak tahu kemana rimbanya? Negatifnya saya bisa menjadi pemurung karena hanya memikirkan nasibnya, imajinasi saya bisa kemana-mana, barangkali saudara saya dibunuh dengan kejam, atau langsung didor, ataukah disiksa terlebih dahulu? Jika disiksa, bagaimana bentuk penyiksaannya? Sungguh mengerikan. Positifnya, ya kalau itu bisa disebut positif, saya masih diperbolehkan berharap bahwa saudara saya masih hidup, bisa selamat dan sekarang hidup wajar. Mungkin kami akan bertemu kembali atau mungkin tidak.

Kedua-duanya sama-sama menyedihkan dan mengerikan, menurut saya.

Di tengah diskusi, ada seorang penanya yang mengkritik rakyat Kamboja itu penakut, kenapa tidak berani memberontak waktu itu? Heh..menurut saya ini kritik keterlaluan! Teganya dia berkata seperti itu. Kedua pembicara berusaha membela Pin. Mugiyanto mengatakan bahwa adakalanya seseorang berada pada situasi yang memang tidak bisa melawan. Sementara Farid mengatakan bahwa ketika itu yang terjadi adalah atomisasi. Berusaha menyelamatkan diri sendiri karena situasi memang kacau. Upaya untuk menegakkan solidaritas dan kebersamaan telah dimatikan oleh Khmer Merah.

Buat saya, tetep si bapak penanya itu yang keterlaluan dan tidak punya empati. Sudah dijawab, eh dia masih ngeyel. Pertanyaan yang sama dilontarkan dua kali.

Yang menarik adalah kalimat Farid di penghujung diskusi. Ia mengatakan bahwa meskipun banyak museum dan tugu peringatan dibangun, data dan dokumentasi dikumpulkan, dan pengadilan digelar; tetap saja tanggul dan sawah lah yang menjadi locus horribilis sesungguhnya - masih tetap menjadi bagian hidup sehari-hari. Imaji kengerian tetap membayang dan menghantui betapa pun orang memilih untuk tidak mengingatnya lagi.

Saya sepakat dengan ini. Seperti kalimat pembuka dalam film Osama (tentang kekejaman Taliban di Afganistan) yang saya tonton beberapa waktu lalu ada kutipan Nelson Mandela:
I can forgive, but not forget.


Rabu, 20 Juni 2007

Cawan kita pecah dan sudah tidak ada lagi

21 Juni 2007

Judul blog ini saya kutip dari hasil wawancara Ruth Benedict, tokoh antropologi budaya yang sudah almarhum yang diterbitkan dalam bukunya yang terkenal Patterns of Culture (1934). Wanita cantik ini melakukan wawancara dengan seorang kepala-suku Indian-Penggali bernama Ramon untuk mencari tahu mengenai adat kebiasaan suku Indian-Penggali.

Ramon beragama Kristen yang juga dikenal sebagai ahli penanam pohon persik dan tanaman abrikos (rosaceae). Ramon sangat suka bercerita soal makanan yang diolah dari tanaman gurun yang dipetik dengan kasih sayang karena menyadari pentingnya keberadaan tanaman itu bagi sukunya. Ramon sangat tidak menyukai makanan dalam kaleng yang kini dengan mudah dapat diperoleh di tukang daging karena dianggap memerosotkan tabiat bangsanya.

Pada suatu hari, Ramon tiba-tiba menghentikan ceritanya tentang cara melembutkan mesquite (semacam kacang) dan cara membuat sop biji pohon oak. Kemudian berkatalah ia tanpa ada perubahan tekanan suara: "Mula-mula Tuhan memberi sebuah cawan, cawan dari tanah, kepada setiap bangsa. Dan dari cawan tersebut mereka minum hidupnya. Mereka mencobai air itu. Akan tetapi cawannya tidak sama. Cawan kita sekarang pecah. Cawan itu sudah tidak ada lagi".

Ruth menerjemahkan kalimat-kalimat Ramon ini sebagai berikut: Hal-hal yang memberi makna kepada hidup Indian-Penggali, tatacara makan di rumah, kewajiban-kewajiban berdasarkan sistem ekonominya, serangkaian upacara di dusun, saat kerasukan ketika melakukan tarian-tarian beruang, norma tentang baik dan buruk - semuanya telah hilang dan hilanglah pula bentuk dan makna hidup mereka.

Menurut Ruth, Ramon barangkali tak bermaksud mengatakan bahwa bangsanya telah musnah. hanya saja dalam pikirannya terbayang kehilangan sesuatu yang sama nilainya dengan hidup itu sendiri; yakni keseluruhan dari norma-norma dan kepercayaan bangsanya. Memang, tulis ruth, masih ada cawan-cawan lain yang berisi air hidup dan mungkin airnya sama saja, akan tetapi apa yang telah terjadi itu tak bisa dibetulkan lagi. Kita tak bisa menambah sepotong di sini dan mengurangi sepotong di sana. Bentuknya hakiki, satu dan tak bisa dipecah-pecah. Dan, lagi cawan itu adalah cawan mereka sendiri.

Ini adalah soal keprihatinan generasi sebelumnya terhadap kehidupan masa kini. Keprihatinan akan hilangnya kebudayaan yang selama ini dijunjung tinggi, terkikis oleh kebudayaan baru. Oleh apa yang generasi sekarang sebut sebagai modernisasi. Menjadi modern bila mengkonsumsi makanan kaleng yang mungkin dirasa lebih praktis ketimbang mencari tanaman di gurun.

Peristiwa ini menurut saya sangat mungkin akan terus terulang. Satu kebudayaan bisa tergerus oleh kebudayaan yang baru. Keprihatinan demi keprihatinan akan terus bermunculan. Saya pun mulai merasakan hal yang sama. Umur mulai beranjak, anak saya sudah lahir, zaman bergulir, banyak perubahan di sekitar saya. Terkadang, saya kangen masa lalu. Kangen makanan tradisional yang makin jarang dijumpai macam gerontol (jagung rebus yang ditaburi gula dan parutan kelapa), pecel keong mas, cui (ini saya tidak tahu dari apa, tapi bentuknya seperti jongkong dan warnanya oranye). Saya juga kangen mainan gudir (semacam agar-agar tapi tidak bisa dimakan) yang harus dibikin sendiri dari buah (saya lupa namanya tapi persis seperti buah flamboyan yang sudah hitam, kulitnya lah yang diperas-peras di air kemudian disaring, air saringannya didiamkan sebentar dan jadi persis seperti agar-agar).

Jaman sekarang mainan anak-anak instan semuanya. Beberapa mainan anak laki yang ingin saya ajarkan pada anak saya sulit dicari. Senang rasanya masih bisa lihat mainan tradisional itu dari serial si Bolang di teve 7. Ada meriam bumbung yang terbuat dari bambu besar yang kemudian direkayasa sedemikian rupa jadi meriam. Atau main tulup pake peluru karuk (kuncup bunga jambu), atau kertas atau lempung. Tulupnya dibuat dari bambu kecil. Tapi nyatanya anak saya lebih tertarik pada kabel listrik, pada cd, dan pada komputer.

Saya berusaha memperkenalkan anak saya pada alam. Saya ajak dia berkebun, saya ajak ke kebun raya, saya perlihatkan film-film David Attenborough. Saya biasakan dia nonton si Bolang. Nyatanya dia lebih tertarik pada serial si Unyil yang berkunjung ke pabrik-pabrik. Tadi pagi saya perlihatkan film David Attenborough tentang tanaman dan serangga, tapi cuma sebentar kemudian dia tinggal.

Soal musik. Karena saya penyuka jazz, saya belikan kaset "jazz for kids" untuk anak saya. Tidak semua dia suka, tapi anak saya sangat menyukai kaset spirogyra "love and other obsession", juga dia menyukai lagu-lagu klasik karena saya belikan khusus untuk dia, "classics for babies". Sekarang anak saya memang jadi suka menyanyi, tapi favoritnya adalah lagu bertempo cepat macam lagu ska tip-ex dan lagunya project pop yang terbaru (saya lupa judulnya metal vs....). Beberapa lagu pop dia juga suka. Nonton MTV Ampuh adalah kegemarannya.

Saya sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi ya..tidak semuanya diterima. Mungkin inilah pergeseran generasi. Saya punya keinginan agar ada yang bisa ditularkan, ada kebiasaan yang bisa saya wariskan ke anak saya. Tapi saya harus merelakan mereka menyaringnya. Barangkali mereka hanya akan sekadar tahu atau barangkali mereka akan memodifikasinya sesuai kebutuhan jamannya. Dan yang lama kemudian menjadi sejarah.

Selasa, 19 Juni 2007

Menjadi Sosial

20 Juni 1997

Semenjak saya tidak punya mobil, andalan saya adalan angkutan kota. Tapi ada banyak hal yang bisa saya pelajar dari berkendara dengan fasilitas publik ini. Terutama adalah bahwa pengalaman ini mengusik rasa sosial saya.

Pertama,
saya merasa lebih menghargai uang. Bayangkan saja hanya dengan 2000 perak saya bisa melakukan mobilitas berkilo-kilometer jauhnya. Atau bahkan dengan 1500 perak -jika naik KRL ekonomi-, bahkan bisa lebih jauh lagi. Bandingkan dengan jika saya membawa mobil sendiri. Uang "segitu" rasanya tidak banyak berarti, buat parkir saja tidak cukup. Buat beli bensin, jaman sekarang minimal 25ribu perak. Pengalaman ini membuat saya kemudian belajar menyimpan uang dengan hati-hati dan lebih cermat. Seringkali koin-koin 500perak dan uang seribu bertebaran di rumah, entah di atas kulkas, di atas meja, di jendela, atau di atas rak. Kadang ketika saya hitung jumlah koin-koin itu jumlahnya bisa sekitar 5rb-an. Jika dihitung sebagai biaya perjalanan, wah, saya bisa melakukan mobilitas yang lumayan jauhnya. Dengan asumsi, pilihan angkot adalah moda transportasi massal berkelas ekonomi.

Kedua, saya melihat lebih banyak dan menjadi tahu lebih banyak. Mengapa begitu? Saya termasuk warga negara yang tidak alergi dengan berbagai macam jenis moda transportasi. Naik apapun hayo. Hampir semua pernah saya rasakan dari yang jenis taksi (untuk yang ini saya pilih merek demi keamanan- yaitu express atau bluebird), KRL (ekonomi dan ac), bis (bis kota reguler, patas non-ac, patas ac, feeder busway, busway), roda tiga (bajaj diesel, bajaj bensin/gas, bemo) hingga roda dua (ojek). Satu yang belum pernah saya nikmati yaitu kapal dari moda transportasi waterway karena masih sangat baru, tapi suatu saat saya ingin juga mencoba. O, ya monorail juga sebentar lagi akan jadi. Yang satu ini membuat saya tak sabar menunggu.
Kembali ke soal kita, menggunakan transportasi umum berarti membuat kita lebur ke dalam masyarakat, kita menjadi masyarakat kebanyakan. Banyak sekali yang sudah saya lihat, dan membuat saya tersadar bahwa Indonesia ini masih sangat perlu berbenah. Maksud saya adalah pembangunan buat mereka yang terpinggirkan. Saya tuliskan disini jenis mereka yang terpinggirkan itu seturut yang saya lihat di sepanjang perjalanan.

1. pengemis; ada yang dengan luka nanah berbau busuk menyengat, ada yang bawa bayi dengan payudara menjuntai, ada perempuan bawa bayi tapi dengan susu botol atau cuma diisi air (barangkali bayi pinjaman), ada perempuan gemuk dan tegap yang gandeng laki-laki buta (barangkali suaminya atau sekadar sebagai alat), ada anak umur sekitar 5 atau 6 th yang bawa-bawa patahan sapu sekadar bersih-bersih kereta, ada juga abg cowok yang nggak ngomong apa-apa tapi langsung nyodorin tangan minta uang, juga ada yang ngaku-aku habis lepas dari penjara dan butuh uang, ada juga yang ngaku bapaknya lagi di rumah sakit dan perlu operasi.

2. pengamen; ada pengamen puisi, pengamen cerita anak (saya salut juga, kok ya darimana idenya bacain cerita dari selembar kertas lusuh kalau nggak salah tentang semar gareng petruk dan si kuncung), pengamen lagu (dari lagu jawa, sunda (kalau yang bagus suaranya bikin ngantuk), betawi, pop, dangdut, keroncongan, rohani-bisa kristen, bisa islam). Favorit saya adalah rombongan pengamen yang mangkal di pasar serpong. Mereka membawa peralatan komplit, biola, gendang, dan gitar. Lagu-lagunya biasanya dangdut punya Roma Irama yang dinyanyikan hanya sekali tapi sangat rapi pembawaannya - sepertinya mereka sering berlatih. Kabarnya mereka anak-anak dari sanggar akar yang bermarkas di Tangerang.

3. peminta sumbangan; untuk pembangunan mesjid atau sekolah anak yatim piatu dengan modal kotak kayu, amplop, atau fotokopian yang sudah lusuh.

Barangkali bagi banyak pengguna transportasi umum lainnya, apa yang saya lihat ini adalah pemandangan biasa. Dan, memang itulah yang lama-lama saya rasakan. Saya menjadi terbiasa. Karena menjadi terbiasa kemudian saya tidak memikirkannya lagi. Sepanjang perjalanan melakukan aktivitas ringan-baca buku, merajut, melamun, memikirkan ide-ide baru, bersenandung. Jika berangkat kerja saya memikirkan apa yang akan saya lakukan nanti di kantor, jika pulang kerja saya akan memikirkan anak saya yang sedang menunggu di rumah. Terkadang saya memang mencari-cari ide baru atau gagasan-gagasan yang kiranya bisa dituangkan jadi tulisan atau jadi bahan penelitian. Yang tentunya harapan saya adalah akan menambah pemasukan. Yang kemudian direncanakan adalah saya akan membeli sesuatu dari uang itu atau melakukan sesuatu seperti liburan atau sekadar mengajak anak saya jalan-jalan.

Apakah saya terpikir untuk melakukan sesuatu untuk mereka yang saya tulis tadi?
Tentu saja tidak! Saya akan berpikir bahwa saya ini hanyalah warga negara biasa yang tidak pada tempatnya memikirkan hal itu. toh, ada Dinas Sosial, toh ada pemerintah daerah, toh, ada tramtib yang seharusnya memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mereka.

Saya ingat ada seorang pengusaha kerajinan Yogya yang mendirikan semacam yayasan untuk menampung anak-anak yang dia temui di setiap perempatan jalan. Ide itu muncul setelah ia pulang dari Jerman dan terkaget-kaget melihat banyaknya anak jalanan di Yogya. Ia kemudian menampung mereka dan memberi pelatihan berbagai kerajinan tangan. Pendapatan dari penjualan itu digunakan untuk membiayai hidup mereka. Panti tempat menampung anak-anak jalanan itu terletak di belakang rumah utama. Jaraknya hanya lima meter saja. Mirip seperti panti asuhan lainnya, isinya tempat tidur susun berderet rapi. Tak jauh dari bangunan itu ada bengkel kerja. Isinya sedikit berantakan, ada berbagai barang kerajinan di sana baik yang sudah selesai maupun yang masih dalam proses. Kebanyakan adalah barang-barang dari tanah liat yang kemudian diberi modifikasi. Nampak pula beberapa tukang yang tengah menyelesaikan bangunan baru - rupanya akan ada perluasan karena bangunan yang lama dirasa kurang besar untuk menampung anak-anak yang jumlahnya makin bertambah.

Saya ketika itu hanyalah staf redaksi yunior dari sebuah terbitan berkala untuk kalangan sendiri yang diberi tugas untuk membuat tulisan tentang anak yang terbuang. Seingat saya, saya datang tiga kali ke sana. Pertama untuk janjian wawancara, kedua untuk bertemu dengan anak-anak, dan ketiga saya lupa untuk apa, barangkali untuk menyerahkan hasil tulisan atau untuk bertemu isterinya. Isterinya seorang Jerman yang tengah hamil tua. Wajahnya nampak muram, kusut dan terlihat letih.

Usai wawancara saya duduk sebentar di teras belakang untuk menikmati secangkir teh dan hidangan ala kadarnya. Sang isteri menemani saya karena suaminya sedang tak di rumah. Tanpa saya duga, ia menawari saya pekerjaan sebagai staf yayasan. Ia menceritakan bahwa pekerjaan di rumah sungguh banyak, dari mengurus tukang hingga anak-anak. Ia harus memasak untuk mereka dan mengecek sekiranya ada yang diperlukan. Selain itu ia juga harus mengurus soal pendanaan dari luar negeri. Semua ia urus sendiri, sementara suami sibuk bepergian untuk memasarkan produk kerajinan. Dengan kondisi hamil tua, saya bisa memaklumi keluhannya.

Begitulah, ia menawari pekerjaan sebagai staf di yayasan tersebut dengan gaji 30rb sebulan. Ketika itu memang saya belum memiliki pekerjaan tetap, kerja di majalah internal ini cuma sebulan sekali dengan bayaran ala kadarnya. Saya sempat bimbang, tapi di tahun-tahun itu gaji fresh graduate macam saya seharusnya 400-500ribu sebulan. Gaji yang ditawarkan jauuuuh lebih sedikit, meskipun saya paham ini kerja sosial. Saya mempertimbangkan juga soal lokasi yang lumayan jauh dari rumah. Aduuh, dengan halus saya menolak. Ketika itu saya benar-benar mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan pemasukan yang lumayan karena saya ingin membantu keluarga.

Selang sekitar satu bulan dari hari itu saya dikejutkan oleh berita di koran lokal. Isteri pengusaha itu bunuh diri pagi hari di kamar mandi dengan cara minum baygon. Perasaan saya kacau. Sungguh, saya merasa menjadi bagian dari peristiwa itu. Ada perasaan bersalah dalam hati saya. Seandainya saya menerima tawaran itu barangkali kejadian itu tidak akan pernah terjadi. Atau seandainya saya sekadar membantu untuk sementara sambil saya cari kerjaan, kan bisa meringankan beban pikirannya?

Sampai sekarang kejadian ini masih terus melekat di benak saya. Ironi menurut saya. Ini pengalaman yang menurut saya orang harus mampu membantu dirinya sendiri jika berniat membantu orang lain. Idealisme yang muncul kurang diimbangi dengan kemampuan materiil. Memang sih ada satu dua orang yang mampu membantu orang lain hingga mengesampingkan dirinya sendiri. Kebanyakan mereka yang berkegiatan di bidang sosial adalah orang-orang yang mampu. Setidaknya ini berdasarkan pengalaman saya mengamati perilaku teman-teman. Mereka yang aktif di LSM ataupun organisasi non-profit lainnya adalah mereka yang berasal dari keluarga mampu. Atau setidaknya memiliki materi yang cukup untuk menyokong kegiatan sosialnya. Para tokoh LSM rata-rata memiliki gaya hidup yang khas. Terkadang dari sekadar penampilan fisik saja sudah terlihat.

Bagaimana dengan saya sendiri? Saya memang lebih nyaman bekerja di organisasi non-profit. Tapi saya tidak memiliki kecukupan materi untuk mendukung kinerja saya menjadi optimal. Pergerakan saya terbatas karena saya tidak punya moda transportasi sendiri. Juga karena saya perempuan yang sudah beranak. Jika menggunakan fasilitas umum, tentunya taksi jadi pilihan jika hari sudah terlalu malam. Tapi untuk naik taksi jika sering-sering, jelas tidak mampu saya. Bisa-bisa susu anak jadi tidak terbeli. Sekarang saja saya merasa kewalahan karena sering nombok pengeluaran kantor.

Ironi lagi. Saya merasa ingin melakukan sesuatu untuk mereka yang saya lihat di sepanjang perjalanan. Tapi saya tidak mampu. Saya gemas dengan pemerintah, gemas dengan koruptor. Seharusnya dana untuk membuat mereka hidup lebih nyaman itu ada. Dana yang bukan sekadar kado sinterklas, tapi yang membuat mereka menjadi sosok manusia yang mandiri dan eksis di masyarakat. Tiba-tiba saya jadi ingat diskusi saya ketika SMA. Di hari peringatan 17 Agustus 1986 itu saya memberi judul makalah presentasi dengan "Satu Kata Merdeka buat Mereka". Yang dimaksud mereka di sini memang adalah kelompok marjinal ya salah satunya adalah mereka yang saya sebut di awal tadi.

Dan sampai kini pun judul makalah itu masih patut saya pertanyakan sendiri, apakah mereka itu sudah menikmati kata merdeka? Sudah mengecap pembangunan? Sudah menjadi bagian dari pembangunan?

hidup sederhana

19 Juni 2007

Ada situs menarik di internet. Namanya New American Dream. Ini gerakan moral; ajakan agar masyarakat memiliki gaya hidup sederhana, tidak konsumtif serta menjaga kelestarian alam. Misinya: membantu masyarakat Amerika agar bertanggung jawab dalam melakukan konsumsi secara bertanggung jawab demi melindungi lingkungan, meningkatkan kualitas hidup, dan mempromosikan keadilan sosial.

Gerakan ini memang ditujukan bagi masyarakat Amrik - sesuai dengan namanya. Mereka memimpikan masyarakat Amerika yang bergaya hidup sederhana dan tidak materialistik. Gerakan ini berasumsi bahwa apapun yang kita lakukan memiliki dampak. Tugas kita adalah mengakali agar dampak tersebut selalu positif. Tiga motto yang mereka promosikan adalah:

1. Living consciously; means getting more of what really matters in life, being aware of what’s going on around you, finding balance, and having a little fun while you’re at it;

2. Buying wisely; means becoming a positive force in the marketplace, using your purchasing power to support business practices that are safer for the environment and better for people;

3. Making a difference; is all about making sure your citizen voices are heard, being active in your community and letting policymakers know where YOU stand.

Bukannya saya mau mempromosikan mereka, tapi memang ide dan konsep mereka menarik dan perlu untuk kita simak. Bahkan saya berpikir untuk membuat gerakan serupa di Indonesia.

Sebagai seorang ibu saya mulai cemas dengan apa yang ditawarkan pasar kepada anak saya, juga mulai mencemaskan pada bagaimana pasar dan gaya hidup masyarakat masa kini mempengaruhi anak saya.

Coba saja kita perhatikan ada berapa iklan dalam jeda sebuah acara anak di televisi. Iklan-iklan itu digarap dengan profesional dan memang membuat produk yang ditawarkan menjadi menarik dan sangat menggoda. Seringkali anak saya kemudian berkata, "Ibu beli yang itu, dong".

Saya sering merasa kesulitan juga untuk menjelaskan pada anak saya ketika teman-teman anak saya datang ke rumah hanya untuk pamer barang yang baru. Budaya pamer ini benar-benar memuakkan. Saya sendiri heran, apa orang tuanya nggak memberi nasihat? Atau justru orang tuanya yang bangga karena mampu membelikan barang istimewa buat anaknya? Saya terus terang tidak suka lagu anak-anak yang isinya soal pamer sepatu baru atau baju baru atau sepeda baru ke teman-temannya. Lagu itu tidak mendidik menurut saya, meskipun lagu itu ciptaan ibu Sud atau pak AT Mahmud (yang mana saya lupa). Mohon maaf. Bayangkan saja, ketika saya sedang tidak punya uang kemudian teman anak saya datang dan pamer barang baru, selanjutnya anak saya masuk dan minta dibelikan barang yang sama. Aduh, jengkel sekali saya. Ya jengkel sama teman anak saya, ya sama orang tuanya. Juga soal barang-barang di rumah, anak saya beberapa kali minta dibelikan tv yang besar dan mobil.

Gerakan hidup sederhana ini sungguh patut kita tiru. Saya punya cita-cita untuk membangun gerakan serupa di Indonesia.

Senin, 18 Juni 2007

merajut

18 Juni 2007

Aku baru tahu kalau merajut itu bahasa inggrisnya crochet. selama ini tahunya knitting. tapi ternyata ada bedanya. kalo knitting itu merajut dengan dua batang yang bentuknya seperti jarum tumpul. sedangkan crochet pake satu batang atau yang aku sebut hakpen. selama ini aku berusaha nyari bukunya tapi sangat jarang. kalo pun ada, dalam bahasa jepang dan harganya mahal. yang banyak ya soal knitting. baru seminggu lalu aku nemu buku ketrampilan merajut dalam bahasa indonesia. yang bikin namanya AJ Boesra. lumayan lah, meski pas dipraktekkan, ternyata gak komplit panduannya.

hari ini aku search di internet dengan satu kata crochet. waduh...banyak sekali hasilnya. bahkan aku baru tahu kalo ternyata ada majalah khusus merajut di Amerika, namanya crochet today. situs yang paling menarik menurutku punya maggie, alamatnya di www.maggiescrochet.com, aku dapat banyak sekali free pattern. dan ternyata hampir setiap situs soal crochet pasti ada free pattern-nya. amazing!

yang paling amazing ternyata ada juga situs Indonesia, alamatnya www.merajut.com. ternyata ada juga situs para perempuan yang hobi merajut. sayang, toko yang jual benang masih sedikit. dan jauh-jauh pula (dihitung jaraknya dari rumahku di serpong). toko-toko itu rata-rata ada di jakarta kota. ada juga di selatan di kuningan.

sementara ini sih aku pake benang lokal yang biasa. hasilnya ya..lumayan aja. tapi setelah aku liat yang di internet itu. waduh..bener-bener minder jadinya.

btw, ini semua jadi pemicu semangat. buat bekal di hari tua, biar gak gampang pikun.

Minggu, 10 Juni 2007

Hau

11 Juni 2007

Saya menemukan kata "hau" dalam buku An Invitation to Environmental Sociology karya Michael Mayerfeld Bell. Hau adalah salah satu elemen kebijakan yang ada di suku Maori, New Zealand. The social spirit that attaches to gifts. Semisal begini, A mendapatkan benda dari B, jika A kemudian memperoleh keuntungan (bisa berupa finansial atau material atau yang lain) dari benda tersebut. Maka A sebaiknya membagi keuntungan tersebut dengan B. Jika tidak maka A akan mendapatkan kesialan yang berat, bisa jadi berupa kematian. "This is he nature of the hau, the hau of personal property, the hau of the gift, the hau of the forest...", kata Tamati Ranaipirir, salah satu orang bijak dari suku Maori.

Kata hau itu sendiri secara harafiah berarti "angin" dan "semangat". Persis seperti kata spirit dalam bahasa Latin yang berarti "angin" dan "semangat".

Hau menjadi pengikat yang terus mengikuti pergerakan benda yang diberikan dari A ke B, atau mungkin bisa ke C atau D, dan seterusnya. Seorang antropolog, Marcell Mauss menyatakan "this represents an intermingling. Souls are mixed with things; things are mixed with souls". Jika diterapkan di masa kini, artinya kira-kira menjadi jangan pernah meremehkan pemberian orang lain; juga jangan melupakan si pemberi karena dengan menerima pemberian orang lain jiwa kita sudah terikat dengan mereka - dengan barangnya ataupun pemberinya. Ada momen yang tidak boleh dilupakan. Momen kebaikan dan barangkali ada alasan kenapa seseorang memberikan sesuatu pada kita.

Di masyarakat modern, apakah tradisi macam ini ada? Ya. Coba kita renungkan, apakah kita memiliki barang-barang yang menimbulkan kenangan? Tentunya ada banyak. Atau ketika kita menghadiri acara perkawinan, ada pernak pernik ucapan terima kasih yang kemudian bisa dijadikan pajangan atau bisa juga fungsional jadi gantungan kunci atau bukaan botol atau kipas. Beberapa tahun kemudian ketika kita sadar kita mengingat "ooh...ini dari si anu..yang ini dari si itu...". Jika kita mau merenungkan sejenak; pasangan pengantin itu berniat berbagi momen kebahagiaan dengan kita. Momen saat cinta antara mereka berdua tengah merekah dan kemudian terikat dalam tali perkawinan. Bukankah momen yang sangat indah dan layak untuk dibagi? Meskipun hanya sebentuk barang yang nilainya tak seberapa.

Saya sendiri punya pengalaman untuk hal ini. Ketika pulang ke rumah di Yogyakarta, saya selalu terkesan melihat meja belajar saya ketika SMA dulu. Meja belajar saya itu penuh tempelan stiker. Stiker itu hasil karya kami - se gank. Desainnya khas tahun 80-an, agak norak. Isinya cuma nama-nama kami segank. Setiap kali saya melihat stiker itu memori saya berjalan mundur ke belakang, mengingat masa-masa jaman SMA. Masa-masa produktif - bandel, aktif di kegiatan sekolah, pacaran, dan berprestasi. Sampai kini saya masih berhubungan dengan beberapa dari mereka. Stiker itu menjadi semacam pemercik yang mengingatkan saya akan masa muda saya, masa-masa penuh energi. Menjadi pengikat hubungan saya dengan teman-teman se-gank.

Menurut Bell, barang-barang semacam stiker norak saya itu ataupun ucapan terima kasih tadi bukan sekadar "benda mati" yang pada waktu itu barangkali untuk gagah-gagahan atau untuk menunjukkan bahwa si pasangan mampu memberi ucapan terima kasih yang mahal. They are also the means by which we remind ourselves, and indeed even create, the web of sentimental ties that help support our feelings of social communion.

Indah bukan?

Kamis, 07 Juni 2007

Realist vs Konstruksionist


6 Juni 2007

Inilah perseteruan yang barangkali tak akan ada habisnya. Kadang membuat permasalahan lingkungan tak kunjung terselesaikan; sementara korban sudah benar-benar kepayahan dan kerusakan terus menjadi tak kunjung reda.

Menurut para penganut realisme (kaum realist) permasalahan lingkungan tidak bisa dipahami terpisah dari ancaman-ancaman yang ada dalam hubungan-hubungan ekologis yang dimiliki masyarakat. Mereka percaya bahwa para ilmuwan sosial bisa menderita jika menolak kebenaran materiil dalam permasalahan lingkungan (the materiil truth of environmental problems). Para penganut konstruksionisme (kaum konstruksionist) tidaklah sependapat; mereka lebih menekankan pada pengaruh kehidupan sosial pada bagaimana kita mengkonseptualisasikan "ancaman-ancaman" tersebut atau kekurangan "ancaman-ancaman" tersebut. Kaum konstruksionist memfokuskan pada asal muasal ideologi permasalahan lingkungan - termasuk pendefinisian mereka terhadap masalah (atau sebagai bukan masalah).

Misalnya saja, kaum realist berpendapat bahwa lubang ozone adalah konsekuensi dari bagaimana kita mengorganisir kehidupan sosial. Kaum konstruksionist berpendapat alih-alih mengakui bahaya - atau bahkan keberadaan - dari lubang ozone tersebut, kita harus menggunakan kacamata ideologi dan budaya yang sesuai terlebih dahulu.

Pendek kata, perdebatan kaum realist dan konstruksionist adalah tentang penjelasan materialis vs idealist terhadap suatu permasalahan lingkungan. Mirip dengan perdebatan antar orang buta yang disuruh mengatakan seperti apakah binatang gajah melalui rabaan tangan.

What we believe depends on what we see and feel, and what we see and feel depends on what we believe.


Seperti apakah bentuk gajah itu yang sebenarnya? Semua orang buta harusnya duduk bersama dan saling membicarakan apa yang mereka rasakan dan mereka pikirkan. Dialog antar mereka yang tak sependapat seharusnya terjadi. Inilah yang disebut dengan ecological dialogue - the never ending dialogue.

Menurut saya, masing-masing orang buta harus duduk dan membicarakan hasil rabaan dan apa yang mereka pikirkan. Masing-masing harusnya memiliki sekeping puzzle agar bisa diperoleh gambar yang utuh. Atau barangkali ada proses hibridisasi. Ada yang saling melengkapi atau menambah. Sehingga kita punya alat baru untuk memandang sekaligus memecahkan persoalan lingkungan bersama-sama.

Ambil contoh kasus Lapindo. Kaum realist akan berpendapat lumpur mengalir karena kesalahan manusia yang melakukan pengeboran. Selanjutnya harus ada penanganan secara hukum. Harus ditindak. Para korban seharusnya memperoleh gantirugi sesuai yang diharapkan. Pencegahan agar di masa depan tidak ada kasus yang sama adalah: penguatan SDM agar didapat teknisi yang lebih handal serta peraturan yang lebih ketat dan tegas baik untuk mengatur teknis kegiatan perusahaan dalam melakukan pengeboran ataupun peraturan pemerintah yang lebih tegas lagi untuk menindak perusahaan yang teledor.

Kaum konstruksionist berpendapat lain. Permasalahan lapindo disebabkan oleh adanya kapitalisme yang menyebabkan para pengusaha melakukan nepotisme (Bakrie brothers) demi memperoleh keuntungan. Kapitalisme menjadi pangkal penyebab ekstraksi sumberdaya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Pencegahan agar kasus yang sama tidak terulang adalah jangan menggunakan kapitalisme tapi sosialisme. Sumber daya alam harusnya digunakan untuk kemaslahatan bersama, bukan milik segelintir orang. Sumberdaya alam adalah milik bersama dan hendaknya menjadi tanggung jawab bersama pula. Pendidikan untuk melestarikan sumberdaya alam sangatlah penting. Kegagalan dalam melestarikan sumberdaya alam adalah juga kegagalan pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang baik bagi rakyatnya.

Yang mana Anda? Saya sendiri cenderung mengidentifikasikan diri sebagai kaum konstruksionist.



Rabu, 06 Juni 2007

Kangen Sepi


6 Juni 2007
Judul kali posting kali ini sentimentil. Tapi ya memang itu yang saya rasakan beberapa hari terakhir. Saya benar-benar merasa kangen dengan kesepian. Kangen dengan suasana yang sepi yang tidak hingar bingar. Perasaan ini makin menjadi-jadi hari Senin kemarin. Di awal minggu itu saya ijin tidak ke kantor karena anak sakit. Penyakitnya gak jelas, cuma kata dokter ada angin di perut. Obatnya juga cuma anti mual yang harus diminum seperempat jam sebelum makan dan antibiotik 3 kali sehari sesudah makan. Nyatanya obat dari dokter itu tak manjur amat. Anak saya masih saja muntah. Makan muntah, minum susu muntah. Praktis seharian tak ada yang masuk ke perutnya. Badannya udah lemas dan layu. Menjelang malam, mulai panas. Saya betul-betul stress seharian. Untung saya punya suster pintar. Dia inisiatif beli antangin anak terus dibalur bawang merah. Lumayan baikan dia.

Cerita anak sakit ini memang tak begitu berhubungan dengan judul tadi. Lho? Lantas? Cerita tadi cuma menerangkan kenapa saya di rumah pada hari kerja. Begini, dengan di rumah pada hari kerja saya jadi tahu suasana di rumah seperti apa. Dan ternyata bukan main berisiknya! Karena para majikan tetangga saya semua pergi kerja, maka yang di rumah adalah para suster dan mbak-mbak. Mereka memutar musik dan menyalakan tv bukan main kerasnya dengan lagu-lagu sesuai selera masing-masing. Yang suka pop ya muter pop, yang suka dangdut ya mutar dangdut. Benar-benar crowded. Belum lagi tiap beberapa menit sekali ada tukang roti atau tukang-tukang jualan lainnya lewat. Plus sesekali motor dan mobil lewat..sesekali pula para mbak dan suster itu saling sapa atau mengingatkan anak majikannya sambil berteriak-teriak.

Ampun!

Saya benar-benar tidak tahan. Bukan saja karena stress anak sakit di rumah, tapi suasana bising ini benar-benar mengganggu.

Akhir-akhir ini saya juga tidak tahan menyalakan televisi. Coba saja, sebentar-sebentar iklannya muncul dengan musik dan lagu yang hingar-bingar, cara bicara cepat dan berteriak. Sesudah itu muncul musik latar untuk scene bump in dan bump out. Benar-benar berisik.

Menurut saya era ini era festival. Semua orang menginginkan setiap hari adalah hari festival. Selalu ada perayaan, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Kalau meminjam istilah yang sering dilontarkan Oprah: ada lobang di dalam diri manusia dan mereka berusaha mencari sesuatu untuk menutupnya, untuk membuatnya utuh, merasa sempurna.

Perkembangan teknologi dan informasi menyediakan sarana untuk membantu manusia menutup lobang itu. Cuma menurutku hanya menutup mulut lobang, tapi tidak mengisinya dengan sesuatu. Jadi si lobang tetaplah lobang.

Saya kangen sepi. Saya kangen bunyi-bunyi alam. Bunyi angin, bunyi air, bunyi daun, bunyi jangkrik, bunyi burung.

Bahkan di malam hari pun tak ada lagi sepi. Ada tetangga dengan mobil isuzu diesel yang bunyinya bukan main berisiknya.

Saya - sekali lagi - kangen sepi.

Selasa, 05 Juni 2007

Adegan sinetron itu keren.

6 Juni 2007

Dapat cerita dari suami, di harian Media Indonesia ada cewek nyilet-nyilet wajah cewek lain gara-gara cemburu. Di kantor polisi si cewek sadis ini bilang dapat ide dari sinetron. Katanya pernah liat adegan yang sama, kok kayaknya keren. Si cewek ini kabarnya juga keluar dari SMP karena dapat inspirasi dari sinetron. Katanya mau kerja aja buat beli hape karena di sinetron semua ceweknya pada punya hape bagus-bagus. Kan keren punya hape kayak sinetron.

Alamak!

Sebegitu inspiratifnya sinetron itu. Sampai si penonton tak bisa menyaring mana yang baik mana yang tidak. Tapi nurut aja apa yang ada. Siapa yang patut dipersalahkan? Si pembuat sinetron? Manajemen TV swasta? Orangtua si cewek? Guru-guru si cewek? Teman-teman si cewek? ato Pemerintah, karena tak memberikan lingkungan yang sehat bagi rakyatnya? Kalau pemerintah, pemerintah yang mana? Bagaimana kalo kita lantas menyalahkan si cewek sadis itu? Bisakah kita menyalahkan dia? Kasihan....kalo menurut saya. Dia itu korban juga. Itu menurut pandangan saya. Kok bisa dia jadi sebodoh dan sepicik itu sampai nggak bisa jadi dirinya sendiri.

Kehidupan semu yang dipertontonkan oleh media massa telah sedemikian memanipulasi kehidupan pribadinya sendiri. Sampai ia tak punya memiliki kepribadiannya sendiri.
Siapa yang bertanggung jawab pada pendidikan kepribadian anak? Orang tua tentu. Keluarga. Sesudah itu pendidikan sekolah. Sisanya diharapkan bisa disaring oleh si anak itu sendiri seiring dengan perjalanannya menuju kedewasaan. Saringan itulah yang seharusnya dipintal dan dijalin oleh orangtua dan keluarga plus pendidikan sekolah.

Saya termasuk yang percaya bahwa semua hal bermula dari keluarga inti. Meski ada juga satu dua peristiwa yang tidak sejalan dengan teori saya ini. Misalnya, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan penjahat. Apakah dia akan dengan sendirinya menjadi penjahat? Belum tentu.

Orang tua adalah dasar buat anak. Itu nomer satu. Tapi keluarga juga pegang peran. Konsep keluarga bisa diperluas menjadi mereka yang menjalin hubungan intens dengan si anak. Jadi bukan cuma ayah, ibu, kakak, adik, tante, om, eyang, atau sepupu. Di lingkungan anak panti asuhan, konsep keluarga tak cuma direduksi oleh mereka yang memiliki ikatan darah semata. Konsep keluarga berkembang menjadi mereka yang memiliki ikatan kepercayaan yang teguh satu sama lain. Antar anggota keluarga memiliki nilai-nilai yang saling dianut teguh. Nilai-nilai yang menurut mereka mampu menjadi pegangan hidup, mampu menyelamatkan mereka dalam keterpurukan, mampu memberi kebahagiaan, mampu memberikan rasa nyaman. Ini terlepas dari baik atau buruk nilai itu menurut pandangan umum.

Buat saya, sebagai ortu, saya ingin anak saya mendapatkan keluarga dengan nilai-nilai yang sama atau lebih baik dari yang diajarkan ortu nya. Dan, saya, darimana saya dapatkan nilai-nilai untuk ditularkan ke anak? Yang pasti adalah agama, meskipun akhir-akhir ini kritik terhadap ajaran agama sangat gencar. Buat saya, agama adalah tempat yang nyaman untuk sejenak mengasingkan diri dari hingar bingar. Yang lainnya adalah pelajaran budi pekerti dari ortu saya, turun temurun. Paling tidak, saya berusaha memintal saringan buat anak.

Dan itulah pekerjaan yang tidak akan pernah selesai.