Rabu, 18 Juli 2007

Bukan Asep

19 Juli 2007

Posting kali ini saya tulis untuk koreksi atas posting terdahulu tentang Asep Ridwan. Media massa sejak petang kemarin menyiarkan berita tentang ditemukannya Asep Ridwan Saefulloh yang ternyata masih hidup. Asep ditemukan pada sekitar pukul 13.30 di stasiun Purwakarta oleh rombongan Kusnadi (ayah kandung), Kamalludin (ayah tiri), Jasiman (kakak kandung Asep), dan Juanda (tetangga) yang sedang dalam perjalanan ke Jakarta untuk memenuhi panggilan polisi. Adalah Kamalludin yang mengenali Asep. Saat itu Asep sedang memunguti sampah di stasiun. Rombongan itu lantas mengajak Asep pulang kembali ke Bandung. Ibunya, Nawangsih menyambutnya dengan gembira. Asep kini kembali berkumpul bersama keluarganya.

Lantas siapa sebenarnya korban mutilasi di Klender itu? Polisi harus bekerja dari awal untuk mengidentifikasi korban dan mencari pelakunya.

Saat ini, menurut media, Asep masih belum mau banyak bicara. Apakah Asep tak mendengar sama sekali kasusnya melalui media massa? Di stasiun, banyak sekali harian yang dijual oleh anak-anak jalanan. Apakah mereka tidak saling membicarakannya? Menurut saya, Asep tahu. Cuma mengapa ia membiarkan saja keluarganya menangisi kehilangannya? Lantas, saat ditanya Kamalludin, "Dibawa kemana saja sama si gondrong?" (orang yang dimaksud adalah Ade yang selama ini disangka sebagai pelaku mutilasi). Asep menjawab, "Sekarang mah sudah botak". Apakah Ade tahu dan sengaja mencukur habis rambutnya untuk menyaru?

Masih banyak misteri. Yang utama adalah mencaritahu siapa sesungguhnya si korban. Meski begitu saya tetap berpendapat sama seperti yang pernah saya tulis di posting terdahulu. Bahwa anak-anak jalanan itu bukannya bukan siapa-siapa. Hanya nasib saja yang meminggirkan mereka. Saya salut pada aksi sekitar 500 anak jalanan yang rata-rata berusia 10 tahun pada hari Minggu (15/7) lalu. Di bundaran HI mereka berorasi minta agar pemerintah menghentikan sodomi dan mutilasi terhadap anak-anak jalanan yang sering terjadi.

Saat ini saya bertanya-tanya. Siapakah ibu anak korban mutilasi itu? Masih hidupkah? Sudah meninggalkah? Saya barangkali termasuk orang yang naif untuk hal-hal seperti ini. Pernah saya mengunjungi sebuah panti asuhan. Disana saya menemui bayi umur 2 minggu, kata perawat bayi itu baru saja masuk. Hgh..saat melahirkan anak saya sekitar 4,5 tahun lalu saja saya masih mengingat rasanya. Bagaimana ya rasanya berpisah dengan anak yang keluar dari rahimnya sendiri? Selama 9 bulan lebih anak telah menjadi satu bagian dari tubuh sang ibu. Bagaimana ibunya tega berpisah dengan bagian dari tubuhnya?

Memang saya pernah mendengar ada pernyataan (saya lupa dimana) bahwa pengorbanan paling besar bagi ibu adalah memisahkan diri dengan anaknya demi hidup sang anak. Tapi tidak selalu pernyataan ini benar. Buktinya, Woo Kap Sun (50 th), ibu dari Hee Ah Lee (22 th) pianis klasik dari Korea Selatan yang cacat mental dan fisik itu bertekat terus membesarkan anaknya sendiri meskipun saudara-saudaranya memaksanya untuk menyerahkan Ah Lee ke panti asuhan. Meskipun hanya hidup bersahaja dari uang pensiun almarhum suaminya, Woo perjuangan Kap Sun untuk membekali anaknya agar mandiri membuahkan hasil.

Saya juga pernah melihat talkshow di televisi swasta tentang bagaimana seorang ibu memilih untuk bercerai dari suami dan merawat anaknya yang autis. Melalui ketelatenan sang ibu, sang anak mampu memiliki ketrampilan menulis. Sebuah buku telah dia hasilkan. Sang ibu bahkan membuka sebuah yayasan yang didedikasikan untuk anak-anak autis.

Kedua ibu tersebut memiliki pengalaman yang serupa. Keduanya juga memilih untuk tidak bekerja di kantor demi buah hatinya. Saya mengagumi semangat ibu-ibu itu. Mohammad Yunus sang peraih nobel 2006, mendapat inspirasi kredit mikro untuk kaum miskin dari ibu-ibu dan janda-janda miskin di Bangladesh yang berjuang mati-matian demi memberi makan anak-anaknya. Baginya, membantu para wanita miskin itu berarti menyelamatkan satu generasi bangsa. Dan benar saja, nyatanya banyak anak-anak dari keluarga miskin yang sekarang sudah 'orang', bahkan ada yang meraih gelar doktor.

Dan jika melihat anak-anak jalanan itu saya sering bertanya-tanya sendiri, "Dimana ibunya?"

Selasa, 17 Juli 2007

Jam Karet Transportasi Kita

18 Juli 2007

Kemarin saya pulang sangat awal. Naik KRL jam 16.15. Saya nebeng teman yang kebetulan lewat Sudirman. Dari kantor jam 16.00. Di mobil sedikit chit chat terjadi. Teman saya menanyakan, "Apa bisa kekejar?" Saya jawab, "Bisalah. Nggak pernah ada cerita kereta tepat waktu, selalu terlambat". Teman saya menimpali, "Di Depok pernah sekali tempo keretanya tepat waktu. Karena berangkat tepat waktu, banyak penumpang yang terlambat, ngomel-ngomel semua".

Nyatanya, saya sampai di Stasiun Sudirman jam 16.13. Sedikit berlari saya beli tiket, kata mas yang jaga keretanya sebentar lagi sampai. Di bawah saya sempat mampir ke penjual DVD. Sempat pilih-pilih dan beli film. Tak berapa lama kereta saya pun datang. Saya melirik jam hape, 16.19. Tumben. Menurut saya ini termasuk tepat waktu. Biasanya kereta terlambat sampai sekitar 15 menit-30 menit. Tak bosan-bosannya petugas jaga yang biasa mengumumkan kedatangan dan keberangkatan kereta mengatakan "Kami mohon maaf atas keterlambatan ini". Saya hapal benar kalimat ini. Karena hampir tiap hari diucapkan.

Suami saya sangat tidak suka naik kereta. Dia lebih memilih feeder bus karena kenyamanan dan ketepatan waktunya. Bukannya saya tidak suka, tapi feeder bus adalah alternatif moda transportasi saya yang berada di peringkat atas untuk tingkat kemahalannya. Saya naik feeder biasanya kalau pagi, kalau pulang kantor mending naik kereta. Kecuali kalau pulang malam ya saya naik feeder karena kereta cuma sampai jam 18.25. Feeder terakhir dari Ratu Plaza jam 19.55. Lagipula kalau pulang naik feeder saya harus menyeberang. Dan menyeberang jalan ini melelahkan saya yang jarang olahraga. Itupula sebabnya saya malas naik busway karena perjalanannya menuju pintu loket yang membuat kaki pegal. Apalagi kalau pas terburu-buru, waduh, sampai putus napas saya.

Kembali ke soal ketepatan. Di Indonesia saya kira ketepatan waktu dalam hal transportasi masih menjadi barang langka. Bulan Januari lalu kami sekeluarga terpaksa merelakan kepergian Papi sendiri menghadap Tuhan gara-gara pesawat yang akan kami tumpangi telat 30 menit. Alasan yang diberikan waktu itu ada pesawat lain yang tidak dinyatakan tidak layak terbang oleh DepHub sehingga mengganggu jadual keberangkatan pesawat lainnya. Waktu itu memang DepHub sedang galak-galaknya memantau setiap pesawat yang akan berangkat gara-gara peristiwa hilangnya Mandala di Sulawesi.

Itu pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Membekas seumur hidup. Bayangkan saja, kami hanya terlambat sekitar 10 menit dari kepergian Papi. Dan itu adalah menit-menit yang sebenarnya sangat-sangat berharga.

Saat baru menyadari soal tidak adanya konsep waktu di transportasi sewaktu mengambil kuliah di IPB. Jarak antara Serpong-Bogor sebenarnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 1 jam. Namun karena para supir angkutan umum itu tidak mengenal konsep waktu, saya harus memberikan toleransi sebanyak 1 jam. Waktu sebanyak itu saya sebut "waktu empati". Waktu yang harus saya sisihkan demi merasakan bagaimana susahnya mencari uang sebagai supir angkutan umum. Artinya jika penumpang sepi, maka saya ikut ngetem. Nunggu di dalam kendaraan. Adanya peraturan tidak tertulis antara para supir bis soal jarak antar bis juga harus saya alami. Maksudnya, begini. Para supir bis itu nampaknya punya kesepakatan untuk memberi ruang waktu sekitar 10 menit supaya bis di depannya bisa mencari penumpang. Jika jaraknya terlalu dekat, maka bis yang di belakang harus mengalah. Ngetem dulu meskipun bis sudah penuh dan sesak dan penumpang ngomel kepanasan. Sang sopir tak peduli dengan berbagai komentar penumpang, dia tetap saja santai ngerokok di depan kemudinya.

Saya pernah ngomel-ngomel karena bis ngetem lama dan memilih untuk pindah naik angkutan kecil-kecil. Ketika saya turun saya sempat mendengar supir bis menanyakan kenapa saya turun. Kondekturnya menjawab, "Tauk tuh, mau naik taksi dia". Itu sindiran buat saya.

Saya juga sering pindah keluar bis yang masih ngetem ke bis yang berangkat lebih dulu. Kebiasaan ini dikritik suami saya, "Jangan dong, katanya. Kasihan para sopir bis itu", katanya. Saya tak peduli. Saya jawab saja, "Ah, kalau kita terlambat mereka juga nggak peduli kok sama kita". Akhirnya upaya masing-masing saja lah yang dijalankan. Jika sopir ngetem, kita ikut ngetem. Jika sopir terburu-buru, ya beruntunglah kita, bisa sampai lebih cepat. Pokoknya apa mau sopir lah. Kecuali jika kita punya uang lebih ya bisa lah naik taksi dari Serpong sampai ke Bogor. Atau kalau badan sedang dalam kondisi fit, alternatif nya naik angkutan kecil-kecil model hijet tapi sambung-menyambung, tidak langsung sampai ke Bogor. Dan naik turun angkutan kemudian mencari lagi itu cukup melelahkan karena harus melawan debu dan terik matahari.

Kembali ke soal ketepatan transportasi, saya sebenarnya heran kenapa ya jam mereka selalu molor? Selalu ngaret? Memang, akhir-akhir ini bisnis transportasi ada yang mulai merintis ketepatan. Seperti misalnya travel Jakarta-Bandung yang mengklaim keberangkatan setiap satu jam dan bisa sampai dalam waktu 2 jam. Travel semacam ini laris karena mengunggulkan ketepatan. Tapi memang, kondisi jalanan sangat mendukung.

Singapura pernah menawarkan city tour gratis bagi para penumpang pesawat yang transit di negeri singa itu selama lebih dari satu jam. City tour itu hanya akan memakan waktu satu jam saja. Sharp. Saya tidak tahu apakah sekarang masih ada atau tidak. Saya kagum gagasan ini. Di samping untuk promo wisata, juga pamer ketepatan waktu. Singapura cukup jeli menangkap peluang sebagai negara yang sering dijadikan tempat transit. Saya tidak pernah yakin apakah kita mampu melakukan hal seperti ini.

Menurut saya, ketepatan waktu adalah soal kebiasaan. Tapi ya mengubah kebiasaan sekian ratus juta orang bukan perkara mudah. Sebagai penganut agama Katolik saya mengenal ketepatan waktu dari jam misa di gereja. Belum pernah saya dengar ada jam misa yang ngaret. Meskipun kondisi petugas belum siap, tetap saja harus dimulai pada jam-jam yang telah ditetapkan sebelumnya. Maka beberapa kali pernah ada misa yang terpaksa tidak menggunakan musik karena pemain organnya terlambat datang atau tanpa koor di awal karena jadual petugas misa yang kacau. But, the show must go on.

Pelajaran soal ketepatan waktu juga pernah saya dapat di sekolah. Sekolah saya -swasta Katolik- sangat galak soal waktu. Gerbang sekolah saya dikunci pada satu jam pelajaran pertama. Selanjutnya ya silakan masuk, tapi tentu saja penilaian guru terhadap saya sudah berbeda. Saya sendiri cukup beruntung karena bekerja di tempat-tempat yang memperbolehkan karyawannya masuk kantor jam berapa saja asal tenggat waktu dipatuhi. Peraturan ini membuat saya tidak terlalu stres dengan soal transportasi.

Sulit membayangkan jika saya harus bekerja di kantor dengan jam-jam yang sudah ditentukan. Kembali ke kisah yang diceritakan teman saya tadi. Ngomelnya penumpang kereta di Depok karena keretanya berangkat tepat waktu adalah hal yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Jadi bagaimana dong seharusnya? Terlambat penumpang ngomel, tepat waktu eh..ngomel juga.

Menurut saya, ya biar saja penumpang ngomel. Pernah ada kejadian di feeder bus, seorang ibu bilang ke sopir bis, supaya menunggu suaminya yang sedang dalam perjalanan ke terminal. Heh...si ibu ini aneh-aneh aja. Kontan seluruh penumpang protes. Beruntung sopir bis tidak memihak ke ibu itu. Si ibu akhirnya mengalah dan terpaksa turun bis.

Ya..begitu memang seharusnya. Mestinya angkutan kita lebih egois, bukannya penumpang yang harus diikuti. Di Indonesia ini penumpang kelewat dimanja memang. Bisa berhenti semaunya dan ditunggu kedatangannya. Saya cuma bisa berharap ada lebih banyak lagi angkutan umum yang tepat waktu. Mungkin gak ya?





Minggu, 15 Juli 2007

Asep Ridwan Saefuloh


16 Juli 2007

Namanya Asep Ridwan Saefuloh. Lahir pada 6 Juli 1996. Umurnya 11 tahun. Ia tinggal di Jl. Kebongedang, RT1 RW6, Kelurahan Kiaracondong, Kecamatan Kiaracondong, Kabupaten Bandung. Asep sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al Hikmah Kebongedang, Kiaracondong. Di tahun ajaran baru ini ia sebenarnya naik kelas IV. Nilainya juga lumayan, rata-rata 7.

Pada 9 Juli lalu, di belakang pasar Klender, Jl. Raya Bekasi KM17 Jakarta Timur, Asep ditemukan sudah tidak bernyawa dalam sebuah kantong plastik sampah berwarna hitam. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tubuhnya terpotong dua di bagian pinggang dan diikat jadi satu dengan cara ditekuk ke belakang. Organ tubuhnya yang tersisa tinggal jantung, paru-paru, hati, dan ginjal bagian kiri. Pada anusnya terdapat luka bekas sodomi. Belakangan, dokter di RSCM menyatakan luka itu menunjukkan bahwa Asep sudah sering disodomi sekitar setahun.

Mayat Asep tak langsung dikenali. Baru 3 hari kemudian, Nawangsih (34th), ibu kandungnya mengenalinya melalui bekas luka di jempol kakinya. Perlahan kasus mutilasi ini mulai terkuak. Saat ini polisi tengah mencari AD yang diduga menjadi tersangka pembunuh Asep.

Sebagai seorang ibu yang mempunyai anak laki-laki, saya ikut menangis. Betapa tidak, saya merasakan bagaimana melahirkan dan merawat seorang bayi hingga tumbuh menjadi seorang bocah. Saya mengetahui setiap luka yang didapat anak saya, dari gigitan nyamuk, tergores, luka jatuh, luka lebam. Saya juga berupaya untuk menghilangkan luka dan mengurangi rasa sakit dengan membelikan obat atau membawanya ke dokter bila perlu. Dan, apa yang akan saya rasakan jika saya menjadi Nawangsih? Aduh, susah saya membayangkan.

Nawangsih tergetar hatinya saat melihat penemuan mayat korban mutilasi di televisi. Saat itu ia lantas mengkhawatirkan nasib Asep yang sudah satu minggu tak pulang ke rumah. Sebelumnya ia tak khawatir jika anaknya itu tak pulang ke rumah beberapa hari. Namun berita kali ini mengusik nuraninya. Nawangsih kemudian membuat selebaran untuk mencari Asep. Hasilnya nihil. Hatinya semakin galau. Ia nekat meminjam uang ke tetangga dan berangkat ke Jakarta. Tujuannya ruang mayat RSCM. Dan, benar saja, jenasah itu adalah Asep. Nawangsih pingsan.

Saya membayangkan apa saja yang dipikirkan Nawangsih sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Barangkali Tuhan telah mengirimkan pesan pada Nawangsih agar segera menjemput anaknya. Atau barangkali roh Asep sendiri yang memanggil ibunya. Ah, saya tak punya nyali setegar Nawangsih.

Menurut analisis polisi, kasus Asep mirip dengan kasus pembunuhan anak laki-laki berusia 6 tahun yang terjadi 30 April lalu di Kelapa Gading. Diduga, keduanya merupakan korban kejahatan berantai dengan perlakukan yang sama.

Saya ingat film 8 mm. Film thriller garapan Joel Schumacher yang diputar tahun 1999 ini menuturkan tentang detektif Tom Welles (Nicolas Cage). Detektif swasta ini disewa oleh seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya seorang pengusaha kaya. Ny. Christian, begitu namanya, penasaran dengan penemuan sebuah film pendek dalam brankas tersembunyi milik almarhum suaminya. Di film yang direkam dalam pita berukuran 8 mm itu berisi pembunuhan seorang gadis dengan cara yang sadis. Sang pembunuh menggunakan topeng khas dan berbadan besar. Menurut Tom, film tersebut adalah snuff film
yaitu film yang merekam pembunuhan orang (di dalam film ini rata-rata korbannya adalah wanita) dengan cara yang sadis. Snuff film bisa saja berisi adegan palsu, namun ada juga yang asli dalam artian korbannya benar-benar dibunuh. Namun, Ny. Christian tetap mendesaknya untuk mencaritahu siapa si gadis itu. "Uang bukan masalah", begitu tegas Daniel Longdale, pengacara keluarga Christian.

Investigasi awal membuahkan hasil. Tom mengidentifikasi nama si gadis sebagai
Mary Ann Mathews. Mary Ann pergi ke Hollywood untuk mengejar cita-cita sebagai bintang film meski ibunya melarang. Tom melacak jejak Mary Ann hingga ke pasar sex Hollywood tempat dimana banyak dijual snuff film.

Tom berhasil menguak bahwa almarhum Tn. Christian pernah menyewa produser snuff film yaitu Velvet dan Poole untuk membuat film dengan adegan asli melalui Longdale. Nyatanya, uang sebesar $US 1.000.000 yang diberikan Tn. Christian dikorupsi oleh Daniel. Bayaran yang diterima Velvet, Poole, dan Machine - sang pembunuh bertopeng, jauh lebih sedikit. Film memuncak ketika Velvet dan Longdale saling bunuh. Tom sendiri berhasil membunuh Poole dan Machine.

Adegan saat sebelum Tom membunuh Poole masih terus membekas di benak saya. Setelah membuat Poole tak berdaya, Tom menyeret Poole ke tempat dimana Mary Ann dibunuh. Tom sempat menelpon ibu Mary An dan menceritakan kejadian sebenarnya. Mayat Mary An ndikubur di dalam hutan namun lokasinya tidak pernah diketahui. Berkali-kali Tom berkata pada ibu Mary Ann, "Do you love Mary Ann? Tell me that you love him. Tell me that you love him!". Di kamarnya, dalam kegelapan malam, di atas tempat tidurnya, ibu Mary An menangis sesenggukan, ia menjawab terbata-bata, "Yes, I love her."Tom menutup telpon. Pernyataan itu memberikan konfirmasi padanya. Ia mendekati Poole, memukuli kepalanya dengan pistol hingga mati kemudian membakar mayatnya.

Film ini mempertemukan empat karakter: Pertama, orang kaya yang mencari kesenangan. Kedua orang yang mencari materi dengan cara apapun termasuk membuat snuff film. Ketiga, korupsi, psikopat yang mempunyai kepribadian ganda yaitu Machine (di rumah, ia adalah anak tipe anak mama, berwajah kekanakan dan sering sendirian karena ibunya aktivis gereja; di dunia snuff film, ia mengenakan topeng dan menjadi pembunuh sadis berdarah dingin). Keempat, orang yang masih peduli akan pentingnya arti keluarga yang memberikan kasih sayang.

Soal kasih sayang ini membekas dalam benak saya. Kenapa? Karena selama ini orang-orang seperti Velvet dan Poole menganggap gadis seperti Mary An bukan siapa-siapa, bukan milik siapa-siapa. Jadi jikalau dibunuh pun tak akan ada yang peduli.

Dan milik siapakah anak-anak jalanan itu? Saya sangat menyayangkan pernyataan Nawangsih, ibu Asep yang menyatakan tidak khawatir jika Asep tidak pulang selama beberapa hari. Saya bertanya-tanya, kenapa? Kenapa tidak khawatir? Apa yang membuat seorang ibu tidak mengkhawatirkan kesendirian anak berusia 11 tahun di jalanan? Saya tidak habis pikir. Di selebaran yang dibuat Nawangsih, ia menuliskan Asep lahir pada 6 Juli, apakah sebelumnya ia tidak terpikir untuk mencari Asep karena tanggal 6 Juli ia berulang tahun? Karena Asep meninggalkan rumah semenjak 30 Juni. Ya, barangkali memang tidak pernah ada pesta ulang tahun, tapi setidaknya sebagai seorang ibu apakah ia tidak mengingat hari istimewa itu? Dan apakah Asep sendiri mengingat hari ulang tahunnya?

Barangkali Asep tengah memberontak karena pergi dari rumah dan memberikan alasan palsu (menurut ibunya Asep bilang akan ke rumah bibinya). Tapi karena apa? Asep pergi dari rumah? Menurut ayah tirinya Asep takut dimarahi karena rapotnya jelek. Pernyataan ini dibantah Kepala Sekolah Asep karena nilainya rata-rata baik. Jadi kenapa?

Adakah sesuatu di dunia anak jalanan yang menarik bagi Asep? Apakah dunia di luar memberikan kenyamanan dibanding pulang ke rumah? Padahal, menurut kesaksian teman Asep yang juga seorang anak jalanan, Asep sempat tidak bisa melakukan apa-apa karena jatuh dari bis kota. Bahkan temannya inilah yang memberinya makan. Kenapa Asep tetap tidak pulang ke rumah? Asep juga sempat tinggal di Rumah Singgah anak jalanan. Dan itulah saat terakhir Asep.

Bocah kecil itu nyatanya tidak berdaya juga menghadapi sang pembunuh yang barangkali mensodominya lebih dahulu. Dan kenapa mesti dibunuh? Kenapa memakai cara-cara yang sadis? Saya teringat jawaban Machine ketika Tom menanyakan hal serupa:

"You know the best part of killing someone? The look on their face. It's that look. Not when they're threatened. Not when you hurt them. Not even when they see the knife. It's when they feel the knife go in. That's it. It's surprise. They just can't believe it's really happening to them........"

Kenapa ada orang semacam ini? Semuanya berupaya mencari kepuasan. Dengan caranya masing-masing.

Saya kembali mengingat Neill, pendiri Summerhill School, tesisnya orang yang bermasalah berasal dari keluarga atau lingkungan bermasalah. Kebahagiaan atau ketidakbahagiaan muncul darisana. Saya sendiri lebih memilih keluarga sebagai inti dari semuanya. Saya percaya kasih sayang antar keluarga mampu membentuk pribadi-pribadi yang kuat. Ada rasa saling memiliki.

Di akhir film 8 mm, Ny. Christian memberikan secarik catatan pada Tom, ia menulis: "I hated you for telling the truth, but now I realize you and I are probably the only people that ever really cared about Mary Ann."

Saya sungguh mengutuk para pelaku pedofili anak-anak jalanan. Anak-anak jalanan itu punya keluarga. Setidaknya mereka lahir dari rahim seseorang. Dan para pembunuh itu, apakah dia tidak pernah menyadari bahwa dia pernah dilahirkan oleh seseorang? Apakah dia tidak pernah merasakan ikatan dengan sesama? Saya kira jika semua orang di dunia ini merasakannya, empati pun akan tumbuh dengan sendirinya.

Terakhir, tentu saja saya mendoakan arwah Asep. Buat saya yang percaya keberadaan surga, saya sungguh ingin membayangkan Asep bermain-main dengan riang disana.



















Kamis, 12 Juli 2007

Manusia Religius

13 Juli 2007

Menurut teori Spranger, ada 6 tipe manusia: manusia teoritis, manusia estetis, manusia politis, manusia ekonomis, manusia sosial, dan manusia religius.

Benny Susetyo menggunakan teori ini dalam bukunya berjudul Politik Pendidikan Penguasa (LKiS, 2005) sebagai acuan untuk menggambarkan akan menjadi manusia apa kira-kira anak bangsa kita dengan sistem pendidikan seperti yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas No.20/2003. Ia menyoroti terutama pada bab V tentang Peserta Didik, pasal 12 ayat (1) yang menyatakan: "Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".

Spranger membuat pembagian tipe manusia ini berdasarkan pada nilai-nilai tertentu yang menguasai jalan pikiran,perasaan, dan tingkah laku dalam kehidupan manusia. Misalnya, manusia politik adalah manusia yang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan kekuasaan an sich. Manusia religius adalah manusia yang mengorientasikan perjalanan hidupnya yang memuncak dalam Nilai Tertinggi yaitu Yang Ilahi.

Menurut Benny, pendidikan agama yang ditonjolkan dalam UU Sisdiknas No.20/2003 lebih berhasrat untuk mencetak manusia politik ketimbang manusia religius. Pemahaman agama yang sentralistis dalam kurikulum pendidikan agama yang sentralistis akan menjebak anak didik untuk memahami agama secara parsial saja. Pemahaman agamayang sifatnya sempit hanya akan mementingkan dirinya dan meninggalkan yang lainnya. Pendidikan agama yang diberikan menonjolkan aspek formalitas dan kaku. Agama dipandang secara sempit, dan bukan dilihat dalam pengertian realitasnya. realitasnya adalah pluralisme agama yang hidup di bumi Indonesia.

Usulan Benny adalah agar penguasa lebih menekankan pada aspek pemahaman religiusitas untuk mencetak manusia-manusia religius. Manusia religius adalah manusia yang memahami hakikat agama dalam bingkai pluralisme. Dia tidak akan mempolitisasi agamanya untuk kepentingan kekuasaan, karena kekuasaan/politik adalah untuk menjatuhkan lawan dan selamanya akan demikian. Sementara agama bersifat suci. Dengan demikian, agama lebih dimaknai dalam konteks privat bukannya publik. Menurut Benny, dalam UU Sisdiknas yang baru ini agama diletakkan dalam konteks publik; disandera oleh kepentingan kekuasaan.

Spranger membagi lagi manusia religius menjadi beberapa tipe. Pertama, yang bersifat mistik-imanen yang melihat bahwa Yang Ilahi terletak di dalam ini sari kehidupan ini. Kedua, yang bersifat mistik-transeden, yang melihat bahwa Yang Ilahi terletak di belakang atau di atas dunia ini, terpisah dari nilai-nilai vital yang oleh karenanya harus disangkal. Ketiga, adalah manusia religius yang memiliki gabungan dari kedua sifat tersebut.

Berdasarkan penjabaran tersebut, Benny mengusulkan agar arah pendidikan kita diarahkan untuk mencetak anak didik yang religius dan memiliki sifat mistik-imanen. Agar anak didik melihat agama untuk menjawab tantangan realitas, bukan untuk dirinya sendiri. Agama untuk menyelesaikan berbagai problem kemiskinan dan pembodohan. Agama bukan terpisah dari realitasnya dimana ia teruntuk dirinya sendiri (mistik transeden). Jika yang terakhir yang terjadi maka para pemeluk agama akan menyatakan bahwa perang suci kepada pemeluk lainnya adalah tindakan menjalankan agama. Perlakuan agama seperti ini menjadi hampa toleransi dan hampa dialog.

Saya sepakat dengan Spranger bahwa memahami hakikat agama hendaknya dilakukan dalam konteks pluralisme. Namun, ada kalimat Benny yang saya tidak paham yaitu "agama untuk menyelesaikan berbagai problem kemiskinan dan pembodohan". Juga pernyataan bahwa agama untuk menjawab tantangan realitas. Saya kurang paham maksudnya. Bukankah agama itu sendiri tidak realistis? Soal mengimani, soal mempercayai pada sesuatu. Ada banyak cerita soal mukzizat di dalamnya. Bukankah pandangan yang mempercayai bahwa surga atau neraka itu ada adalah pandangan utopian? Lantas bagaimana sesuatu yang tidak realistis digunakan untuk menjawab tantangan yang realistis? Saya kok tidak paham.

Saya sendiri menganggap diri sebagai manusia religius. Saya memeluk agama Katolik dan menjalankan praktik yang diajarkannya. Saya berusaha ke gereja setiap minggu, membuat tanda salib untuk mengawali doa, melakukan devosi pada Maria bulan Mei dan Oktober, berdoa novena untuk ujub-ujub pribadi dan mendidik anak saya secara Katolik.

Kehidupan material saya biasa saja. Naik turun. Seringkali kehabisan uang, tekor. Tapi bagaimana cara saya menutup kekurangan di akhir bulan? Ya saya ke bank, pinjam uang tabungan dan bulan depan saya kembalikan lagi. Bagaiman agama membantu saya? Ya dengan cara berdoa saja. Agama lebih membuat saya merasa nyaman menghadapi banyak persoalan. Kadang di gereja saya tidak menyimak sepenuhnya jalannya misa, karena harus meladeni anak saya. Tapi kalau tidak ke gereja rasanya ada yang kurang. Sepulang gereja saya merasa lebih mantap. Ada sugesti. Seperti pergi ke dukun dan disuruh minum segelas air putih. Atau barangkali ke dokter dan disuntik. Mana kita tahu apa yang dimasukkan dalam tubuh kita? Ada sugesti yang membuat kita merasa nyaman dan bugar. Padahal barangkali saja kekebalan tubuh kita lah yang bekerja. Sembuh itu berasal dari kita sendiri.

Kembali ke soal kenyamanan tadi. Dengan merasa nyaman saya bisa berpikir jernih, tidak takabur. Dalam kondisi seperti itu saya jadi bisa memilah apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang tidak. Saya sadar, apa yang saya lakukan sekarang tidak saja punya konsekuensi pada diri pribadi, tapi terutama untuk anak saya. Karenanya saya berharap bisa tetap 'nyaman' dalam kondisi yang paling buruk sekalipun.

Lantas, bagaimana soal pendidikan agama di sekolah? Saya mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sedari TK hingga SMA. Saya sempat sekolah 2,5 tahun di sekolah negeri ketika SD, sehingga saya punya pengalaman sedikit soal pendidikan agama di sekolah. Waktu itu, saya tinggal di kota kecil yang belum memiliki sekolah Katolik. Ibu saya lah yang berinisiatif mendirikan TK Katolik untuk pertama kalinya di samping gereja sehingga nomor induk saya adalah nomor 001. Ketika SD saya masuk sekolah negeri yang hanya mengajarkan pelajaran agama Islam. Satu kelas hanya 3 orang anak yang beragama non-Islam. Setiap kali pelajaran agama kami dibebaskan memilih, boleh tinggal atau keluar kelas. Jika sedang malas keluar saya di dalam kelas saya menyimak pelajaran agama Islam, sehingga sampai sekarang saya masih hapal satu doa. Jika di luar, ya kami main ke gereja yang letaknya di sebelah sekolah.

Selanjutnya saya memilih sekolah Katolik terus hingga SMA meskipun orang tua saya tidak menganjurkan, bahkan mereka menyarankan masuk ke negeri saja dengan alasan soal jarak. Tapi saya enggan karena sekolah Katolik lebih bersih dan apik, disiplin, dan saya merasa lebih nyaman di sana. Di SMA ini saya berkenalan dengan seorang suster yang luar biasa dari ordo Amal Kasih Darah Mulia, bahkan sampai sekarang saya masih berhubungan dengan beliau. Saya amat kagum pada beliau.

Soal pelajaran agama tadi - ah, saya memang suka melantur kemana-mana, semenjak saya punya anak saya merasa bahwa sekolah berbasis agama sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Saya punya pengalaman: ketika ibu RT membuka kelompok bermain di dekat rumah. Hampir semua teman-teman anak saya sekolah di sana, sementara anak saya tidak bisa karena kelompok bermain itu berbasis agama tertentu. Saat itu saya hampir menangis melihat anak saya hanya bisa melihat di balik pagar sementara teman-temannya di dalam. Saya jengkel. Kenapa tidak ada orang yang berinisiatif membuka sekolah yang tidak berbasis agama?

Jaman dulu ketika SD saya mendapat pelajaran budi pekerti. Menurut saya itu pelajaran yang bagus sekali. Saya kok cenderung mengusulkan agar pelajaran agama dihapus dan diganti pelajaran budi pekerti saja. Ada tentang sopan santun, toleransi, menghargai sesama, cara hidup sederhana, kebersihan. Sepertinya itu lebih bagus. Pelajaran agama biarlah urusan agama itu sendiri. Gereja mengadakan Sekolah Minggu atau Bina Iman, Mesjid juga menyelenggarakan TPA atau apa ya kepanjangannya, Tempat Pengajian Anak (?). Yang lainnya seperti agama Budha atau Hindu pasti ada juga semacam itu.

Jadi, biarlah soal agama menjadi urusan privat.

Selain itu, saya mengusulkan juga agar sekolah-sekolah swasta yang berbasis non-agama diperbanyak. Saya himbau agar para investor membantu pendirian sekolah-sekolah semacam ini.

Rabu, 11 Juli 2007

Memahami Data Kemiskinan BPS

3 Juli 2007
(Tulisan ini ditulis pada 3 Juli tapi baru ditayangkan pada 11 Juli dengan editing)

Tanggal 2 Juli kemarin Biro Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan hasil survei terbarunya. Temuannya: jumlah penduduk miskin di Indonesia per bulan Maret 2007 ini sebesar 37,17 juta orang. Dibanding bulan Maret 2006 lalu yang sebesar 39,30 juta, berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Apa penyebab penurunan angka kemiskinan ini tidak dijelaskan BPS secara pasti. Sementara itu, komentar bernada miring bermunculan meragukan kebenaran data tersebut. Bagaimana sebaiknya kita membaca dan memahami temuan BPS ini?

BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Menurut rilis media BPS, metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan..

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Dengan menggunakan konsep dan metode seperti tersebut di atas, maka yang disebut dengan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.

Jika mengacu pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan Bappenas (2005), maka apa yang disebut miskin oleh BPS barulah mendeskripsikan sebagian dari kondisi kemiskinan itu sendiri. Menurut dokumen tersebut, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan
hak lainnya.

Inilah konsep kemiskinan berbasis hak. Konsep ini menegaskan kembali kewajiban negara untuk menghormati kemiskinan dan menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Ada pengakuan bahwa kondisi kemiskinan yang mendera seseorang karena akibat dari luar, bukan karena dirinya semata. Oleh karena itu negara berkewajiban untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan akibat-akibat tersebut.

Konsep kemiskinan yang dipergunakan BPS mempergunakan teori pemenuhan kebutuhan dasar Maslow. Mari kita tengok teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan manusia sifatnya berjenjang ke atas, jika seseorang mampu memenuhi kebutuhan yang paling rendah, barulah ia menanjak ke kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan manusia terbagi menjadi kebutuhan dasar atau yang disebut basic needs berupa kebutuhan fisik, keamanan, rasa memiliki dan kasih sayang, dan aktualisasi diri. Selanjutnya, jika seseorang telah berhasil memenuhi kebutuhan dasarnya maka ia akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (higher needs) atau yang disebut sebagai kebutuhan ideal (ideal needs) berupa pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu dan estetika.

Jika diterapkan dalam kehidupan keseharian, teori Maslow bisa jadi menyatakan bahwa seseorang dengan kondisi perut lapar tidak akan mampu menjadi orang pintar. Benarkah demikian?

Pengamat sosiologi lingkungan Michael Mayerbfeld Bell (1998) mengkritik Maslow. Semisal, ada seseorang yang begitu senangnya membaca buku sehingga ia lupa makan. Dalam beberapa kasus, teori Maslow tak bisa diterapkan. Kita ingat nama-nama tiga anak Papua penerima Satya Lencana Wirakarya dari Pemerintah yaitu Septinus George Saa, Anike Boare, dan Rudolf Surya Bonay. Ketiganya meraih penghargaan the first step to nobel prize dalam bidang fisika dan kimia secara berturutan mulai tahun 2004, 2005 dan 2006. Apakah ketiga anak itu berasal dari keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya? Tidak juga.

Atau apakah jika seseorang sudah kaya dalam artian terpenuhi kebutuhan fisiknya ia lantas belajar dengan giat? Atau berupaya untuk menikmati karya seni yang bercita rasa tinggi? Beberapa orang mungkin melakukannya. Tapi kebanyakan memanfaatkan kekayaannya untuk bersenang-senang saja atau membeli barang-barang bermerek tanpa memikirkan soal selera. Dalam kasus lain kita dapati seorang aktivis politik yang rela tidak makan minum demi memperjuangkan ideologi yang diyakininya.

Apa yang diklaim BPS sebagai kemiskinan sesungguhnya hanyalah sebagian dari ketidak mampuan masyarakat dalam memenuhi hak hidupnya secara bermartabat. Pernyataan ini bisa diartikan jika BPS mengklaim bahwa orang miskin berkurang, bisa saja kita artikan sebagai sebagian ketidakmampuan masyarakat berkurang. Bukan berarti seseorang itu lantas tidak terbebaskan dari kondisi kemiskinan. Bisa jadi ia hanya mampu memenuhi kebutuhan tertentu akan tetapi merelakan tidak terpenuhinya kebutuhan yang lain.

Saya kemudian berpendapat, bahwa dengan demikian sebenarnya data kemiskinan yang disosialisasikan BPS adalah data yang masih kasar. Sesungguhnya data kemiskinan kita jauh lebih besar dari angka itu. Bukan berarti saya mengecilkan hasil riset BPS. Hanya saja, angka itu menurut saya baru menyentuh permukaan wilayah kemiskinan di Indonesia.

Jadi, belum bisa dipastikan apakah benar orang miskin di Indonesia berkurang? Jangan-jangan malah bertambah. Pembenaran bisa dicari dengan memegang definisi soal kemiskinan seturut perspektif masing-masing.

Yang pasti, buka mata hati dan pikiran kita untuk mengentaskan kemiskinan. Asah empati dan perangi korupsi. Mari bangun hidup sederhana dan ramah lingkungan.

Minggu, 08 Juli 2007

Summerhill School

9 Juli 2007

Dalam perjalanan ke kantor pagi ini, di bis baca buku Summerhill School - buku baru terbitan Serambi (Juni 2007). Bacanya baru 1/3 sih, tapi udah mulai ketahuan ini buku bagus. Ini kumpulan tulisan dari pendiri Summerhill School, Alexander Sutherland Neill. Kumpulan tulisan itu kemudian diedit oleh Albert Lamb. Buku Summerhill School ini merupakan buku kedua tentang Summerhill, hanya saja di buku ini menurut Lamb, ada koreksi terhadap pandangan Freudian yang dulu digunakan dalam buku pertama. Menurut Neill, pandangan freudian tersebut sudah usang.

Bekas guru ini mendirikan sekolah alternatif tahun 1921 setelah merasa selama ini melakukan 'kekeliruan' dalam mengajar. Sebelumnya - seperti layaknya guru-guru, ia menjaga jarak dengan murid, menerapkan disiplin yang totaliter seperti memukul anak dengan sabuk jika nilai merosot atau anak melakukan kesalahan. Summerhill School terletak di kota Leiston, Suffolk, sekitar 160 km dari London.

Di Summerhill School, Neill mendirikan sekolah dengan konsep baru. Asumsinya semua anak pada dasarnya baik. Anak bermasalah berasal dari keluarga yang bermasalah, sekolah bermasalah; dari lingkungan bermasalah. Karenanya yang harus dibenahi adalah lingkungan-nya. Neill menunjuk pada orang tua dan guru-guru jika seorang anak didapati bermasalah.

Neill juga berargumentasi bahwa semua permasalahan tersebut bersumber dari adanya ketidakbahagiaan yang dirasakan. Saya kutipkan tulisan Neill dari buku halaman 39:

"Anak yang bermasalah adalah anak yang tidak bahagia. Dia berperang dengan dirinya sendiri; dan konsekuensinya, dia berperang dengan seluruh dunia. Orang dewasa yang bermasalah pun demikian. Tak ada orang bahagia yagn gemar bikin onar dalam suatu acara, atau mengajak perang atau menghukum orang yang tak bersalah. Tak ada perempuan bahagia yang mengomeli suami atau anak-anaknya. Tak ada lelaki bahagia yang menjadi pembunuh atau pencuri. tak ada atasan bahagia yagn suka menakut-nakuti bawahannya. Semua kejahatan, semua kebencian, semua peperangan bersumber dari ketidakbahagiaan....."

Karena itulah Neill menyebut Summerhill School sebagai "sekolah yang paling membahagiakan di seantero dunia" (hal. 52). Di sekolah ini Neill menebarkan kasih sayang dan kebahagiaan karena menurutnya kebencian akan melahirkan kebencian, dan kasih sayang berbuah kasih sayang. Kasih sayang berarti mendukung anak-anak, dan kasih sayang ini penting sekali pada semua sekolah. Anda tak berpikah pada anak-anak kalau Anda memarahi dan menghukum mereka, begitu tandas Neill.

Namun, seperti sudah bisa ditebak, apa yang dilakukan Neill ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Mereka yang setuju dengan cara-cara konvensional jelas menentang cara-cara di Summerhill. Kebanyakan menyebut sekolah ini sebagai "sekolah suka-suka".

Memang, pada kenyataannya anak-anak dibebaskan untuk melakukan apa yang mereka sukai. Neil berpendapat bahwa anak-anak memiliki sifat bawaan bijaksana dan realistis. Jika seorang anak ingin menjadi sarjana, maka dia akan menjadi sarjana. Jika seorang anak ingin menjadi tukang sapu, dia akan menjadi tukang sapu. Meski belum pernah mendapati murid Summerhill menjadi tukang sepatu, tapi Neill menulis "..sejatinya saya lebih suka sekolah yang mencetak tukan sapu yang bahagia daripada sekolah yang menghasilkan sarjana neurotik".

Jadi kunci dari apa yang dilakukan Neill adalah tentang memberikan kebahagiaan. Biarkan anak-anak melakukan apa yang ia sukai asalkan ia merasa bahagia. Kita tidak boleh memberikan penghakiman tentang baik dan buruk pada apa yang ia inginkan. Tapi, meskipun demikian Neill menerapkan juga konsep tut wuri handayani (mengasuh dengan cara membimbing secara tidak langsung). Dalam rapat-rapat yang dihadiri murid dan guru, seringkali Neill memberikan usulan-usulan yang mampu mengundang perdebatan tapi tidak memberikan keberpihakan pada satu posisi. Yang ia lakukan adalah mengarahkan agar anak mampu berpikir kreatif dan mandiri serta bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

Nyatanya, para alumnus Summerhill banyak dikenal sebagai pribadi-pribadi yang percaya diri. Dalam buku ini, ada juga tulisan dari alumnus Summerhill yang memberikan kesaksian tentang bagaimana masyarakat memandang dirinya.

Saya belum membaca buku ini sampai habis, tapi argumen-argumen Neill di halaman awal menarik minat saya, juga saya menyetujuinya. Apalagi di jaman sekarang, dimana kebahagiaan begitu sulit dicari. Dimana semua orang saling berkompetisi untuk menjadi nomer satu. Dan yang didapati akhirnya orang jadi bersitegang dan berebut untuk berada di jalur pertama.

Meski Neill mengatakan tidak mengapa jika lulusan Summerhill ada yang menjadi tukang sapu - asalkan bahagia- tapi sejatinya, tidak satupun yang begitu. Alumnus Summerhill justru banyak yang menjadi tokoh masyarakat. Menjadi sarjana, guru besar, ataupun pengusaha sukses. Jika tidak minimal, ia menjadi seseorang yang mandiri, kreatif, dan percaya diri.

Saya terapkan argumen Neill pada beberapa kasus, seperti misalnya pada anak-anak berprestasi yang diwawancara di beberapa media, ketika ditanya, mereka justru jarang belajar, atau belajar dianggap sebagai sebuah hobi, kebanyakan bukan tipe anak-anak nerd, tukang baca atau bertampang serius. Ya..beberapa ada yang berwajah serius, tapi bukan berarti mereka lantas menjadi penyendiri. Yang sering ada adalah mereka periang, punya hobi, punya selera humor. Apakah mereka berasal dari keluarga kaya? Jujur, sebagian besar memang demikian, karena kesejahteraan otomatis memberikan perangkat untuk memenuhi rasa keingintahuan si anak. Tapi bagi yang tidak dari keluarga kaya, ternyata banyak juga ditemui anak berprestasi.

Di sini saya setuju pendapat Neill dan menangkap apa maksud Neill. Kebahagiaan mampu menghasilkan banyak hal. Kreativitas, kepercayaan diri, kenyamanan, dan otomatis akan banyak lagi efek-efek positif lainnya.

Seringkali sebagai ortu, kita memaksakan kehendak pada si anak. Harus bisa begini harus bisa begitu, harus menyenangi ini, harus menyenangi itu. Kasihan juga sebenarnya ya. Rasanya kita ini kok gak punya empati sama anak kecil. Coba kalo kita yang jadi mereka. Nggak mau juga kan dipaksa begini dan begitu.

Padahal Neill punya ide mendirikan Summerhill itu tahun 1921, ketika itu aja Neill udah merasa berdosa karena seharusnya dia sudah melakukannya jauh-jauh hari, dan masih saja keheranan dengan perilaku guru-guru di jaman itu yang masih menerapkan kedisiplinan yang totaliter pada murid.

Neill lahir 17 Oktober 1883 di Forfar, Angus, Skotlandia dan wafat tanggal 22 September 1973. Menjadi guru dilakoninya sejak muda belia di sekolah ayahnya. 90 tahun umur Neill betul-betul didedikasikan untuk pendidikan. Barangkali di alam baka sana Neill masih prihatin melihat dunia pendidikan kita yang masih saja tak berubah. Satu dua memang ada bibit-bibit sekolah alternatif atau guru-guru yang mencoba mendobrak sistem pendidikan yang kaku. Tapi mayoritas masih juga mencetak anak-anak yang tidak bahagia dan neurotik. Yang hanya berkeinginan mengejar prestasi demi kepentingan diri sendiri atau karena tekanan berbagai pihak.

Saya kira cita-cita Neill perlu kita lanjutkan. Siapa yang tidak bahagia melihat wajah-wajah anak bangsa ini bersinar terang? Saya kira kebahagiaan anak adalah kebahagiaan kita semua. Kebahagiaan anak berarti harapan akan masa depan yang bisa jadi lebih bahagia lagi.