Rabu, 12 September 2007

Perda Ketertiban Umum

13 September 2007

DPRD DKI Jakarta kemarin mengesahkan Raperda Ketertiban Umum yang baru menggantikan Perda Ketertiban Umum 1988. Menurut media, perda yang baru ini berisi 101 larangan yang mengatur di antaranya joki three ini one, PSK, pedagang asongan dan yang paling kontroversial adalah larangan untuk memberi sedekah pada pengemis jalanan.

Tadi pagi saya lihat tayangan Metro TV wawancara dengan warga DKI yang menyetujui Perda tersebut. Alasannya para pengemis ini memang mengganggu karena sering meminta uang dengan paksa. Ia juga mengatakan seandainya hanya satu orang pengemis pun tak apa dia akan memberi uang, tapi jika dalam satu bis ada 10 orang pengemis dan rata-rata meminta dengan paksa, maka tentulah situasinya akan menjengkelkan.

Saya setuju dengan pendapat warga tadi. Dalam posting blog bulan Juli -kalau tidak salah- saya pernah menuliskan tentang para pengemis jalanan ini. Memang benar, pemandangan di ibukota negara ini menjadi sangat terganggu dengan keberadaan mereka. Kenapa? Karena mereka menjadi paradoks dalam pembangunan kota metropolitan ini. Bayangkan saja di antara jajaran mobil-mobil mewah, tiba-tiba mereka menyelinap bermodalkan kemoceng usang atau baju compang camping atau sambil gendong bayi yang mungkin umurnya belum sampai 3 bulan.

Kemarin lusa saya mendapati seorang ibu dan anak kecil (mungkin juga bukan anaknya) yang baru berumur 2 tahun di jembatan penyeberangan depan Hotel Nikko, Thamrin. Si anak rupanya sedang sakit perut. Dia (maaf) buang air besar berupa cairan di sana. Si ibu dengan santainya menaruh celana pendek si anak untuk menadahi kotoran. Ketika saya melintas baunya sedikit tercium karena angin di atas jembatan penyeberangan kencang bertiup. Tujuan saya kebetulan adalah ke Plaza Indonesia - salah satu plaza bergengsi di Jakarta. Bukan untuk belanja atau jalan-jalan, saya ke sana karena tetangga saya memerlukan bantuan saya untuk nyupirin mobilnya. Saya sendiri sudah lamaaaa sekali nggak masuk plaza ini. Sempat nyari pintu masuknya mana. Begitu dapat, saya memasuki lorong-lorong pertokoan yang penuh barang-barang mewah. Kontras sekali suasananya dengan apa yang baru saja saya dapati di luar tadi. Saya menghela nafas.

Kembali ke soal Perda tadi. Bagaimana pendapat saya pribadi? Saya setuju, asal Pemda benar-benar punya kemampuan untuk menghadapi kaum pinggiran itu. Dan kalau dilihat kenyataannya, saya pesimistis. Misalnya saja, pernyataan Sutiyoso kalau para pengemis dan gelandangan itu akan diurus dan diberi ketrampilan. Bagus sih idenya, tapi apakah amunisi Pemda mendukung? Seperti berapa anggaran yang sudah disiapkan? Apa saja jenis pelatihannya? Berapa banyak nanti petugas yang akan mengawasi supaya jangan ada orang yang memberi sedekah atau membeli di petugas asongan?

Kemarin-kemarin waktu Sutiyoso nggusur kolong-kolong jalan layang, sekolah Kartini yang selama ini dikelola ibu kembar ikut kegusur juga. Ketika mereka terpaksa menyerahkan murid-murid ke Pemda untuk diteruskan sekolahnya, apa hasilnya? Para murid itu menolak, dan terpaksa ibu kembar membangun lagi sekolah darurat yang meskipun lokasinya sekarang agak jauh, para murid toh rela ke sana. Mengapa? Saya pikir karena cara pemberian pendidikannya berbeda. Saya bayangkan para murid itu dimasukkan ke sekolah biasa dengan kurikulum nasional - dan ini tentu saja berbeda visi dan misi nya dengan apa yang selama ini diterapkan di sekolah Kartini. Menurut ibu kembar seperti pernah dimuat di media massa, di sekolah Kartini, penguasaan ketrampilan lebih diutamakan ketimbang kemampuan akademis. Hasil karya murid-murid sekolah Kartini sudah menghasilkan jutaan rupiah. Pemasarannya selama ini diurus juga oleh ibu kembar baik yang melalui penjualan door to door, basar, maupun pameran. Saya kira para murid itu memikirkan masa depan mereka. Ini perubahan yang cukup drastis. Tak salah seandainya mereka tak mau sekolah di sekolah umum.

Pengalaman itu setidaknya bisa memberikan sedikit bayangan bahwa Pemda belum memiliki kemampuan untuk merangkul kaum marjinal tadi. Barangkali bukan saja kemampuan secara finansial karena bisa jadi dibandingkan kantong ibu kembar, kantong Pemda lebih tebal (hanya saja banyak tikus-tikus yang menggerogoti); kemampuan yang lain saya perkirakan adalah kemampuan untuk ber-empati. Ketulusan hati untuk mengentaskan kaum marjinal dari kemiskinan dan memberikan ketrampilan agar mereka benar-benar mandiri. Tengok saja kilas balik kisah ibu kembar yang akhirnya malah "terperangkap" di kolong tol.

Ketika itu, saya lupa tahunnya, sekitar 1990-an, mobil ibu kembar yang kebetulan melintas di kolong tol kempes bannya. Sambil menunggu ban ditambal mereka duduk di pinggir jalan dan melihat dengan mata sendiri bagaimana kehidupan kaum pinggiran. Pengalaman ini menimbulkan gagasan untuk membantu para gelandangan dan anak terlantar melalui pendirian sekolah darurat dan pemberian ketrampilan.

Dari sini saya kira kita bisa melihat perbedaan pemberian perlakuan pada kaum marjinal. Ibu kembar memulai kegiatannya dari simpati dan empati. Sementara dari pemerintah, saya kira masih sebatas 'kewajiban'. Adakah simpati dan empati di sana? Who knows? Kita punya pengalaman soal penggusuran pedagang kaki lima, penggusuran tempat tinggal tak berijin, penertiban pengemis dan gelandangan di jalan-jalan, penertiban joki three in one, penertiban PSK. Apa yang kita lihat di sana? Yang sering terjadi sih, ada kekerasan - ada pemaksaan. Selalu berlangsung kisruh.

Bukannya saya antipati sama pemerintah. Saya usul seandainya Pemerintah kerjasama dengan para simpatisan kaum marjinal - bisa individu, bisa LSM, bisa Yayasan - apakah tidak lebih baik jadinya? Barangkali saja Perda itu tak perlu ada.

Pemerintah itu tidak mampu untuk menangani berbagai macam hal. Itu tesis dasar saya. Maka, mbok ya pemerintah jangan arogan lah. Bahwa Perda itu mengundang kontroversi itu jelas. Apalagi disahkan awal bulan Ramadan, katanya sih, untuk tameng bakal banyaknya pengemis di bulan Ramadan. Tapi, kalau itu tujuannya, kan ini tujuan jangka pendek? Sementara Perda kan bisa sampai 5 tahun lebih umurnya?

Saya terus terang pesimistis (lagi). Meskipun tujuannya jelas baik - baik bagi pengguna jalanan (karena bakalan merasa lebih nyaman) - baik bagi kaum marjinal (karena bakalan ada yang ngurus dan ngasih pelatihan) - baik bagi Pemda (karena seperti diingatkan lagi akan kewajibannya untuk ngurus warga), tapi ini bukan pekerjaan yang mudah.

Bagi saya, ini sebenarnya Perda yang ditujukan untuk Pemda sendiri. Ini saatnya Pemda betul-betul mengurus kaum marjinal. Dan saya sungguh berharap semoga pekerjaan ini bukan sekadar menjalankan kewajiban, tapi dipenuhi rasa simpati dan empati.

Selasa, 11 September 2007

Wednesday Slow Machine

12 September 2007

Kemarin saya batal naik KRL dari Tanah Abang. Soalnya saya mau beli baju renang dulu di Java Superstore di Thamrin. Lumayan banget lo, saya dapet baju renang ellese cuman 50rb perak! Ada sedikit noda bolpoin memang, tapi tak apa. Tak terlalu terlihat. Saya toh, bukan tipe perempuan berduit dan mau serba perfect untuk urusan fashion. Yang penting, sekarang saya punya tambahan amunisi buat rutin berenang.

BTW, kembali ke soal KRL. Saya naik dari Stasiun Sudirman. Seperti biasa. Yang jam 17.29. Setelah bermanuver sedikit, jadilah saya dapat tempat duduk. Lega rasanya. Kereta sore ini lumayan penuh soalnya. Saya bisa melanjutkan kisah-kisah seru Hercule Poirot sambil mendengarkan radio melalui HP.

Bicara soal mendengarkan radio melalui HP. Ini sekarang jadi kebiasaan saya yg baru di bis ato di kereta. Saya memang memilih HP yang ada fitur radio karena saya memang suka dengerin radio. Hari Rabu ini hari favorit saya, karena ada Wednesday Slow Machine di Kis FM. Sepanjang hari di hari Rabu Kis FM memutar lagu-lagu yang kalem dari aliran apa aja, bisa pop, rock, ato jazz, pokoknya yang slow. Hampir semua lagu-lagu yang diputar itu familiar di telinga saya. Heran juga saya, sepertinya dunia tidak berputar di radio, sehingga waktu terhenti. Saya sepertinya masih ada di masa SMA, masa kuliah, masa awal-awal kerja. Padahal begitu lagu berhenti, baru saya sadar kalo saya sudah beranak dan umur sudah beranjak jauh.

Radio adalah piranti teknologi informasi paling saya kagumi dan menjadi favorit saya dari dulu. Kalo setel radio kita bisa melakukan apa saja. Beda sama kalo setel teve kan harus nongkrong di depan layar kaca. Imajinasi juga bisa lebih hebat dibanding teve. Ketika kuliah di Yogya saya suka dengerin sandiwara radio di Radio Recobuntung. Saya bela-belain pulang ke rumah di antara jeda kuliah cuman buat dengerin sandiwara radio. Selesai acara saya kabur lagi ke kampus.

Sebenarnya bukan sandiwara radio tapi tepatnya diberi judul "Bacaan" karena ada seseorang yang membacakan cerpen atau cerber dari majalah berbahasa Jawa. Biasanya dari Penyebar Semangat - majalah berbahasa Jawa yang nampaknya sampai sekarang masih terbit karena punya niche market (pasar khusus). Hebatnya, si pembaca itu mampu memerankan berbagai karakter melalui suara yang diubah-ubah. Si pembaca ini adalah laki-laki tapi mampu jadi perempuan yang lemah lembut, nenek-nenek, terus jadi laki-laki yang dalam bayangan saya ganteng, ato lain kali jadi penjahat. Pokoknya hebat dia. Sayang sampai sekarang saya tak tahu siapa si pembaca ini. Acara ini juga nampaknya sudah ditiadakan.

Aduh, saya mulai melantur. Padahal judul posting kali ini Wednesday Slow Machine, mestinya kan membicarakan tentang itu kan? He..he..dasar saya memang tukang melantur. Tidak fokus.

Tapi pada intinya saya suka mendengarkan radio dan hari ini, hari Rabu, adalah favorit saya karena ada acara Wednesday Slow Machine di Kis FM. Kapan-kapan jika ada kesempatan saya akan kirim email ke Kis FM sebagai apresiasi saya sama acara ini.

Senin, 10 September 2007

Macet

11 September 2007

Sudah beberapa hari ini Jakarta macet bukan main. Ada proyek dimana-mana. Subway lah, monorail lah..Kalau pagi saya kena macet di Pondok Indah terus hingga arteri, simprug. Meski saya naik bis feeder, tapi jengkel juga liat lalu lintas yang padat merayap dan tersendat. Di petang hari, jika saya jadi 'sopir tembak' (nyupirin mobil tetangga yang kantornya kebetulan berdekatan dengan kantor saya) aduh...kaki ini pegel bukan main. Macet mulai dari Jl. Budi Kemuliaan sampai tol kebon jeruk. Plus sekarang lagi tren ngantri menjelang pintu tol. Lega sebentar, ketika belok arah BSD kena macet lagi di Gading Serpong. Mobil Toyota Yaris milik tetangga saya ini meskipun tongkrongannya oke, tapi pedal koplingnya keras. Hadoh..kaki ini melintir sampai ke pinggul.

Kalau saya mau memilih, ya naik KRL paling enak, karena nggak kena macet. Cuman kalo pas apes ya jadual molor sampai lama, terus berenti di beberapa stasiun ngantri rel. Apes lagi kalo gak dapet tempat duduk di kereta. Naik KRL terbatas jamnya. Paling akhir jam 18.30. Jika keluar kantor saja jam segitu udah pasti saya harus naik feeder. Buat menuju ke point feeder saya harus naik busway dulu (yang sekarang makin berdesakan) atau naik taksi (yang pastinya ongkosnya harus lebih).

So, hari ini saya memilih untuk memenuhi undangan meeting di kantor Departemen Pemerintah di kawasan Jakarta Timur ketimbang harus bertemu di kantor saya yang terletak di Menteng. Saya naik bis AC yang melintas di depan kompleks sampai UKI. Mulus dan nggak kena macet. Waktu tempuh cuma setengah jam. Dari UKI saya naik angkot 2000 perak, nggak sampai 10 menit sampailah saya.

Ternyata meeting cuma sebentar karena materi juga harus di fotokopi. Sebelumnya saya pikir saya akan langsung balik rumah, namun saya berubah pikiran. Saya ke terminal Kampung Melayu terus naik bis kopaja 502 sampai di belakang kantor. Praktis ternyata.

Sekarang saya memikirkan pulangnya nanti. Mau naik apa ya? Yang pasti saya akan memberikan beberapa alasan jika tetangga saya meminta saya jadi sopir tembak. Istirahat dulu lah. Kaki ini masih pegal. Alasan lain kalau nyupir saya tidak bisa membaca, padahal saya lagi mood buat baca buku akhir-akhir ini. Sekarang saya sedang nafsu baca Hercule Poirot, suami juga baru beli 6 buku baru kemarin karena Gramedia baru buka di Sumarecon dan promosi diskon 30%.

Saya sedang berpikir untuk mencoba KRL AC Ekonomi Ciujung dari stasiun Tanah Abang nanti sore. Selama ini saya menghindari stasiun Tanah Abang karena rasanya tidak aman di sana. Jadi saya lebih memilih ke stasiun Sudirman yang rasanya lebih 'beradab dan manusiawi'. Jika nanti saya tidak berubah pikiran, akan saya ceritakan pengalaman saya di posting blog besok.

Salam commuter!

Minggu, 09 September 2007

Berenang, yuk!


10 September 2007

Olahraga apa yang paling menyenangkan? Jika pertanyaan ini ditujukan ke saya, jawabnya sudah pasti: berenang! Yang lainnya? Aduh, terima kasih, deh. Saya tidak mampu dan tidak mau. Dan hari Minggu kemarin, saya, suami, dan anak pergi ke kolam renang di kompleks Vila Melati Mas. Murah meriah. Tiketnya cuma 12.500 perak! Bayangkan kalau kami pergi ke kolam renang khusus anak-anak di Family Park Alam Sutera, tiketnya bisa dua kali lipat!

Sebenarnya kolam renang kompleks itu dulunya hanya khusus buat anggota klab. Tapi kabarnya karena gak laku dan mereka perlu dana buat pemeliharaan, jadilah kolam renang itu terbuka untuk umum. Pengelola bahkan memasang spanduk di pintu masuk kompleks dan di jalan raya kompleks. Isinya pemberitahuan kalau kolam renang sekarang terbuka untuk umum.
Kolam renang itu luas. Cuman kedalamannya cuman ada dua: 1,2 meter sama 2 meter. Dibandingkan dengan kolam renang di Cilandak Sport Center (CSC) yang katanya standar internasional agak beda karena di CSC kedalaman kolam sampai 5 meter. Dulu sebelum menikah saya sering sekali berenang di sana. Semenjak menikah, saya hampir tidak pernah berenang. Ya paling di Alam Sutera, di tempat main air anak-anak yang kedalamannya cuman 1 meter. Berenang di situ sangat tidak nyaman.

Sekarang saya punya kesempatan berenang dengan puas. Kolam renang di klab Melati Mas ada dua macam. Ada juga kolam renang khusus untuk anak-anak dengan 2 macam perosotan kecil. Ada juga semacam air terjun dari kolam di atasnya. Kalau kita duduk di bawah air terjun ini rasanya seperti dipijat.

Kami datang ke kolam renang sekitar jam 9.30 pagi. Idenya sebenarnya di samping karena saya dengar dari suster anak saya sudah bisa berenang di sekolah dengan ban sendiri dan juga karena kami malas mandi pagi saja. Jadinya kami sekeluarga berangkat dengan hanya cuci muka dan sikat gigi.

Sampai di sana anak saya senang sekali. Baru kali ini dia lihat kolam renang yang sebenarnya. "Luas sekali", katanya. Tak sabar dia, langsung minta dilepas bajunya dan nyebur di kolam renang kecil. Dalam hati saya juga sudah tak sabar pengen berenang. Setelah main-main sebentar saya ajak anak saya ke kolam yang besar. Suami saya bertugas jaga anak karena dia tak bisa berenang. Dan...byur....aduh, menyenangkan sekali. Akhirnya saya berenang.

Puas sekali saya hari itu. Apalagi kolam renang sepi. Tak banyak pengunjung. Kami merasa nyaman sekali. Anak saya ternyata sudah bisa berenang dengan ban. Di kedalaman 2 meter dia tak takut. Padahal sebelumnya saya dan anak nyaris tenggelam gara-gara saya mencoba berenang sambil memeluk dia. Beberapa teguk air kolam saya telan. Anak saya juga terlihat sedikit syok. Namun, tak lama ia sudah tenang kembali. Dan mulai asyik berenang kesana kemari. 2 jam lebih berlalu. Kulit kami sudah berubah jadi hitam kemerahan. Tapi ya biarlah. Tak apa. Yang penting kami semua bersenang-senang hari itu.

Di sela-sela waktu berenang kami menyantap pisang goreng keju dua porsi. Anak saya yang kedinginan mereguk secangkir coklat hangat. Juga camilan Fugu dan Mi remes. Saya dan suami menyempatkan juga main bilyar di kafe pinggir kolam. Meski tak piawai, tapi lumayan buat sekadar gaya.

Berenang memang mengasyikkan!