Senin, 25 Mei 2009

Kamar Mandi di Rumah Saya

25 Mei 2009

Hari ini aku lagi tak punya topik menarik buat ditulis. Seharian kerja dan kerja. Cukup produktif. Tapi udah janji pada diri sendiri mau rajin ngisi blog lagi. Jadi ini tulisan lama aku posting. Tepatnya ini PR waktu ikut kursus jurnalisme naratif beberapa bulan lalu. Perintah PR itu adalah: buatlah tulisan tentang deskripsi suatu benda, atau ruangan, atau orang. Panjangnya sekitar 250 kata.

Tulisan pendek ini adalah PR yang sudah diperbaiki setelah diperiksa Fahri Salam, mentor di kursus. Agak sulit buat saya menulis dengan batasan jumlah kata. Tulisan di bawah ini memiliki kata sebanyak 259 buah. Tak banyak kok perbaikannya. Fahri rupanya menyukai hasil kerjaku. O, ya, ada juga komentar dari Fahri di akhir tulisan.

Berikut tulisan itu - judulnya Kamar Mandi di Rumah Saya:

Kamar mandi di rumah saya kecil. Berbentuk bujursangkar dengan panjang sisi 1,5 meter. Lantainya dari keramik berwarna merah marun. Separuh dinding dilapisi keramik berwarna senada. Saya menghormati ruangan ini sebagai ruang paling pribadi. Ia harus sesuai dengan fungsinya, yaitu mandi dan buang hajat. Saya melarang anggota keluarga meletakkan baju-baju kotor maupun mencuci baju di sana. Isinya hanya peralatan mandi serta satu buah sikat berbentuk bulat panjang untuk menggosok lubang kakus. Satu minggu sekali pembangu menyikat lantainya, menguras bak mandi dan menggosok dinding-dindingnya agar tak berlumut. Bulatan-bulatan kapur barus saya letakkan di sudut-sudut lantai. Jika masih baru, baunya sedikit menyengat.

Sekitar dua tahun lalu, saya mengganti pintu kamar mandi dengan pintu yang terbuat dari plastik. Yang lama dari papan multipleks, lebih mudah busuk bila terus-menerus terguyur air. Penampilan pintu plastik ini lebih modern. Warnanya kuning gading sesuai warna dinding rumah. Pada bagian bawah terdapat sekat-sekat sirkulasi udara. Sayang, kunci pintu tak berfungsi dengan benar. Entah mengapa, kuncinya sering tak bisa dibuka kembali. Harus ada orang lain di luar yang membukanya dengan anak kunci. Agar tak merepotkan, akhirnya kunci pintu sengaja dirusak. Kini pintu itu hanya bisa menutup tanpa bisa dikunci.

Nah, supaya kamar mandi tetap jadi ruang privat, kami membuat kesepakatan. Pintu itu harus tertutup jika ada yang menggunakan. Jika tidak, sebaiknya dibiarkan terbuka. Di malam hari, pintu kamar mandi memang harus tertutup karena kecoak suka keluar dari lubang buangan air dan bisa merajalela kemana-mana. Jika terbangun di malam hari dan ingin buang air, lihat dulu apakah lampu kamar mandi menyala. Jika menyala, itu artinya ada orang lain di dalam.***


Catatan: Ceritanya lucu tanpa berniat ingin melucu. Aku tersenyum simpul setelah menyelesaikan paragraf terakhir. Ia ringan, mengalir, dan terasa 'persoalan' (kamar mandi) ini begitu akrab dengan Mbak Tata. Intens sekali. Aku menyukainya. Mbak juga punya kemampuan bercerita dalam menulis. Setiap orang, tentu saja, punya cerita. Yang susah adalah menuliskannya. Mbak Tata mampu menuliskan kisah ini dengan mengalir dan enak dibaca. Thanks. (Fahri)

Minggu, 24 Mei 2009

Festival Jajan Bango 2009


24 Mei 2009

Hari Sabtu kemarin kami pergi ke Festival Jajan Bango (FJB) yang digelar di halaman parkir Gelora Senayan. Ini pertama kali aku berkunjung ke FJB yang kabarnya udah beberapa kali diadakan. Sampai di Senayan mobil sudah terlihat mengular, antre masuk. Beberapa mobil yang tidak sabar nampak putar balik. Suamiku bilang, "Sabar, sabar, biarian aja tuh yang mau pergi".

Setelah bersabar dan berjuang, akhirnya dapat juga parkir dekat tempat festival. Begitu keluar mobil. Wuaaah, bau harum menyeruak. Nampak kepulan asap di sana sini. Maklum beberapa adalah penjual sate. Tapi jangan khawatir, mobil pemadam kebakaran nampak stand by di sana.

Begitu masuk, bingung juga. Berderet-deret nampak penjual makanan. Kanan dan kiri. Di tengah puluhan orang duduk di kursinya. Apalagi kegiatan mereka kalo gak makan dan makan.

Akhirnya setelah toleh sana toleh sini. Pilihan jatuh pada sate pejompongan. Antrinya memang bukan main, tapi ya memang dimana-mana begitu. Sabar saja. Sementara suami antri, aku dan anak-anak - Bintang dan Putri - plus suster cari tempat duduk. Tak berapa lama sate datang, ternyata cuma satu porsi. Ya sudah, buat Bintang aja. Aku sama suster akhirnya beli soto ceker. Suami beli gado-gado bonbin.

Selesai makan kami jalan-jalan lagi. Beli kecap bango satu botol. 16.000 perak. Dapet kupon dua lembar. Kupon ini bisa ditukar dengan peluang untuk mengambil dua undian. Bintang yang memilih. Ternyata kami dapat botol kecap sama buku agenda Bango. Lumayan. Dua kupon tadi juga ternyata berfungsi buat tiket masuk ke Kampung Bango. Aku sama Bintang masuk ke sana.

Wah, menurutku Kampung Bango ini ide cerdas. Ini adalah satu replika mini yang menceritakan tentang darimana si kecap berasal. Di halaman pertama kami disambut dua mbak penjaga yang menyobek tiket dan memberi kami caping kertas. Berikutnya adalah replika kebun kedelai. Ada dua bapak petani yang jaga. Bintang boleh masuk ke kebun, melihat kecambah yang mulai tumbuh dan foto di antara tanaman kedelai. Berikutnya ada ibu-ibu dengan tampah penuh kedelai hitam. Pemberhentian berikutnya adalah tempat mencetak gula jawa. Ada mas-mas yang jaga di situ. Katanya pada Bintang, "Kecap bango itu bahan dasar utamanya ya cuma kedelai sama gula jawa. Adik mau coba cetak gula jawa?". Bintang tentu mau. Padahal yang dicetak itu bukan gula jawa beneran tapi playdough - alias malam. Cetakannya rapi. Bulat-bulat kecil. Gampang memang. Bintang dengan cepat membuat dua gula jawa.

Selesai dari meja gula jawa, kami beranjak lagi. Sekarang ke tempat penuangan kecap ke botol. Nampak papan bertuliskan "Bukan cairan kecap yang asli. Jangan diminum". Di bawahnya ada semacam gentong besar dengan beberapa keran di badannya. Bintang diberi satu botol kecap kecil kemudian si mas yang jaga membuka keran. Tugas Bintang hanya memegang botol kosong di bawah keran. Nampak seorang fotografer sibuk mengabadikan momen ini. Buat apa ya? Mungkin dokumentasi.

Nah, semua proses pembuatan kecap selesai. Tapi masih ada dua pemberhentian lagi, yaitu koperasi karyawan Bango. Mereka menjual merchandise Bango serta barang-barang kerajinan hasil daur ulang bungkus kecap Bango. Ada dompet hape, sampul agenda, tas, dll. Aku tak begitu tertarik, jadinya ya lewat aja. Berikutnya lagi tempat foto. Ada kebun kedelai yang dicetak pada backdrop. Ada properti cangkul dan caping beneran. Jadi kita bisa berpose di sana dengan mengenakan caping dari anyaman bambu dan memegang cangkul. Seorang penjaga standby di situ untuk membantu mengambil gambar. Aku pengen juga foto, tapi si Bintang keburu pengen main lompat-lompatan.

Tak jauh dari situ memang ada tempat untuk main lompat-lompatan. Apa ya namanya aku lupa. Pokoknya terbuat dari semacam terpal plastik yang ditiup. Ukurannya besaaaar sekali. Beberapa anak kecil main lompat-lompat juga di sana. Suamiku membelikan tiket, harganya 20.000 untuk sekali main dengan durasi 30 menit. Satu tiket dapat satu kantong kecil kecap Bango. Lumayan.

Selagi main ada teman suami ikut nimbrung. Sementara si dede sudah tidur. Kecapekan dia. Aku sendiri juga udah teler sebenarnya. Cuaca kurang mendukung. Tadi panas banget, terus mendung dan hujan rintik-rintik. Mungkin ada pawangnya, karena biasanya dengan mendung sebegitu tebal pasti hujan jatuh deras sekali.

Jam setengah empat sore kami memutuskan pulang. Sebelumnya aku sempat jajan bakso pentul senayan. Penasaran aja, kok banyak orang makan kayaknya enak benar. Bakso pentul ini adalah tiga bakso yang ditusuk sate, diberi kecap kemudian dibakar. Makannya sambil dicocol saus sambel. Sederhana tapi kok ya enak ya. Kata susterku, "Ibu juga pasti bisa bikin kayak gini."
Bener juga ya, jadi pengen nyoba kapan-kapan. Harganya cukup mahal lo. Satu tusuk 7000 perak. Dan memang secara keseluruhan menurutku sih harga makanan di FJB ini mahal. Soalnya satu porsinya sedikit, beda dengan porsi di luar.

Tapi, ya sudahlah. Kami maklum saja. Acara ini menarik. Konsepnya sebenarnya sederhana cuma menggabungkan para pedagang makanan di satu tempat. Tapi dikemas dengan apik dan cerdas, jadinya ya bagus. Menyenangkan buat kami.

Jumat, 22 Mei 2009

Yang remeh tapi penting

22 Mei 2009

Saya produk lama. Angkatan 60-an. Saya hasil didikan generasi 30-40an. Kedua orang tua saya lahir tahun 1934. Guru-guru yang mendidik saya lebih muda dari kedua orang tua saya. Saya kira mereka lahir sekitar tahun 40-50an. Masih ada plusnya. Mayoritas pendidikan saya nikmati di sekolah Katholik yang notabene disiplin. Apa artinya kedua fakta itu?

Begini, akhir-akhir ini saya suka jengkel. Asisten domestik saya, suster dan mbak cuci gosok suka bikin gemes. Saya rasa mereka boros soal penggunaan sabun, obat pel, listrik, air, odol, dll. Juga tak paham detil. Kalau bekerja saya lihat masih ada yang terlewat. Hal seperti ini bukan terjadi sekali ini. Semenjak berumah-tangga, saya beberapa kali memiliki asisten domestik. Jaraaaang sekali yang punya perilaku hemat, tertib, dan detil dalam bekerja.

Nah, di sini saya mau tulis beberapa hal yang kelihatan remeh tapi perlu diperhatikan, yang merupakan hasil didikan generasi tua yang saya sebut tadi:

1. Mencuci pisau dapur (ini berlaku untuk pisau yang terbuat dari besi, bukan stainless)
Pisau yang terbuat dari besi tempa yang ditipiskan biasanya akan berkarat jika habis dicuci. Jika pisau berkarat akan mudah tumpul, lagipula pisau berkarat tidak bisa segera digunakan. Nah, caranya selesai mencuci pisau, segera lap atau keringkan badan pisau. Akan lebih baik lagi jika diolesi minyak goreng untuk mencegah karat dan menjaga supaya tetap tajam. Untuk menghemat, bisa saja gunakan minyak jelantah. Tapi ingat, jangan gunakan minyak jelantah yang bekas goreng ikan. Nanti jika digunakan untuk memotong makanan, makanannya akan bau ikan. Lebih baik memang menggunakan minyak goreng yang baru.

2. Menuang minyak dari refill ke tempat minyak.
Untuk mencegah ada tumpahan. Tempat minyak ditaruh dulu di baskom. Jadi tumpahan minyak akan jatuh di baskom, kemudian baru dituang lagi ke tempat minyak.
*Ini berlaku juga jika ingin menuang cairan lain dari refill misalnya, kecap, obat pel, pelembut pewangi, dll.

3. Memencet pasta gigi.
Pencet pasta gigi dari ekornya baru naik ke atas. Bukan dari ujung. Memang lebih mudah dari tempat yang paling gendut, tapi lebih baik kalau dari bawah ke atas. Ini akan lebih menghemat, karena pasta gigi akan terpakai seluruhnya. Jaman dulu tempat pasta gigi terbuat dari seng sehingga 'ekor' pasta gigi lantas digulung ke atas.

4. Menggunakan sabun mandi.
Sabun mandi yang menipis jangan langsung dibuang begitu saja. Gunakan sabun mandi hingga habis. Caranya: sabun mandi yang tipis ditempelkan ke sabun mandi yang baru. Tarik-tarik pinggir sabun dan beri sedikit air sehingga keduanya bisa menyatu. Nah, sekarang tak ada sabun yang terbuang.

5. Saat air toren penuh.
Ketika mengisi air dengan jet pump, air akan dialirkan dulu ke toren (bak penampungan air). Nah, jika toren sudah penuh, langkah pertama adalah mematikan jet pump. Langkah kedua,
segera nyalakan air keran di kamar mandi untuk mengisi bak. Sehingga air tidak terlalu banyak yang terbuang. Jika bak sudah penuh, ambil inisiatif, dengan menampung air di ember.

6. Mencuci peralatan makan.
Keran bak cuci bisa diatur sedemikian rupa. Tidak perlu setiap kali memutarnya dengan maksimal. Untuk mencuci sendok dan garpu misalnya. Cukup putar secukupnya tidak usah terlalu deras airnya. Ini akan menghemat air yang terbuang.

7. Membersihkan kamar mandi.
Keramik kamar mandi biasanya bergaris-garis secara vertikal dan horisontal. Untuk membersihkannya, sikat seturut arah garisnya. Gunakan beberapa ukuran sikat. Pergunakan lagi sikat gigi yang sudah tidak dipakai untuk membersihkan sudut-sudut keramik.

8. dan masih banyak lagi sebenarnya. tapi ini sudah malam, mata sudah mengantuk. tapi untuk sementara ini dulu. saya akan coba inventarisir banyak hal remeh tapi penting lainnya. nanti saya posting lagi.

Selasa, 19 Mei 2009

Bintang Sakit

19 Mei 2009

Jam 8 malam. Akhirnya Bintang bobo juga biarpun di sofa. Sehari ini muntah 7 kali. Badannya panas. Sore udah ke dokter. Minum obat sampai diulang karena muntah terus. Makan malam cukup energen beberapa sendok sama mari-regal empat keping. Besok udah pasti gak sekolah.

Paling sedih kalau anak sakit. Tadi pagi Bintang bangun jam 5 pagi. Tiba-tiba nangis. Bikin kaget. Aku pikir dia mimpi. Nangis sambil ngomong gak jelas. "Itunya diambil..itunya diambil..huaa..huaaa.."

"Apanya yang diambil? Kamu mimpi?"

"Panas...panas..AC- nya dimatiin"

"Ooo..Bintang mau AC- nya dinyalain? Tinggal bilang aja ke ibu, nggak usah nangis."

"Tapi ibu ambil remote-nya. Kalau bangunin ibu nanti ibu marah..huaaa...huaaa."

"Ooo..remote itu ibu ambil soalnya ibu nanti pusing kalau bangun-bangun terus. Ini dede udah kedinginan. Ibu juga kedinginan. Ibu juga udah bangun beberapa kali bikinin dede susu. Remote nya ini ada di dekat ibu. Bintang gak usah nangis."

Tapi Bintang udah telanjur nangis. Badannya lepak oleh keringat. Percuma aku peluk dia. Bintang tetap nangis. Sementara si dede jadi ikut kebangun. Tiba-tiba...Hoeeeek! Hoeeekk! Bintang muntah di kasur. Dua kali. Wah, wah udah mulai kewalahan aku. Terpaksa aku teriak panggil suster biar dia urus si dede, sementara aku nenangin si kakak.

Begitu keluar kamar lihat jam di dinding, ternyata udah jam 5 pagi. Ya sudah, sekalian aja bangun. Kepalaku berdenyut. Selalu begitu setiap kali bangun mendadak. Maklum aku tensi ku rendah. Kipas angin di ruang tv aku nyalain. Bintang kini cuma pake celana dalam dan lengan baju aku gulung. Sudah agak tenang dia.

Ritual pagi mulai jalan. Suster masak air untuk buat teh dan susu kakak. Aku jaga dede sambil ngawasin si kakak yang duduk ngadem di depan meja belajarnya di bawah kipas angin yang nempel di dinding. Tak berapa lama susu si kakak sudah siap. Suster bergabung di ruang tv sambil bawa semangkuk cereal. Global TV siap ditonton. Spongebob Square Pants seperti biasa menemani sarapan pagi kakak.

Tapi pagi itu si kakak memang lagi rewel. Ia tak mau makan cereal. Cuma minum susu. Itupun disendokin. Aku paksa makan cereal eh, malah muntah-muntah lagi. Nangis lagi. Ya udah aku nyerah. Tapi kebetulan hari ini hari Selasa, Bintang diharuskan bawa nasi untuk dimakan bersama di kelas. Aku minta suster nyiapin nasi sama nugget. Kebetulan lagi aku harus nyerahin surat buat sekolah. Ini surat permohonan kerjasama dengan WTC Serpong. Sekolah Bintang berencana mengadakan acara perpisahan di sana. Jadi aku bilang ke Bintang, "Bintang nanti ibu yang antar sekolah ya? Sudah jangan nangis ya? Nanti ibu telpon Opung."

Opung, sopir antar jemput Bintang. Dilihat namanya ketahuan kalau orang Batak dan pasti sudah tua. Opung dalam bahasa Batak artinya kakek. Nama aslinya aku tak tahu. Biarpun sudah berumur tapi Opung supir yang piawai. Aku tenang nitip anak ke dia. Opung juga pandai utak-atik mobil. Kalau ada onderdil mobil yang rusak dia bisa betulkan sendiri. Beberapa kali aku lihat dia membetulkan sendiri mobilnya. Opung juga baik dan sabar sama anak-anak. Ia suka memberi sesuatu buat anak-anak jemputannya. Kadang mainan, kadang permen karet.

Sampai di sekolah jam 6.45. Masih ada waktu seperempat jam sebelum bel berbunyi. Aku ajak Bintang ke warung depan sekolah. Mana tahu dia mau makan sesuatu. Pilihan jatuh pada mie gelas. Cuma masuk beberapa suap, Bintang mulai rewel lagi. Ya sudah. Aku nyerah.

Ini hari Selasa. Bintang pakai seragam olahraga. Pelajaran dimulai dengan senam bersama. Bintang tak mau ikut. "Bu, aku mau baca aja di kelas. Ibu bilang sama bu guru ya?" Aku mengiyakan sambil mencari salah seorang ibu guru. Ketemu sama Bu Marga, ia nampak mafhum. "Oooh..lagi gak enak badan ya?", ucapnya. Sementara surat aku berikan ke Bu Anas.
Aku sempat menemani Bintang masuk kelas. Ia pilih kursi nomor dua dari depan. Di papan masih tertera pelajaran hari kemarin. Soal alat komunikasi. Itu sebabnya Bintang semalam meminta ijin untuk membawa buku Ensiklopedi Junior miliknya. Aku masih ingat semalam dia bilang, "Bu, buku ini mau aku tunjukkan sama Bu Yuni. Tadi pelajarannya soal alat komunikasi. Ada di bukuku ini."

Pagi itu Bintang memilih duduk di kelas sambil membaca-baca bukunya daripada senam sama teman-temannya. Aku tinggalkan dia sendirian. Seorang anak berpapasan di pintu masuk kelas. Rupanya dia terlambat.

Sebelum sampai di rumah aku mampir ke pasar dadagan dekat rumah. Belanja sayur mayur. Rencanaku masak sop istimewa buat Bintang. Aku merasa salah semalam mematikan AC. Jadi ini permintaan maafku buat dia.

Kegiatan masak memasak selesai pukul 8.30. Setelah mencicipi semangkuk sup aku mandi. Sesudahnya baru berangkat kantor. Lewat tol BSD. Nggak macet tapi mahal.

Di kantor telepon berdering beberapa kali. Kata suster Bintang muntah lagi. Badannya pun panas. Aku ambil keputusan. Pulang saja. Semestinya hari Selasa seluruh anggota kantor berkumpul untuk ngobrol soal apa saja yang aktual. Aku minta diri di saat yang lain tengah asyik berbincang.

Di rumah aku menemui Bintang yang tiduran di sofa. Badannya panas. Kami langsung berangkat ke dokter. Bintang nampak kuyu. Maunya nglendot aja. Di ruang tunggu ia minta dipangku.

Ini klinik pribadi. Yang mengelola suami isteri, mereka pasangan dokter, dokter Witono dan dokter Frida, mereka jaga bergantian. Kliniknya bernama Klinik Witono. Laris bukan main. Murah dan banyak yang cocok. Pasien yang datang dari berbagai tempat. Tak hanya dari penghuni komplek tapi juga dari kampung. Tak hanya orang kaya - jika dilihat dari penampilannya, tapi juga orang biasa - bahkan aku pernah bareng ibu-ibu tua yang mengaku tak pernah bayar jika berobat karena tak punya uang. Kami sekeluarga sudah menjadi pasien mereka dari awal Klinik ini baru dibuka. Nomor urut Bintang masih satu digit: B-4. Sekarang di salah satu sudut kamar praktek dokter tampak berderet dus karton berisi kartu pasien. Klinik Witono juga buka cabang di pertokoan Gading Serpong.

Kali ini giliran dokter Witono. Ia sudah kenal Bintang. Cara kerjanya praktis saja. Bintang harus timbang badan dulu. 18 kg. Kemudian berbaring di ranjang pasien. Senter siap di tangan. Bintang harus menganga. Begitu disorot dokter bilang, "Wah, merah". Ia juga mengomentari suhu badan Bintang. "Panas", ujarnya singkat. Aku sempat kasih penjelasan kalau Bintang punya amandel yang sering bengkak. Sesudah itu kaos Bintang ditarik ke atas, ia menepuk-nepuk perut Bintang di beberapa tempat.

"Sakit nggak?" tanyanya.

"Enggak," jawab Bintang.

"Ok," kata dokter lagi sambil beranjak ke tempat duduknya. Ia menulis-nulis sesuatu di kartu pasien Bintang. "Saya kasih obat ya? Sudah bisa makan tablet belum? Atau puyer saja?"

Aku pilih yang terakhir. Bintang belum pernah makan tablet sebelumnya.

Sore itu Bintang dapat tiga jenis obat: satu untuk anti mual, satu untuk menurunkan panas, dan satu lagi antibiotik. Jadi Bintang sakit apa? Wah, aku baru sadar tak banyak bertanya di ruang praktik tadi. Begitu obat disodorkan cuma tanya berapa jumlah yang harus dibayar. Wah, wah, kaco juga aku tadi.

Dari utak-atik pemikiranku, kemungkinan Bintang kecapekan karena pergi wisata ke Danau Gading Serpong hari Minggu kemarin. Ketika aku kabarkan soal sakit Bintang di Facebook, seorang teman berkomentar: "Elo sih, piknik mau nya murah, digigit nyamuk loe, nama lengkap nya sopo entar di buatin dongo, salam maria". Pasti si teman ini ngikutin statusku dari hari kemarin. Soalnya pas habis pergi itu aku tulis di status soal wisata itu.

Dongo
itu bahasa Jawa, artinya doa. Barangkali lebih tepat jika ditulis donga - sesuai pengucapannya. Jadi si teman ini nanti akan mendoakan Bintang dalam doa Salam Maria-nya. Bulan Mei memang bulan Maria. Umat Katolik rajin berdoa Rosario di bulan ini sebagai upaya devosi pada Bunda Maria - ibu Yesus.

He...he..jadinya aku sekarang merasa bersalah. Tapi apa ada hubungannya antara piknik murah dan kena penyakit? Barangkali ini kebetulan saja. Semoga cuma karena kecapekan yang bikin amandel Bintang membengkak.

Minggu, 17 Mei 2009

Ke Danau Gading Serpong


16 Mei 2009

Setelah pikir-pikir, akhirnya aku memutuskan untuk bawa anak-anak ke Danau Gading Serpong, Tangerang aja. Dekat dan murah. Sebelumnya aku mau bawa mereka ke Kebun Raya, Bogor. Niatnya sekalian jemput ayahnya yang masih kerja di Bogor. Tapi ternyata informasi terbaru si ayah gak bisa keluar kantor sampe besok siang. Waaa..ya sudahlah. Rencana berubah. Padahal aku dah beli sayuran buat dimasak. Pikirku ntar gelar tikar plus makan siang di Kebun Raya. Asyik kan?

Pikir punya pikir, kemana lagi ya tempat yang bisa buat gelar tikar, santai-santai, dekat, dan murah? Aha! Danau Gading Serpong memenuhi semua kriteria itu. Tadi sempat terlintas buat pergi ke Monas, tapi pasti penuh. Soalnya hari Minggu. Kasihan si adik yang baru 9 bulan.

Menu hari ini sederhana aja: sayur asem, ikan pindang goreng, tempe goreng, sambel. Plus-plusnya: pisang ambon, asinan buah (kemarin baru beli dari Bogor), krupuk kampung (harus!), camilan buat si kakak. Sekitar jam 12.00 siang kami berangkat. Puanasnya minta ampun! Tapi udah telanjur niat, ya udah jalanin aja.

Jarak dari rumah (Melati Mas) ke Serpong cuma seperempat jam. Ancer-ancernya cuma sesudah RS. Ashobirin belok kiri. Karena ini yang pertama kali, aku sempat tanya ke pos penjaga di dekat gerbang Gading Serpong. Ternyata tak jauh dari situ. Luruuuus aja terus menjelang gerbang pabrik SK Keris belok kiri. Tiket masuk murah sekali. Untuk mobil Rp 3000,- motor Rp 2000,- dibayarnya nanti setelah keluar. Jadi pas masuk kami hanya mendapat tiket berupa sepotong kertas yang dilapisi plastik. Sederhana sekali. Tapi ini menandakan bahwa kami aman parkir di sini. Mobil tidak mungkin keluar tanpa tiket sederhana itu.

Kami sampai sekitar jam setengah satu. Meskipun terik menyengat ada beberapa anak bermain di tepi danau. Danau Gading Serpong ini luas sekali. Menurut informasi yang aku baca di www.serpong.org, danau ini dulunya adalah bekas galian tambang pasir. Kedalamannya sekitar 20 meter. Hiii..dalam juga ya! Untuk menarik minat wisatawan, di salah satu tepinya dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai penggalan pantai pasir putih. Nah, anak-anak kecil yang bermain di tepian asyik membuat terowongan atau mencetak benteng-benteng pasir dengan menggunakan bekas gelas mineral.

Si kakak udah nggak sabar. Ia pengen cepet-cepet nyemplung di danau. Yaaaah..baru keinget, ternyata suster sama aku lupa bawain baju ganti buat si kakak. Akhirnya aku copot aja celana jinsnya. Jadi dia main pakai cawat aja sama kaos. Sementara aku, suster, sama di dede gelar tikar di bawah pohon beringin.

Kalau aku perhatikan para wisatawan lokal ini ada empat jenis: pertama, rombongan keluarga dengan banyak anak-anak kecil usia batita, balita, SD. Kedua, pasangan yang niatnya mojok di sudut-sudut. Asyik sekali mereka pacaran. Ketiga, kelompok ABG yang niatnya sekadar main. Keempat, mereka yang berhobi mancing. Ya memang ada yang rancu dengan jenis pertama, maksudnya, si ayah yang hobi mancing ngajak anak isterinya sekalian gitu. Tapi ada juga yang bersolo karir. Mereka ini duduk berjajar di tepian sambil ngalamun menatap pancingnya. Anteng. Entah jenis ikan apa yang mereka dapat, saya tak berniat menggali informasi.

Informasi yang saya peroleh dari internet, danau ini sering dipakai buat boat race oleh kelompok boat racer dari Jakarta. Katanya karena air di danau ini punya kelebihan yaitu air yg bening shg turbulensi blade propeller dpt maksimum, yang artinya laju boat bisa kencang. Kabarnya pula rescue boat dengan motor tempel plus caddy/marshall nya selalu stand by untuk mengambil boat yang mati di tengah. Tapi kenyataannya aku kok nggak ngeliat ada satupun boat. Yang ada cuma rakit dari bambu dengan beberapa awaknya berseragam oranye. Seperti regu penyelamat yang tengah berlatih.

O, ya, di situs serpong. org terlihat ada menara pengawas setinggi 14 meter di tepi danau. Tapi kok hari ini aku gak liat apa-apa. Barangkali udah dipindah ato gimana ya. Aku juga gak nanya-nanya tadi. Maklum ibu-ibu. Kegiatanku tadi ya cuma motret-motret si kakak. Momong si dede, camil-camil, sama tiduran.

Pohon beringin tempat kami berteduh ini sudah tua. Batangnya berdiamater sekitar satu meter. Sulurnya panjang-panjang dan kuat. Nampak diikat dijadikan semacam ayunan. Beberapa anak main ayunan di situ. Si kakak ikutan juga main di sana.

Matahari makin tinggi, sinar matahari makin merangsek ke barat. Sinar matahari turut bergeser. Dua kali kami geser tikar untuk mencari tempat yang lebih teduh. Si dede sempat bobo siang sebentar di situ. Sekitar jam 15.30, nampak sekelompok awan kelabu menggantung. Gawat, nampaknya bakal hujan. Cuaca memang sulit ditebak. Aku mengajak suster berkemas. Tapi bersamaan dengan kami beranjak pergi, nampak para pengunjung justru mulai banyak berdatangan. Kebanyakan yang bermotor. Muda-mudi berpasang-pasangan.

Biarlah kami mendahului. Toh, kami sudah mendapat cukup kesenangan hari ini. Ini memang cita-citaku semenjak dulu jika sudah punya mobil: mengajak anak-anak wisata alam. Jalan-jalan ke mal bikin boros dan yang dilihat cuma ituu aja. Paling-paling beli baju ato mainan. Paling aku benci main di tempat mainan semacam Time Zone. Uang berubah jadi koin. Tak ada harganya. Main sebentar gak sadar udah habis puluhan ribu rupiah.

Sekarang kami sudah punya mobil. Biarpun kecil, tapi aku merawatnya baik-baik. Di Indonesia ini wisata alam dianaktirikan. Coba perhatikan, jika mau pergi ke mal banyak kendaraan yang bisa digunakan. Beberapa mal bahkan memiliki mobil angkutan dengan rute-rute khusus. Tapi bagaimana jika hendak pergi berwisata alam? Sulitnya bukan main. Bahkan iklan tentang kawasan wisata alam pun sering tak memikirkan bagaimana caranya agar calon pengunjung tak perlu repot memikirkan transportasinya. Jarang sekali kita temukan ada promosi kawasan wisata yang mencantumkan "how to get there" secara rinci. Mereka seringkali mengandaikan setiap pengunjung memiliki kendaraan pribadi. Jika tidak punya, seolah sarannya adalah: pergilah ke mal atau ke pertokoan. Akses untuk ke sana lebih mudah.