14 Mei 2008
Pagi tadi ketika saya buka komputer ada teman ngajak chatting. A little bit surprise, soalnya jarang sekali saya chatting sama dia. Ternyata dia kasih kabar kalau di Makassar bakal ada Perda baru yang mengatur soal Air Susu Ibu (ASI). Astaga! Apalagi? Mosok sampai ASI aja mesti diatur negara? Si teman yang berkelamin pria dan seorang ahli hukum ini selain tertarik dengan kasus yang langka ini, juga karena ada ada campur tangan Unicef di sana. Saya sempat meledeknya, apa karena soal payudara makanya kamu tertarik? Nggak, katanya, ini urusannya sama bayi-bayi kalau lihat bayi netek nggak turn me on. Masak harus berebut sama bayi? Tepisnya sambil melanjutkan rasa kejengkelannya karena hukum di negara kita yang berdaulat ini telah diobok-obok sama organisasi asing bernama Unicef.
O ya, tak lupa si teman ini mengirimkan opini Gadis Arivia, aktivis perempuan, yang berkiprah di Jurnal Perempuan, soal kasak kusuk Raperda ASI ini. Opini Gadis yang dikirim ke mailing list pembaca Kompas diberi judul "ASI bukan milik negara". Dari judulnya sudah kelihatan apa yang mau dikatakan. Gadis ngomel-ngomel karena apa yang ada di tubuh perempuan adalah milik perempuan, bukan milik negara. Meskipun ASI penting, Gadis berpendapat adalah pilihan si perempuan akan memberikan ASI atau tidak pada bayinya. Berikut saya cuplikkan satu paragraf tulisan Gadis soal keterkaitan HAM Internasional dan ASI:
"Menurut aturan HAM Internasional, negara dapat melakukan intervensi bila
terjadi kekerasan. Artinya, bila studi menunjukkan bahwa seorang bayi bisa
mati bila tidak disusui air susu ibunya, maka, peraturan pemerintah wajib
diturunkan untuk melindungi si bayi/anak. Namun, bila studi hanya
menunjukkan faedah dan manfaat air susu ibu, maka, pemerintah hanya bisa
melakukan program advokasi yang mendukung ASI. Atau menaikkan pajak susu
formula untuk bayi yang berumur di bawah 6 bulan. Menaikkan pajak akan
meningkatan pilihan ibu-ibu untuk menyusui anak-anaknya. Meskipun harus
dipikirkan juga bagi ibu-ibu yang tidak mampu menyusui anak-anaknya karena
alasan kesehatan, sehingga tentu terpaksa menyusui anak dengan susu
formula."
Saya setuju dengan apa yang tertulis di sana. Advokasi lebih penting ketimbang menggolongkan ibu-ibu yang tidak memberikan ASI sebagai pelaku kriminal yang lebih baik dimasukkan penjara. Sungguh tindakan yang semena-mena. Masih banyak yang bisa dilakukan Pemerintah selain menggunakan tangan besi untuk soal ASI. Misalnya saja, selain menaikkan pajak susu formula seperti yang sudah disebutkan, juga lebih menggencarkan program Inisiasi Menyusui Dini di klinik bersalin dan rumah sakit. Saya ingat waktu melahirkan anak pertama, karena masih belum ngerti, anak saya baru diberikan ke saya sehari kemudian. Jadi pas dia lahir, hanya ditempelkan sebentar ke pipi saya, dipotret dengan kamera Polaroid oleh dokternya, lantas sudah, saya baru bertemu anak besok harinya. Alasannya: "Maaf, kami lupa, bu. Banyak sekali pasien" Sungguh alasan yang tidak masuk akal. Jadi setelah lahir , anak saya langsung minum susu formula merek Bebelac (yang nantinya saya ganti saja dengan Lactogen karena harganya lebih terjangkau ketimbang Bebelac).
Dukungan pemerintah yang lain soal memberikan ASI bisa dengan mewajibkan tempat-tempat publik untuk membuat ruang menyusui. Di Mal Lippo Karawaci, saya lihat ruang ini sudah ada. Hanya saja disponsori oleh swasta, tepatnya Zwitsal. Juga di kantor-kantor mbok ya ada ruang laktasi ini. Di Metro TV kabarnya ada juga, tapi ini berkat perjuangan presenter Sandrina Malakiano yang pas lagi ngetop-ngetopnya dia punya anak. Manajemen Metro TV mengabulkan permintaanya dan membuat ruang laktasi di kantor. Jadi, Sandrina bisa tenang bekerja sementar anaknya juga punya ruang khusus. Tapi saya bayangkan, tidak banyak karyawati yang seberuntung Sandrina. Bahkan, teman saya hanya mendapat cuti 1 bulan sesudah melahirkan, sementara di rumahnya tidak ada baby sitter. Sekarang kalau pagi si bayi dititipkan ke tetangga. Beruntung si tetangga baik, kantornya juga tidak jauh dari rumah, sehingga kalau ada apa-apa bisa langsung pulang. Suaminya juga kerjanya malam, jadi siang hari ada di rumah. Tapi saya bayangkan pasti fisik sang suami jebol itu karena bisa-bisa 24 jam tidak bisa istirahat dengan tenang. Sementara anak pertama yang baru berumur 6 tahun jadi tidak terurus.
Di film dokumentasi Sicko garapan Michael Moore saya terbengong-bengong melihat kondisi di Perancis. Betapa tidak, pemerintah sangat mendukung ibu-ibu pekerja yang melahirkan. Mereka mengirimkan orang yang digaji negara untuk mendampingi ibu di rumah, merawat bayi, membersihkan rumah, dsb. Gila betul. Kok bisa ya? Bahkan biaya rumah sakit pun digratiskan. Dan kalau pulang dari berobat pasien tidak punya uang, malah dikasih ongkos. Alasannya, "Rumah Sakit harus menjamin pasien bisa pulang ke rumah dengan selamat". Wuih! Kok ada pemerintah yang berhati mulia seperti ini. Jika saya membayangkan perilaku para pejabat di negeri ini. Aduh...sungguh bertolak belakang.
Seharusnya Posyandu di sini bisa lebih diberdayakan. Para staf jangan sukarelawan, tapi diberi insentif oleh negara. Jadi bisa bekerja optimal. Di Posyandu para calon ibu atau ibu hamil harus diawasi gizinya. Omong kosong kalau para ibu diwajibkan menyusui tapi gizinya tak dipantau sejak dia hamil. Para ibu hamil harusnya dapat bantuan langsung khusus. Entah, apa namanya, pokoknya untuk meningkatkan gizi. Baik berupa makanan maupun suplemen atau vitamin. Dalam beberapa kasus, memang ada ibu-ibu yang tidak mampu memberikan ASI karena kondisi fisiknya. Ya..untuk itu peran negara harus lebih optimal lagi (jika memang niatnya mau campur tangan soal ASI). Misalnya sediakan tenaga paramedis khusus untuk ini. Ajari ibu-ibu hamil untuk massage payudara sejak kehamilan 5 bulan misalnya.
Lainnya lagi, terkait soal RUU Pornografi. Jika UU ini diberlakukan, wah, bakalan banyak yang kena pastinya. Soalnya ibu-ibu menyusui akan jadi korban. Sewaktu anak pertama masih bayi, saya sering sekali menyusuinya di tempat umum. Dan sebagai ibu, ketika itu saya sama sekali tidak merasa risih atau malu. Ya, demi anak. Apalagi alasannya? Menyusui di tempat umum sangat perlu terutama ketika naik pesawat. Saat-saat lepas landas atau saat akan mendarat adalah saat yang paling menentukan karena akan ada pergantian tekanan udara. Nah, saat itu susuilah bayi Anda. Dengan menyusui, rahang si bayi otomatis akan bergerak dan itu berpengaruh pada gendang telinga. Jika pada orang dewasa diberi permen untuk menggerakkan rahang, maka pada bayi apalagi jika tidak menyesakkan puting payudara ke mulutnya? Otomatis mulut si bayi akan bergerak. Nah, jika UU Pornografi diberlakukan, waduh, apa jadinya nanti?
Makanya, menurut saya, jangan asal bikin peraturan yang berimplikasikan pada hukum. Banyak konsekuensi yang tidak disadari. Makanya pula suatu peraturan sebaiknya dibuat dengan melibatkan banyak pihak yang kiranya mewakili semua kalangan. Makanya pula dalam dunia hukum ada istilah uji materi segala. Karena pembuat peraturan ini seringkali tidak menyadari konsekuensi dari peraturan yang dibuatnya sendiri.
Saya lantas mencoba searching di internet. Saya ketik ASI dan hukum. Ternyata, di tahun 2007 lalu, Pemda Klaten, Jateng, pernah juga merencanakan untuk memperdakan ASI. Bahkan, mereka mengklaim sebagai perintis Perda ASI ini jika rancangannya disetujui. Sayang, saya tak menemukan kepastian jadi tidaknya. Saya perhatikan, ada Unicef pula di sana sama seperti di Makassar. Wah, sponsornya masih sama. Lantas saya search lagi, dan menemukan di daerah Bengkalis, ada seorang ibu pejabat yang mengusulkan supaya ASI ini dibuatkan Perda nya. Alasannya ya itu tadi, katanya banyak ibu-ibu tidak menyusui anaknya.
Kembali ke tadi, mbok ya dipikirkan masak-masak sebelum membuat peraturan. Di Indonesia ini saya kira malah kebanyakan peraturan, jadinya malah seperti tidak ada peraturan sama sekali. Saking banyaknya jadi lupa semua. Apalagi pelaksanaannya suka hangat-hangat tahi ayam. Sebentar ramai, sebentar ilang sendiri.
Dan saya tetap berpendapat bahwa ASI tidak perlu diatur dengan peraturan yang legal. Saya dalam hal ini sependapat dengan Gadis bahwa tidak menyusui itu bukanlah tindakan kriminal. Lebih baik tangkapi para koruptor, bersihkan negara dari maling dan pencuri, beri rasa aman pada masyarakat termasuk juga rasa nyaman untuk hidup di negara ini, kenyamanan dalam membesarkan generasi penerus bangsa. Bukan dengan menakut-nakuti atau seenaknya saja menjebloskan ke penjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar