Kamis, 04 Oktober 2007

Throw the rascal out!!

4 Oktober 2007

Harusnya saya ikut aksi di depan Mahkamah Agung siang ini. Tapi kok ya pas dapat mens. Ini hari kedua. Jadi pas mules-mulesnya. Reseh juga, masak perjuangan berhenti gara-gara dapat mens. Tapi ya sudahlah, saya toh bisa jaga kantor.

Judul posting kali ini adalah salah satu ungkapan yang dilontarkan Pak Rahman Tolleng, maha guru kami tentang apa yang harus dilakukan agar lembaga negara yang bernama MA ini tak makin kacau. Belakangan putusan MA ini makin sulit dinalar, mereka memenangkan kasus Suharto vs Time, membebaskan pembunuh Munir dan yang paling menjengkelkan saya adalah menolak uji materi Perda Tangerang yang isinya sangat diskriminatif. Mengapa membuat jengkel karena Perda ini terkait langsung dengan saya sebagai perempuan yang tinggal di Serpong.

MA juga keterlaluan karena melakukan pembenahan administrasi seenak perutnya sendiri seperti memperpanjang masa pensiun dan menentukan besaran gaji, serta menolak diaudit BPK. Lha? Kok ada ya?

Bagaimana kalau MA dibubarkan? Ya tidak bisa, dong. Sistem hukum di negara kita membutuhkan lembaga itu. Lantas? Cara terbaik ya itu tadi: throw the rascal out of the institution! Kan bukan lembaganya yang salah. Tapi orang-orang yang menetapkan sistem permainan seenaknya sendiri di dalam lembaga itu yang salah.

Saya sendiri sungguh tak habis mengerti bagaimana cara berpikir orang-orang di MA itu? Bebal dan sungguh tak mau membuka mata pada kondisi rakyat.

Sungguh semenjak saya bergabung kembali dengan teman-teman lama setelah vakum lama, saya sangat sedih. Banyak sekali orang bebal di negeri kita ini. Saya memang belum berbuat banyak. Juga tak banyak mengerti. Tapi sering saya berpikir orang-orang seperti Rahman Tolleng pastilah setiap saat gelisah. Karena beliau tau banyak dan melihat banyak. Sementara itu beliau sudah makin menua dan ringkih, ulang tahun beberapa bulan lalu umurnya sudah sekitar 70an. Tapi siang ini beliau ikut demo juga. Saya sungguh kagum sama beliau. Berapa banyak yang kita punya ya tokoh-tokoh macam beliau?

Beberapa waktu saya bertemu Bapak Dawam Rahardjo, beliau sudah sangat sepuh, sudah tak mampu baca. Secara periodik harus cuci darah. Saya sempat menemaninya duduk dan berbincang, beliau cerita soal penyakitnya, juga tak boleh sembarang makan, dietnya ketat. Dalam waktu dekat barangkali mau ke Guang Zhou untuk berobat. Lantas ketika kemarin saya menghubungi kediaman Bapak Mohtar Pabotingi, beliau di rumah sakit Harapan Kita, baru saja operasi jantung lagi. Pembantunya yang mengangkat telepon cerita kalau Pak Mochtar masuk RS hari Minggu, 30 September.

Saya hanya bisa berdoa untuk mereka. Juga mengagumi pemikiran dan pribadi para tokoh besar itu. Hanya sedikit jumlahnya, tapi mereka terus berupaya. Gelombang kebobrokan bangsa ini rupanya terlalu besar dan makin membesar hari demi hari. Sementara upaya untuk membuat benteng tak seberapa besarnya. Meski begitu kami harus tetap optimistis. Terus dan terus menggulirkan kebaikan dan kebenaran untuk generasi mendatang.

Saya lantas ingat salah satu penggalan sajak Chairil Anwar yang barangkali merupakan cermin kegelisahan para tokoh sepuh itu:

"kami sudah coba,
apa yang kami bisa
tapi kerja belum selesai
belum apa-apa"
(chairil anwar)

Rabu, 12 September 2007

Perda Ketertiban Umum

13 September 2007

DPRD DKI Jakarta kemarin mengesahkan Raperda Ketertiban Umum yang baru menggantikan Perda Ketertiban Umum 1988. Menurut media, perda yang baru ini berisi 101 larangan yang mengatur di antaranya joki three ini one, PSK, pedagang asongan dan yang paling kontroversial adalah larangan untuk memberi sedekah pada pengemis jalanan.

Tadi pagi saya lihat tayangan Metro TV wawancara dengan warga DKI yang menyetujui Perda tersebut. Alasannya para pengemis ini memang mengganggu karena sering meminta uang dengan paksa. Ia juga mengatakan seandainya hanya satu orang pengemis pun tak apa dia akan memberi uang, tapi jika dalam satu bis ada 10 orang pengemis dan rata-rata meminta dengan paksa, maka tentulah situasinya akan menjengkelkan.

Saya setuju dengan pendapat warga tadi. Dalam posting blog bulan Juli -kalau tidak salah- saya pernah menuliskan tentang para pengemis jalanan ini. Memang benar, pemandangan di ibukota negara ini menjadi sangat terganggu dengan keberadaan mereka. Kenapa? Karena mereka menjadi paradoks dalam pembangunan kota metropolitan ini. Bayangkan saja di antara jajaran mobil-mobil mewah, tiba-tiba mereka menyelinap bermodalkan kemoceng usang atau baju compang camping atau sambil gendong bayi yang mungkin umurnya belum sampai 3 bulan.

Kemarin lusa saya mendapati seorang ibu dan anak kecil (mungkin juga bukan anaknya) yang baru berumur 2 tahun di jembatan penyeberangan depan Hotel Nikko, Thamrin. Si anak rupanya sedang sakit perut. Dia (maaf) buang air besar berupa cairan di sana. Si ibu dengan santainya menaruh celana pendek si anak untuk menadahi kotoran. Ketika saya melintas baunya sedikit tercium karena angin di atas jembatan penyeberangan kencang bertiup. Tujuan saya kebetulan adalah ke Plaza Indonesia - salah satu plaza bergengsi di Jakarta. Bukan untuk belanja atau jalan-jalan, saya ke sana karena tetangga saya memerlukan bantuan saya untuk nyupirin mobilnya. Saya sendiri sudah lamaaaa sekali nggak masuk plaza ini. Sempat nyari pintu masuknya mana. Begitu dapat, saya memasuki lorong-lorong pertokoan yang penuh barang-barang mewah. Kontras sekali suasananya dengan apa yang baru saja saya dapati di luar tadi. Saya menghela nafas.

Kembali ke soal Perda tadi. Bagaimana pendapat saya pribadi? Saya setuju, asal Pemda benar-benar punya kemampuan untuk menghadapi kaum pinggiran itu. Dan kalau dilihat kenyataannya, saya pesimistis. Misalnya saja, pernyataan Sutiyoso kalau para pengemis dan gelandangan itu akan diurus dan diberi ketrampilan. Bagus sih idenya, tapi apakah amunisi Pemda mendukung? Seperti berapa anggaran yang sudah disiapkan? Apa saja jenis pelatihannya? Berapa banyak nanti petugas yang akan mengawasi supaya jangan ada orang yang memberi sedekah atau membeli di petugas asongan?

Kemarin-kemarin waktu Sutiyoso nggusur kolong-kolong jalan layang, sekolah Kartini yang selama ini dikelola ibu kembar ikut kegusur juga. Ketika mereka terpaksa menyerahkan murid-murid ke Pemda untuk diteruskan sekolahnya, apa hasilnya? Para murid itu menolak, dan terpaksa ibu kembar membangun lagi sekolah darurat yang meskipun lokasinya sekarang agak jauh, para murid toh rela ke sana. Mengapa? Saya pikir karena cara pemberian pendidikannya berbeda. Saya bayangkan para murid itu dimasukkan ke sekolah biasa dengan kurikulum nasional - dan ini tentu saja berbeda visi dan misi nya dengan apa yang selama ini diterapkan di sekolah Kartini. Menurut ibu kembar seperti pernah dimuat di media massa, di sekolah Kartini, penguasaan ketrampilan lebih diutamakan ketimbang kemampuan akademis. Hasil karya murid-murid sekolah Kartini sudah menghasilkan jutaan rupiah. Pemasarannya selama ini diurus juga oleh ibu kembar baik yang melalui penjualan door to door, basar, maupun pameran. Saya kira para murid itu memikirkan masa depan mereka. Ini perubahan yang cukup drastis. Tak salah seandainya mereka tak mau sekolah di sekolah umum.

Pengalaman itu setidaknya bisa memberikan sedikit bayangan bahwa Pemda belum memiliki kemampuan untuk merangkul kaum marjinal tadi. Barangkali bukan saja kemampuan secara finansial karena bisa jadi dibandingkan kantong ibu kembar, kantong Pemda lebih tebal (hanya saja banyak tikus-tikus yang menggerogoti); kemampuan yang lain saya perkirakan adalah kemampuan untuk ber-empati. Ketulusan hati untuk mengentaskan kaum marjinal dari kemiskinan dan memberikan ketrampilan agar mereka benar-benar mandiri. Tengok saja kilas balik kisah ibu kembar yang akhirnya malah "terperangkap" di kolong tol.

Ketika itu, saya lupa tahunnya, sekitar 1990-an, mobil ibu kembar yang kebetulan melintas di kolong tol kempes bannya. Sambil menunggu ban ditambal mereka duduk di pinggir jalan dan melihat dengan mata sendiri bagaimana kehidupan kaum pinggiran. Pengalaman ini menimbulkan gagasan untuk membantu para gelandangan dan anak terlantar melalui pendirian sekolah darurat dan pemberian ketrampilan.

Dari sini saya kira kita bisa melihat perbedaan pemberian perlakuan pada kaum marjinal. Ibu kembar memulai kegiatannya dari simpati dan empati. Sementara dari pemerintah, saya kira masih sebatas 'kewajiban'. Adakah simpati dan empati di sana? Who knows? Kita punya pengalaman soal penggusuran pedagang kaki lima, penggusuran tempat tinggal tak berijin, penertiban pengemis dan gelandangan di jalan-jalan, penertiban joki three in one, penertiban PSK. Apa yang kita lihat di sana? Yang sering terjadi sih, ada kekerasan - ada pemaksaan. Selalu berlangsung kisruh.

Bukannya saya antipati sama pemerintah. Saya usul seandainya Pemerintah kerjasama dengan para simpatisan kaum marjinal - bisa individu, bisa LSM, bisa Yayasan - apakah tidak lebih baik jadinya? Barangkali saja Perda itu tak perlu ada.

Pemerintah itu tidak mampu untuk menangani berbagai macam hal. Itu tesis dasar saya. Maka, mbok ya pemerintah jangan arogan lah. Bahwa Perda itu mengundang kontroversi itu jelas. Apalagi disahkan awal bulan Ramadan, katanya sih, untuk tameng bakal banyaknya pengemis di bulan Ramadan. Tapi, kalau itu tujuannya, kan ini tujuan jangka pendek? Sementara Perda kan bisa sampai 5 tahun lebih umurnya?

Saya terus terang pesimistis (lagi). Meskipun tujuannya jelas baik - baik bagi pengguna jalanan (karena bakalan merasa lebih nyaman) - baik bagi kaum marjinal (karena bakalan ada yang ngurus dan ngasih pelatihan) - baik bagi Pemda (karena seperti diingatkan lagi akan kewajibannya untuk ngurus warga), tapi ini bukan pekerjaan yang mudah.

Bagi saya, ini sebenarnya Perda yang ditujukan untuk Pemda sendiri. Ini saatnya Pemda betul-betul mengurus kaum marjinal. Dan saya sungguh berharap semoga pekerjaan ini bukan sekadar menjalankan kewajiban, tapi dipenuhi rasa simpati dan empati.

Selasa, 11 September 2007

Wednesday Slow Machine

12 September 2007

Kemarin saya batal naik KRL dari Tanah Abang. Soalnya saya mau beli baju renang dulu di Java Superstore di Thamrin. Lumayan banget lo, saya dapet baju renang ellese cuman 50rb perak! Ada sedikit noda bolpoin memang, tapi tak apa. Tak terlalu terlihat. Saya toh, bukan tipe perempuan berduit dan mau serba perfect untuk urusan fashion. Yang penting, sekarang saya punya tambahan amunisi buat rutin berenang.

BTW, kembali ke soal KRL. Saya naik dari Stasiun Sudirman. Seperti biasa. Yang jam 17.29. Setelah bermanuver sedikit, jadilah saya dapat tempat duduk. Lega rasanya. Kereta sore ini lumayan penuh soalnya. Saya bisa melanjutkan kisah-kisah seru Hercule Poirot sambil mendengarkan radio melalui HP.

Bicara soal mendengarkan radio melalui HP. Ini sekarang jadi kebiasaan saya yg baru di bis ato di kereta. Saya memang memilih HP yang ada fitur radio karena saya memang suka dengerin radio. Hari Rabu ini hari favorit saya, karena ada Wednesday Slow Machine di Kis FM. Sepanjang hari di hari Rabu Kis FM memutar lagu-lagu yang kalem dari aliran apa aja, bisa pop, rock, ato jazz, pokoknya yang slow. Hampir semua lagu-lagu yang diputar itu familiar di telinga saya. Heran juga saya, sepertinya dunia tidak berputar di radio, sehingga waktu terhenti. Saya sepertinya masih ada di masa SMA, masa kuliah, masa awal-awal kerja. Padahal begitu lagu berhenti, baru saya sadar kalo saya sudah beranak dan umur sudah beranjak jauh.

Radio adalah piranti teknologi informasi paling saya kagumi dan menjadi favorit saya dari dulu. Kalo setel radio kita bisa melakukan apa saja. Beda sama kalo setel teve kan harus nongkrong di depan layar kaca. Imajinasi juga bisa lebih hebat dibanding teve. Ketika kuliah di Yogya saya suka dengerin sandiwara radio di Radio Recobuntung. Saya bela-belain pulang ke rumah di antara jeda kuliah cuman buat dengerin sandiwara radio. Selesai acara saya kabur lagi ke kampus.

Sebenarnya bukan sandiwara radio tapi tepatnya diberi judul "Bacaan" karena ada seseorang yang membacakan cerpen atau cerber dari majalah berbahasa Jawa. Biasanya dari Penyebar Semangat - majalah berbahasa Jawa yang nampaknya sampai sekarang masih terbit karena punya niche market (pasar khusus). Hebatnya, si pembaca itu mampu memerankan berbagai karakter melalui suara yang diubah-ubah. Si pembaca ini adalah laki-laki tapi mampu jadi perempuan yang lemah lembut, nenek-nenek, terus jadi laki-laki yang dalam bayangan saya ganteng, ato lain kali jadi penjahat. Pokoknya hebat dia. Sayang sampai sekarang saya tak tahu siapa si pembaca ini. Acara ini juga nampaknya sudah ditiadakan.

Aduh, saya mulai melantur. Padahal judul posting kali ini Wednesday Slow Machine, mestinya kan membicarakan tentang itu kan? He..he..dasar saya memang tukang melantur. Tidak fokus.

Tapi pada intinya saya suka mendengarkan radio dan hari ini, hari Rabu, adalah favorit saya karena ada acara Wednesday Slow Machine di Kis FM. Kapan-kapan jika ada kesempatan saya akan kirim email ke Kis FM sebagai apresiasi saya sama acara ini.

Senin, 10 September 2007

Macet

11 September 2007

Sudah beberapa hari ini Jakarta macet bukan main. Ada proyek dimana-mana. Subway lah, monorail lah..Kalau pagi saya kena macet di Pondok Indah terus hingga arteri, simprug. Meski saya naik bis feeder, tapi jengkel juga liat lalu lintas yang padat merayap dan tersendat. Di petang hari, jika saya jadi 'sopir tembak' (nyupirin mobil tetangga yang kantornya kebetulan berdekatan dengan kantor saya) aduh...kaki ini pegel bukan main. Macet mulai dari Jl. Budi Kemuliaan sampai tol kebon jeruk. Plus sekarang lagi tren ngantri menjelang pintu tol. Lega sebentar, ketika belok arah BSD kena macet lagi di Gading Serpong. Mobil Toyota Yaris milik tetangga saya ini meskipun tongkrongannya oke, tapi pedal koplingnya keras. Hadoh..kaki ini melintir sampai ke pinggul.

Kalau saya mau memilih, ya naik KRL paling enak, karena nggak kena macet. Cuman kalo pas apes ya jadual molor sampai lama, terus berenti di beberapa stasiun ngantri rel. Apes lagi kalo gak dapet tempat duduk di kereta. Naik KRL terbatas jamnya. Paling akhir jam 18.30. Jika keluar kantor saja jam segitu udah pasti saya harus naik feeder. Buat menuju ke point feeder saya harus naik busway dulu (yang sekarang makin berdesakan) atau naik taksi (yang pastinya ongkosnya harus lebih).

So, hari ini saya memilih untuk memenuhi undangan meeting di kantor Departemen Pemerintah di kawasan Jakarta Timur ketimbang harus bertemu di kantor saya yang terletak di Menteng. Saya naik bis AC yang melintas di depan kompleks sampai UKI. Mulus dan nggak kena macet. Waktu tempuh cuma setengah jam. Dari UKI saya naik angkot 2000 perak, nggak sampai 10 menit sampailah saya.

Ternyata meeting cuma sebentar karena materi juga harus di fotokopi. Sebelumnya saya pikir saya akan langsung balik rumah, namun saya berubah pikiran. Saya ke terminal Kampung Melayu terus naik bis kopaja 502 sampai di belakang kantor. Praktis ternyata.

Sekarang saya memikirkan pulangnya nanti. Mau naik apa ya? Yang pasti saya akan memberikan beberapa alasan jika tetangga saya meminta saya jadi sopir tembak. Istirahat dulu lah. Kaki ini masih pegal. Alasan lain kalau nyupir saya tidak bisa membaca, padahal saya lagi mood buat baca buku akhir-akhir ini. Sekarang saya sedang nafsu baca Hercule Poirot, suami juga baru beli 6 buku baru kemarin karena Gramedia baru buka di Sumarecon dan promosi diskon 30%.

Saya sedang berpikir untuk mencoba KRL AC Ekonomi Ciujung dari stasiun Tanah Abang nanti sore. Selama ini saya menghindari stasiun Tanah Abang karena rasanya tidak aman di sana. Jadi saya lebih memilih ke stasiun Sudirman yang rasanya lebih 'beradab dan manusiawi'. Jika nanti saya tidak berubah pikiran, akan saya ceritakan pengalaman saya di posting blog besok.

Salam commuter!

Minggu, 09 September 2007

Berenang, yuk!


10 September 2007

Olahraga apa yang paling menyenangkan? Jika pertanyaan ini ditujukan ke saya, jawabnya sudah pasti: berenang! Yang lainnya? Aduh, terima kasih, deh. Saya tidak mampu dan tidak mau. Dan hari Minggu kemarin, saya, suami, dan anak pergi ke kolam renang di kompleks Vila Melati Mas. Murah meriah. Tiketnya cuma 12.500 perak! Bayangkan kalau kami pergi ke kolam renang khusus anak-anak di Family Park Alam Sutera, tiketnya bisa dua kali lipat!

Sebenarnya kolam renang kompleks itu dulunya hanya khusus buat anggota klab. Tapi kabarnya karena gak laku dan mereka perlu dana buat pemeliharaan, jadilah kolam renang itu terbuka untuk umum. Pengelola bahkan memasang spanduk di pintu masuk kompleks dan di jalan raya kompleks. Isinya pemberitahuan kalau kolam renang sekarang terbuka untuk umum.
Kolam renang itu luas. Cuman kedalamannya cuman ada dua: 1,2 meter sama 2 meter. Dibandingkan dengan kolam renang di Cilandak Sport Center (CSC) yang katanya standar internasional agak beda karena di CSC kedalaman kolam sampai 5 meter. Dulu sebelum menikah saya sering sekali berenang di sana. Semenjak menikah, saya hampir tidak pernah berenang. Ya paling di Alam Sutera, di tempat main air anak-anak yang kedalamannya cuman 1 meter. Berenang di situ sangat tidak nyaman.

Sekarang saya punya kesempatan berenang dengan puas. Kolam renang di klab Melati Mas ada dua macam. Ada juga kolam renang khusus untuk anak-anak dengan 2 macam perosotan kecil. Ada juga semacam air terjun dari kolam di atasnya. Kalau kita duduk di bawah air terjun ini rasanya seperti dipijat.

Kami datang ke kolam renang sekitar jam 9.30 pagi. Idenya sebenarnya di samping karena saya dengar dari suster anak saya sudah bisa berenang di sekolah dengan ban sendiri dan juga karena kami malas mandi pagi saja. Jadinya kami sekeluarga berangkat dengan hanya cuci muka dan sikat gigi.

Sampai di sana anak saya senang sekali. Baru kali ini dia lihat kolam renang yang sebenarnya. "Luas sekali", katanya. Tak sabar dia, langsung minta dilepas bajunya dan nyebur di kolam renang kecil. Dalam hati saya juga sudah tak sabar pengen berenang. Setelah main-main sebentar saya ajak anak saya ke kolam yang besar. Suami saya bertugas jaga anak karena dia tak bisa berenang. Dan...byur....aduh, menyenangkan sekali. Akhirnya saya berenang.

Puas sekali saya hari itu. Apalagi kolam renang sepi. Tak banyak pengunjung. Kami merasa nyaman sekali. Anak saya ternyata sudah bisa berenang dengan ban. Di kedalaman 2 meter dia tak takut. Padahal sebelumnya saya dan anak nyaris tenggelam gara-gara saya mencoba berenang sambil memeluk dia. Beberapa teguk air kolam saya telan. Anak saya juga terlihat sedikit syok. Namun, tak lama ia sudah tenang kembali. Dan mulai asyik berenang kesana kemari. 2 jam lebih berlalu. Kulit kami sudah berubah jadi hitam kemerahan. Tapi ya biarlah. Tak apa. Yang penting kami semua bersenang-senang hari itu.

Di sela-sela waktu berenang kami menyantap pisang goreng keju dua porsi. Anak saya yang kedinginan mereguk secangkir coklat hangat. Juga camilan Fugu dan Mi remes. Saya dan suami menyempatkan juga main bilyar di kafe pinggir kolam. Meski tak piawai, tapi lumayan buat sekadar gaya.

Berenang memang mengasyikkan!

Rabu, 22 Agustus 2007

Petik Strawberry



23 Agustus 2007

Akhirnya kesampaian juga pergi ke Bandung. Sebenarnya ada urusan keluarga, tapi sekalian jalan-jalan ke Lembang. Dan jadilah kami ke sana hari Selasa-Rabu (21-22 Agustus) kemarin. Bolos kantor. Anakku juga bolos sekolah. Cita-citaku sih ke Cihanjuang ke Rumah Stroberi. Eh, ternyata tutup di hari biasa. Cuma buka hari Sabtu Minggu. Akhirnya diterusin sampe ke Lembang. Tujuannya sebenarnya liat peternakan, ke pabrik susu sama ke supermaket tanaman. Di tengah jalan liat ada perkebunan Daffa Strawberry yang bisa petik sendiri. Akhirnya belok ke sana. Ada juga penjual tanaman banyak. Waduh, kayak kesetanan rasanya.

Bunga yang dijual buagus-buagus banget. Setelah puas liat-liat, nanya sana nanya sini. Aku beli tiga pot. Harganya 12.500 sama 10.000, aku juga beli media tanamnya sekalian soalnya mau aku kembang biakkan sendiri.

Sesudahnya aku sama anakku ke kebun strawberry. Kami petik sendiri buah-buah yang menggelantung di pot-pot. Aduh..bener-bener luar biasa rasanya. Waktu kecil nggak kebayang bisa petik strawberry sendiri. Buah itu cuma ada di majalah Bobo. Disebutnya Arbei, bukan Strawberry. Dalam serial Cerita dari Negeri Dongeng biasanya Pak Dobleh, tukang masak istana meminta Oki dan Nirmala untuk cari arbei di hutan. Sambil bawa keranjang di tangan, mereka berdua memulai petualangan mencari arbei. Kadang ketemu halangan, dan akhirnya bisa diatasi dengan tongkat ajaib Nirmala. Pernah ada episode arbei nya disulap jadi gede banget. Waduh, saat itu saya membayangkan seperti apa buah itu. Di akhir cerita biasanya Pak Dobleh membawa hasil masakan berupa kue tar dengan hiasan arbei sebagai topping nya. Hmmm.....

Sementara itu kisah ceritaku sendiri diakhiri dengan makan strawberry di mobil. Kami kemudian menginap di rumah kakak suamiku. Sisa strawberry ada 4 buah aku letakkan di meja rias di kamar. Dan paginya ketika bangun pagi strawberry tinggal 3 buah. Ada satu yang di ujungnya ada bekas gigitan...Setelah aku tanya-tanya ternyata benarlah dugaanku. Si tikus lah pencuri strawberry ku. Hg..kedatangan Ratatouli rupanya...

Rabu, 18 Juli 2007

Bukan Asep

19 Juli 2007

Posting kali ini saya tulis untuk koreksi atas posting terdahulu tentang Asep Ridwan. Media massa sejak petang kemarin menyiarkan berita tentang ditemukannya Asep Ridwan Saefulloh yang ternyata masih hidup. Asep ditemukan pada sekitar pukul 13.30 di stasiun Purwakarta oleh rombongan Kusnadi (ayah kandung), Kamalludin (ayah tiri), Jasiman (kakak kandung Asep), dan Juanda (tetangga) yang sedang dalam perjalanan ke Jakarta untuk memenuhi panggilan polisi. Adalah Kamalludin yang mengenali Asep. Saat itu Asep sedang memunguti sampah di stasiun. Rombongan itu lantas mengajak Asep pulang kembali ke Bandung. Ibunya, Nawangsih menyambutnya dengan gembira. Asep kini kembali berkumpul bersama keluarganya.

Lantas siapa sebenarnya korban mutilasi di Klender itu? Polisi harus bekerja dari awal untuk mengidentifikasi korban dan mencari pelakunya.

Saat ini, menurut media, Asep masih belum mau banyak bicara. Apakah Asep tak mendengar sama sekali kasusnya melalui media massa? Di stasiun, banyak sekali harian yang dijual oleh anak-anak jalanan. Apakah mereka tidak saling membicarakannya? Menurut saya, Asep tahu. Cuma mengapa ia membiarkan saja keluarganya menangisi kehilangannya? Lantas, saat ditanya Kamalludin, "Dibawa kemana saja sama si gondrong?" (orang yang dimaksud adalah Ade yang selama ini disangka sebagai pelaku mutilasi). Asep menjawab, "Sekarang mah sudah botak". Apakah Ade tahu dan sengaja mencukur habis rambutnya untuk menyaru?

Masih banyak misteri. Yang utama adalah mencaritahu siapa sesungguhnya si korban. Meski begitu saya tetap berpendapat sama seperti yang pernah saya tulis di posting terdahulu. Bahwa anak-anak jalanan itu bukannya bukan siapa-siapa. Hanya nasib saja yang meminggirkan mereka. Saya salut pada aksi sekitar 500 anak jalanan yang rata-rata berusia 10 tahun pada hari Minggu (15/7) lalu. Di bundaran HI mereka berorasi minta agar pemerintah menghentikan sodomi dan mutilasi terhadap anak-anak jalanan yang sering terjadi.

Saat ini saya bertanya-tanya. Siapakah ibu anak korban mutilasi itu? Masih hidupkah? Sudah meninggalkah? Saya barangkali termasuk orang yang naif untuk hal-hal seperti ini. Pernah saya mengunjungi sebuah panti asuhan. Disana saya menemui bayi umur 2 minggu, kata perawat bayi itu baru saja masuk. Hgh..saat melahirkan anak saya sekitar 4,5 tahun lalu saja saya masih mengingat rasanya. Bagaimana ya rasanya berpisah dengan anak yang keluar dari rahimnya sendiri? Selama 9 bulan lebih anak telah menjadi satu bagian dari tubuh sang ibu. Bagaimana ibunya tega berpisah dengan bagian dari tubuhnya?

Memang saya pernah mendengar ada pernyataan (saya lupa dimana) bahwa pengorbanan paling besar bagi ibu adalah memisahkan diri dengan anaknya demi hidup sang anak. Tapi tidak selalu pernyataan ini benar. Buktinya, Woo Kap Sun (50 th), ibu dari Hee Ah Lee (22 th) pianis klasik dari Korea Selatan yang cacat mental dan fisik itu bertekat terus membesarkan anaknya sendiri meskipun saudara-saudaranya memaksanya untuk menyerahkan Ah Lee ke panti asuhan. Meskipun hanya hidup bersahaja dari uang pensiun almarhum suaminya, Woo perjuangan Kap Sun untuk membekali anaknya agar mandiri membuahkan hasil.

Saya juga pernah melihat talkshow di televisi swasta tentang bagaimana seorang ibu memilih untuk bercerai dari suami dan merawat anaknya yang autis. Melalui ketelatenan sang ibu, sang anak mampu memiliki ketrampilan menulis. Sebuah buku telah dia hasilkan. Sang ibu bahkan membuka sebuah yayasan yang didedikasikan untuk anak-anak autis.

Kedua ibu tersebut memiliki pengalaman yang serupa. Keduanya juga memilih untuk tidak bekerja di kantor demi buah hatinya. Saya mengagumi semangat ibu-ibu itu. Mohammad Yunus sang peraih nobel 2006, mendapat inspirasi kredit mikro untuk kaum miskin dari ibu-ibu dan janda-janda miskin di Bangladesh yang berjuang mati-matian demi memberi makan anak-anaknya. Baginya, membantu para wanita miskin itu berarti menyelamatkan satu generasi bangsa. Dan benar saja, nyatanya banyak anak-anak dari keluarga miskin yang sekarang sudah 'orang', bahkan ada yang meraih gelar doktor.

Dan jika melihat anak-anak jalanan itu saya sering bertanya-tanya sendiri, "Dimana ibunya?"

Selasa, 17 Juli 2007

Jam Karet Transportasi Kita

18 Juli 2007

Kemarin saya pulang sangat awal. Naik KRL jam 16.15. Saya nebeng teman yang kebetulan lewat Sudirman. Dari kantor jam 16.00. Di mobil sedikit chit chat terjadi. Teman saya menanyakan, "Apa bisa kekejar?" Saya jawab, "Bisalah. Nggak pernah ada cerita kereta tepat waktu, selalu terlambat". Teman saya menimpali, "Di Depok pernah sekali tempo keretanya tepat waktu. Karena berangkat tepat waktu, banyak penumpang yang terlambat, ngomel-ngomel semua".

Nyatanya, saya sampai di Stasiun Sudirman jam 16.13. Sedikit berlari saya beli tiket, kata mas yang jaga keretanya sebentar lagi sampai. Di bawah saya sempat mampir ke penjual DVD. Sempat pilih-pilih dan beli film. Tak berapa lama kereta saya pun datang. Saya melirik jam hape, 16.19. Tumben. Menurut saya ini termasuk tepat waktu. Biasanya kereta terlambat sampai sekitar 15 menit-30 menit. Tak bosan-bosannya petugas jaga yang biasa mengumumkan kedatangan dan keberangkatan kereta mengatakan "Kami mohon maaf atas keterlambatan ini". Saya hapal benar kalimat ini. Karena hampir tiap hari diucapkan.

Suami saya sangat tidak suka naik kereta. Dia lebih memilih feeder bus karena kenyamanan dan ketepatan waktunya. Bukannya saya tidak suka, tapi feeder bus adalah alternatif moda transportasi saya yang berada di peringkat atas untuk tingkat kemahalannya. Saya naik feeder biasanya kalau pagi, kalau pulang kantor mending naik kereta. Kecuali kalau pulang malam ya saya naik feeder karena kereta cuma sampai jam 18.25. Feeder terakhir dari Ratu Plaza jam 19.55. Lagipula kalau pulang naik feeder saya harus menyeberang. Dan menyeberang jalan ini melelahkan saya yang jarang olahraga. Itupula sebabnya saya malas naik busway karena perjalanannya menuju pintu loket yang membuat kaki pegal. Apalagi kalau pas terburu-buru, waduh, sampai putus napas saya.

Kembali ke soal ketepatan. Di Indonesia saya kira ketepatan waktu dalam hal transportasi masih menjadi barang langka. Bulan Januari lalu kami sekeluarga terpaksa merelakan kepergian Papi sendiri menghadap Tuhan gara-gara pesawat yang akan kami tumpangi telat 30 menit. Alasan yang diberikan waktu itu ada pesawat lain yang tidak dinyatakan tidak layak terbang oleh DepHub sehingga mengganggu jadual keberangkatan pesawat lainnya. Waktu itu memang DepHub sedang galak-galaknya memantau setiap pesawat yang akan berangkat gara-gara peristiwa hilangnya Mandala di Sulawesi.

Itu pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Membekas seumur hidup. Bayangkan saja, kami hanya terlambat sekitar 10 menit dari kepergian Papi. Dan itu adalah menit-menit yang sebenarnya sangat-sangat berharga.

Saat baru menyadari soal tidak adanya konsep waktu di transportasi sewaktu mengambil kuliah di IPB. Jarak antara Serpong-Bogor sebenarnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 1 jam. Namun karena para supir angkutan umum itu tidak mengenal konsep waktu, saya harus memberikan toleransi sebanyak 1 jam. Waktu sebanyak itu saya sebut "waktu empati". Waktu yang harus saya sisihkan demi merasakan bagaimana susahnya mencari uang sebagai supir angkutan umum. Artinya jika penumpang sepi, maka saya ikut ngetem. Nunggu di dalam kendaraan. Adanya peraturan tidak tertulis antara para supir bis soal jarak antar bis juga harus saya alami. Maksudnya, begini. Para supir bis itu nampaknya punya kesepakatan untuk memberi ruang waktu sekitar 10 menit supaya bis di depannya bisa mencari penumpang. Jika jaraknya terlalu dekat, maka bis yang di belakang harus mengalah. Ngetem dulu meskipun bis sudah penuh dan sesak dan penumpang ngomel kepanasan. Sang sopir tak peduli dengan berbagai komentar penumpang, dia tetap saja santai ngerokok di depan kemudinya.

Saya pernah ngomel-ngomel karena bis ngetem lama dan memilih untuk pindah naik angkutan kecil-kecil. Ketika saya turun saya sempat mendengar supir bis menanyakan kenapa saya turun. Kondekturnya menjawab, "Tauk tuh, mau naik taksi dia". Itu sindiran buat saya.

Saya juga sering pindah keluar bis yang masih ngetem ke bis yang berangkat lebih dulu. Kebiasaan ini dikritik suami saya, "Jangan dong, katanya. Kasihan para sopir bis itu", katanya. Saya tak peduli. Saya jawab saja, "Ah, kalau kita terlambat mereka juga nggak peduli kok sama kita". Akhirnya upaya masing-masing saja lah yang dijalankan. Jika sopir ngetem, kita ikut ngetem. Jika sopir terburu-buru, ya beruntunglah kita, bisa sampai lebih cepat. Pokoknya apa mau sopir lah. Kecuali jika kita punya uang lebih ya bisa lah naik taksi dari Serpong sampai ke Bogor. Atau kalau badan sedang dalam kondisi fit, alternatif nya naik angkutan kecil-kecil model hijet tapi sambung-menyambung, tidak langsung sampai ke Bogor. Dan naik turun angkutan kemudian mencari lagi itu cukup melelahkan karena harus melawan debu dan terik matahari.

Kembali ke soal ketepatan transportasi, saya sebenarnya heran kenapa ya jam mereka selalu molor? Selalu ngaret? Memang, akhir-akhir ini bisnis transportasi ada yang mulai merintis ketepatan. Seperti misalnya travel Jakarta-Bandung yang mengklaim keberangkatan setiap satu jam dan bisa sampai dalam waktu 2 jam. Travel semacam ini laris karena mengunggulkan ketepatan. Tapi memang, kondisi jalanan sangat mendukung.

Singapura pernah menawarkan city tour gratis bagi para penumpang pesawat yang transit di negeri singa itu selama lebih dari satu jam. City tour itu hanya akan memakan waktu satu jam saja. Sharp. Saya tidak tahu apakah sekarang masih ada atau tidak. Saya kagum gagasan ini. Di samping untuk promo wisata, juga pamer ketepatan waktu. Singapura cukup jeli menangkap peluang sebagai negara yang sering dijadikan tempat transit. Saya tidak pernah yakin apakah kita mampu melakukan hal seperti ini.

Menurut saya, ketepatan waktu adalah soal kebiasaan. Tapi ya mengubah kebiasaan sekian ratus juta orang bukan perkara mudah. Sebagai penganut agama Katolik saya mengenal ketepatan waktu dari jam misa di gereja. Belum pernah saya dengar ada jam misa yang ngaret. Meskipun kondisi petugas belum siap, tetap saja harus dimulai pada jam-jam yang telah ditetapkan sebelumnya. Maka beberapa kali pernah ada misa yang terpaksa tidak menggunakan musik karena pemain organnya terlambat datang atau tanpa koor di awal karena jadual petugas misa yang kacau. But, the show must go on.

Pelajaran soal ketepatan waktu juga pernah saya dapat di sekolah. Sekolah saya -swasta Katolik- sangat galak soal waktu. Gerbang sekolah saya dikunci pada satu jam pelajaran pertama. Selanjutnya ya silakan masuk, tapi tentu saja penilaian guru terhadap saya sudah berbeda. Saya sendiri cukup beruntung karena bekerja di tempat-tempat yang memperbolehkan karyawannya masuk kantor jam berapa saja asal tenggat waktu dipatuhi. Peraturan ini membuat saya tidak terlalu stres dengan soal transportasi.

Sulit membayangkan jika saya harus bekerja di kantor dengan jam-jam yang sudah ditentukan. Kembali ke kisah yang diceritakan teman saya tadi. Ngomelnya penumpang kereta di Depok karena keretanya berangkat tepat waktu adalah hal yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Jadi bagaimana dong seharusnya? Terlambat penumpang ngomel, tepat waktu eh..ngomel juga.

Menurut saya, ya biar saja penumpang ngomel. Pernah ada kejadian di feeder bus, seorang ibu bilang ke sopir bis, supaya menunggu suaminya yang sedang dalam perjalanan ke terminal. Heh...si ibu ini aneh-aneh aja. Kontan seluruh penumpang protes. Beruntung sopir bis tidak memihak ke ibu itu. Si ibu akhirnya mengalah dan terpaksa turun bis.

Ya..begitu memang seharusnya. Mestinya angkutan kita lebih egois, bukannya penumpang yang harus diikuti. Di Indonesia ini penumpang kelewat dimanja memang. Bisa berhenti semaunya dan ditunggu kedatangannya. Saya cuma bisa berharap ada lebih banyak lagi angkutan umum yang tepat waktu. Mungkin gak ya?





Minggu, 15 Juli 2007

Asep Ridwan Saefuloh


16 Juli 2007

Namanya Asep Ridwan Saefuloh. Lahir pada 6 Juli 1996. Umurnya 11 tahun. Ia tinggal di Jl. Kebongedang, RT1 RW6, Kelurahan Kiaracondong, Kecamatan Kiaracondong, Kabupaten Bandung. Asep sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al Hikmah Kebongedang, Kiaracondong. Di tahun ajaran baru ini ia sebenarnya naik kelas IV. Nilainya juga lumayan, rata-rata 7.

Pada 9 Juli lalu, di belakang pasar Klender, Jl. Raya Bekasi KM17 Jakarta Timur, Asep ditemukan sudah tidak bernyawa dalam sebuah kantong plastik sampah berwarna hitam. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tubuhnya terpotong dua di bagian pinggang dan diikat jadi satu dengan cara ditekuk ke belakang. Organ tubuhnya yang tersisa tinggal jantung, paru-paru, hati, dan ginjal bagian kiri. Pada anusnya terdapat luka bekas sodomi. Belakangan, dokter di RSCM menyatakan luka itu menunjukkan bahwa Asep sudah sering disodomi sekitar setahun.

Mayat Asep tak langsung dikenali. Baru 3 hari kemudian, Nawangsih (34th), ibu kandungnya mengenalinya melalui bekas luka di jempol kakinya. Perlahan kasus mutilasi ini mulai terkuak. Saat ini polisi tengah mencari AD yang diduga menjadi tersangka pembunuh Asep.

Sebagai seorang ibu yang mempunyai anak laki-laki, saya ikut menangis. Betapa tidak, saya merasakan bagaimana melahirkan dan merawat seorang bayi hingga tumbuh menjadi seorang bocah. Saya mengetahui setiap luka yang didapat anak saya, dari gigitan nyamuk, tergores, luka jatuh, luka lebam. Saya juga berupaya untuk menghilangkan luka dan mengurangi rasa sakit dengan membelikan obat atau membawanya ke dokter bila perlu. Dan, apa yang akan saya rasakan jika saya menjadi Nawangsih? Aduh, susah saya membayangkan.

Nawangsih tergetar hatinya saat melihat penemuan mayat korban mutilasi di televisi. Saat itu ia lantas mengkhawatirkan nasib Asep yang sudah satu minggu tak pulang ke rumah. Sebelumnya ia tak khawatir jika anaknya itu tak pulang ke rumah beberapa hari. Namun berita kali ini mengusik nuraninya. Nawangsih kemudian membuat selebaran untuk mencari Asep. Hasilnya nihil. Hatinya semakin galau. Ia nekat meminjam uang ke tetangga dan berangkat ke Jakarta. Tujuannya ruang mayat RSCM. Dan, benar saja, jenasah itu adalah Asep. Nawangsih pingsan.

Saya membayangkan apa saja yang dipikirkan Nawangsih sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Barangkali Tuhan telah mengirimkan pesan pada Nawangsih agar segera menjemput anaknya. Atau barangkali roh Asep sendiri yang memanggil ibunya. Ah, saya tak punya nyali setegar Nawangsih.

Menurut analisis polisi, kasus Asep mirip dengan kasus pembunuhan anak laki-laki berusia 6 tahun yang terjadi 30 April lalu di Kelapa Gading. Diduga, keduanya merupakan korban kejahatan berantai dengan perlakukan yang sama.

Saya ingat film 8 mm. Film thriller garapan Joel Schumacher yang diputar tahun 1999 ini menuturkan tentang detektif Tom Welles (Nicolas Cage). Detektif swasta ini disewa oleh seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya seorang pengusaha kaya. Ny. Christian, begitu namanya, penasaran dengan penemuan sebuah film pendek dalam brankas tersembunyi milik almarhum suaminya. Di film yang direkam dalam pita berukuran 8 mm itu berisi pembunuhan seorang gadis dengan cara yang sadis. Sang pembunuh menggunakan topeng khas dan berbadan besar. Menurut Tom, film tersebut adalah snuff film
yaitu film yang merekam pembunuhan orang (di dalam film ini rata-rata korbannya adalah wanita) dengan cara yang sadis. Snuff film bisa saja berisi adegan palsu, namun ada juga yang asli dalam artian korbannya benar-benar dibunuh. Namun, Ny. Christian tetap mendesaknya untuk mencaritahu siapa si gadis itu. "Uang bukan masalah", begitu tegas Daniel Longdale, pengacara keluarga Christian.

Investigasi awal membuahkan hasil. Tom mengidentifikasi nama si gadis sebagai
Mary Ann Mathews. Mary Ann pergi ke Hollywood untuk mengejar cita-cita sebagai bintang film meski ibunya melarang. Tom melacak jejak Mary Ann hingga ke pasar sex Hollywood tempat dimana banyak dijual snuff film.

Tom berhasil menguak bahwa almarhum Tn. Christian pernah menyewa produser snuff film yaitu Velvet dan Poole untuk membuat film dengan adegan asli melalui Longdale. Nyatanya, uang sebesar $US 1.000.000 yang diberikan Tn. Christian dikorupsi oleh Daniel. Bayaran yang diterima Velvet, Poole, dan Machine - sang pembunuh bertopeng, jauh lebih sedikit. Film memuncak ketika Velvet dan Longdale saling bunuh. Tom sendiri berhasil membunuh Poole dan Machine.

Adegan saat sebelum Tom membunuh Poole masih terus membekas di benak saya. Setelah membuat Poole tak berdaya, Tom menyeret Poole ke tempat dimana Mary Ann dibunuh. Tom sempat menelpon ibu Mary An dan menceritakan kejadian sebenarnya. Mayat Mary An ndikubur di dalam hutan namun lokasinya tidak pernah diketahui. Berkali-kali Tom berkata pada ibu Mary Ann, "Do you love Mary Ann? Tell me that you love him. Tell me that you love him!". Di kamarnya, dalam kegelapan malam, di atas tempat tidurnya, ibu Mary An menangis sesenggukan, ia menjawab terbata-bata, "Yes, I love her."Tom menutup telpon. Pernyataan itu memberikan konfirmasi padanya. Ia mendekati Poole, memukuli kepalanya dengan pistol hingga mati kemudian membakar mayatnya.

Film ini mempertemukan empat karakter: Pertama, orang kaya yang mencari kesenangan. Kedua orang yang mencari materi dengan cara apapun termasuk membuat snuff film. Ketiga, korupsi, psikopat yang mempunyai kepribadian ganda yaitu Machine (di rumah, ia adalah anak tipe anak mama, berwajah kekanakan dan sering sendirian karena ibunya aktivis gereja; di dunia snuff film, ia mengenakan topeng dan menjadi pembunuh sadis berdarah dingin). Keempat, orang yang masih peduli akan pentingnya arti keluarga yang memberikan kasih sayang.

Soal kasih sayang ini membekas dalam benak saya. Kenapa? Karena selama ini orang-orang seperti Velvet dan Poole menganggap gadis seperti Mary An bukan siapa-siapa, bukan milik siapa-siapa. Jadi jikalau dibunuh pun tak akan ada yang peduli.

Dan milik siapakah anak-anak jalanan itu? Saya sangat menyayangkan pernyataan Nawangsih, ibu Asep yang menyatakan tidak khawatir jika Asep tidak pulang selama beberapa hari. Saya bertanya-tanya, kenapa? Kenapa tidak khawatir? Apa yang membuat seorang ibu tidak mengkhawatirkan kesendirian anak berusia 11 tahun di jalanan? Saya tidak habis pikir. Di selebaran yang dibuat Nawangsih, ia menuliskan Asep lahir pada 6 Juli, apakah sebelumnya ia tidak terpikir untuk mencari Asep karena tanggal 6 Juli ia berulang tahun? Karena Asep meninggalkan rumah semenjak 30 Juni. Ya, barangkali memang tidak pernah ada pesta ulang tahun, tapi setidaknya sebagai seorang ibu apakah ia tidak mengingat hari istimewa itu? Dan apakah Asep sendiri mengingat hari ulang tahunnya?

Barangkali Asep tengah memberontak karena pergi dari rumah dan memberikan alasan palsu (menurut ibunya Asep bilang akan ke rumah bibinya). Tapi karena apa? Asep pergi dari rumah? Menurut ayah tirinya Asep takut dimarahi karena rapotnya jelek. Pernyataan ini dibantah Kepala Sekolah Asep karena nilainya rata-rata baik. Jadi kenapa?

Adakah sesuatu di dunia anak jalanan yang menarik bagi Asep? Apakah dunia di luar memberikan kenyamanan dibanding pulang ke rumah? Padahal, menurut kesaksian teman Asep yang juga seorang anak jalanan, Asep sempat tidak bisa melakukan apa-apa karena jatuh dari bis kota. Bahkan temannya inilah yang memberinya makan. Kenapa Asep tetap tidak pulang ke rumah? Asep juga sempat tinggal di Rumah Singgah anak jalanan. Dan itulah saat terakhir Asep.

Bocah kecil itu nyatanya tidak berdaya juga menghadapi sang pembunuh yang barangkali mensodominya lebih dahulu. Dan kenapa mesti dibunuh? Kenapa memakai cara-cara yang sadis? Saya teringat jawaban Machine ketika Tom menanyakan hal serupa:

"You know the best part of killing someone? The look on their face. It's that look. Not when they're threatened. Not when you hurt them. Not even when they see the knife. It's when they feel the knife go in. That's it. It's surprise. They just can't believe it's really happening to them........"

Kenapa ada orang semacam ini? Semuanya berupaya mencari kepuasan. Dengan caranya masing-masing.

Saya kembali mengingat Neill, pendiri Summerhill School, tesisnya orang yang bermasalah berasal dari keluarga atau lingkungan bermasalah. Kebahagiaan atau ketidakbahagiaan muncul darisana. Saya sendiri lebih memilih keluarga sebagai inti dari semuanya. Saya percaya kasih sayang antar keluarga mampu membentuk pribadi-pribadi yang kuat. Ada rasa saling memiliki.

Di akhir film 8 mm, Ny. Christian memberikan secarik catatan pada Tom, ia menulis: "I hated you for telling the truth, but now I realize you and I are probably the only people that ever really cared about Mary Ann."

Saya sungguh mengutuk para pelaku pedofili anak-anak jalanan. Anak-anak jalanan itu punya keluarga. Setidaknya mereka lahir dari rahim seseorang. Dan para pembunuh itu, apakah dia tidak pernah menyadari bahwa dia pernah dilahirkan oleh seseorang? Apakah dia tidak pernah merasakan ikatan dengan sesama? Saya kira jika semua orang di dunia ini merasakannya, empati pun akan tumbuh dengan sendirinya.

Terakhir, tentu saja saya mendoakan arwah Asep. Buat saya yang percaya keberadaan surga, saya sungguh ingin membayangkan Asep bermain-main dengan riang disana.



















Kamis, 12 Juli 2007

Manusia Religius

13 Juli 2007

Menurut teori Spranger, ada 6 tipe manusia: manusia teoritis, manusia estetis, manusia politis, manusia ekonomis, manusia sosial, dan manusia religius.

Benny Susetyo menggunakan teori ini dalam bukunya berjudul Politik Pendidikan Penguasa (LKiS, 2005) sebagai acuan untuk menggambarkan akan menjadi manusia apa kira-kira anak bangsa kita dengan sistem pendidikan seperti yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas No.20/2003. Ia menyoroti terutama pada bab V tentang Peserta Didik, pasal 12 ayat (1) yang menyatakan: "Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".

Spranger membuat pembagian tipe manusia ini berdasarkan pada nilai-nilai tertentu yang menguasai jalan pikiran,perasaan, dan tingkah laku dalam kehidupan manusia. Misalnya, manusia politik adalah manusia yang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan kekuasaan an sich. Manusia religius adalah manusia yang mengorientasikan perjalanan hidupnya yang memuncak dalam Nilai Tertinggi yaitu Yang Ilahi.

Menurut Benny, pendidikan agama yang ditonjolkan dalam UU Sisdiknas No.20/2003 lebih berhasrat untuk mencetak manusia politik ketimbang manusia religius. Pemahaman agama yang sentralistis dalam kurikulum pendidikan agama yang sentralistis akan menjebak anak didik untuk memahami agama secara parsial saja. Pemahaman agamayang sifatnya sempit hanya akan mementingkan dirinya dan meninggalkan yang lainnya. Pendidikan agama yang diberikan menonjolkan aspek formalitas dan kaku. Agama dipandang secara sempit, dan bukan dilihat dalam pengertian realitasnya. realitasnya adalah pluralisme agama yang hidup di bumi Indonesia.

Usulan Benny adalah agar penguasa lebih menekankan pada aspek pemahaman religiusitas untuk mencetak manusia-manusia religius. Manusia religius adalah manusia yang memahami hakikat agama dalam bingkai pluralisme. Dia tidak akan mempolitisasi agamanya untuk kepentingan kekuasaan, karena kekuasaan/politik adalah untuk menjatuhkan lawan dan selamanya akan demikian. Sementara agama bersifat suci. Dengan demikian, agama lebih dimaknai dalam konteks privat bukannya publik. Menurut Benny, dalam UU Sisdiknas yang baru ini agama diletakkan dalam konteks publik; disandera oleh kepentingan kekuasaan.

Spranger membagi lagi manusia religius menjadi beberapa tipe. Pertama, yang bersifat mistik-imanen yang melihat bahwa Yang Ilahi terletak di dalam ini sari kehidupan ini. Kedua, yang bersifat mistik-transeden, yang melihat bahwa Yang Ilahi terletak di belakang atau di atas dunia ini, terpisah dari nilai-nilai vital yang oleh karenanya harus disangkal. Ketiga, adalah manusia religius yang memiliki gabungan dari kedua sifat tersebut.

Berdasarkan penjabaran tersebut, Benny mengusulkan agar arah pendidikan kita diarahkan untuk mencetak anak didik yang religius dan memiliki sifat mistik-imanen. Agar anak didik melihat agama untuk menjawab tantangan realitas, bukan untuk dirinya sendiri. Agama untuk menyelesaikan berbagai problem kemiskinan dan pembodohan. Agama bukan terpisah dari realitasnya dimana ia teruntuk dirinya sendiri (mistik transeden). Jika yang terakhir yang terjadi maka para pemeluk agama akan menyatakan bahwa perang suci kepada pemeluk lainnya adalah tindakan menjalankan agama. Perlakuan agama seperti ini menjadi hampa toleransi dan hampa dialog.

Saya sepakat dengan Spranger bahwa memahami hakikat agama hendaknya dilakukan dalam konteks pluralisme. Namun, ada kalimat Benny yang saya tidak paham yaitu "agama untuk menyelesaikan berbagai problem kemiskinan dan pembodohan". Juga pernyataan bahwa agama untuk menjawab tantangan realitas. Saya kurang paham maksudnya. Bukankah agama itu sendiri tidak realistis? Soal mengimani, soal mempercayai pada sesuatu. Ada banyak cerita soal mukzizat di dalamnya. Bukankah pandangan yang mempercayai bahwa surga atau neraka itu ada adalah pandangan utopian? Lantas bagaimana sesuatu yang tidak realistis digunakan untuk menjawab tantangan yang realistis? Saya kok tidak paham.

Saya sendiri menganggap diri sebagai manusia religius. Saya memeluk agama Katolik dan menjalankan praktik yang diajarkannya. Saya berusaha ke gereja setiap minggu, membuat tanda salib untuk mengawali doa, melakukan devosi pada Maria bulan Mei dan Oktober, berdoa novena untuk ujub-ujub pribadi dan mendidik anak saya secara Katolik.

Kehidupan material saya biasa saja. Naik turun. Seringkali kehabisan uang, tekor. Tapi bagaimana cara saya menutup kekurangan di akhir bulan? Ya saya ke bank, pinjam uang tabungan dan bulan depan saya kembalikan lagi. Bagaiman agama membantu saya? Ya dengan cara berdoa saja. Agama lebih membuat saya merasa nyaman menghadapi banyak persoalan. Kadang di gereja saya tidak menyimak sepenuhnya jalannya misa, karena harus meladeni anak saya. Tapi kalau tidak ke gereja rasanya ada yang kurang. Sepulang gereja saya merasa lebih mantap. Ada sugesti. Seperti pergi ke dukun dan disuruh minum segelas air putih. Atau barangkali ke dokter dan disuntik. Mana kita tahu apa yang dimasukkan dalam tubuh kita? Ada sugesti yang membuat kita merasa nyaman dan bugar. Padahal barangkali saja kekebalan tubuh kita lah yang bekerja. Sembuh itu berasal dari kita sendiri.

Kembali ke soal kenyamanan tadi. Dengan merasa nyaman saya bisa berpikir jernih, tidak takabur. Dalam kondisi seperti itu saya jadi bisa memilah apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang tidak. Saya sadar, apa yang saya lakukan sekarang tidak saja punya konsekuensi pada diri pribadi, tapi terutama untuk anak saya. Karenanya saya berharap bisa tetap 'nyaman' dalam kondisi yang paling buruk sekalipun.

Lantas, bagaimana soal pendidikan agama di sekolah? Saya mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sedari TK hingga SMA. Saya sempat sekolah 2,5 tahun di sekolah negeri ketika SD, sehingga saya punya pengalaman sedikit soal pendidikan agama di sekolah. Waktu itu, saya tinggal di kota kecil yang belum memiliki sekolah Katolik. Ibu saya lah yang berinisiatif mendirikan TK Katolik untuk pertama kalinya di samping gereja sehingga nomor induk saya adalah nomor 001. Ketika SD saya masuk sekolah negeri yang hanya mengajarkan pelajaran agama Islam. Satu kelas hanya 3 orang anak yang beragama non-Islam. Setiap kali pelajaran agama kami dibebaskan memilih, boleh tinggal atau keluar kelas. Jika sedang malas keluar saya di dalam kelas saya menyimak pelajaran agama Islam, sehingga sampai sekarang saya masih hapal satu doa. Jika di luar, ya kami main ke gereja yang letaknya di sebelah sekolah.

Selanjutnya saya memilih sekolah Katolik terus hingga SMA meskipun orang tua saya tidak menganjurkan, bahkan mereka menyarankan masuk ke negeri saja dengan alasan soal jarak. Tapi saya enggan karena sekolah Katolik lebih bersih dan apik, disiplin, dan saya merasa lebih nyaman di sana. Di SMA ini saya berkenalan dengan seorang suster yang luar biasa dari ordo Amal Kasih Darah Mulia, bahkan sampai sekarang saya masih berhubungan dengan beliau. Saya amat kagum pada beliau.

Soal pelajaran agama tadi - ah, saya memang suka melantur kemana-mana, semenjak saya punya anak saya merasa bahwa sekolah berbasis agama sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Saya punya pengalaman: ketika ibu RT membuka kelompok bermain di dekat rumah. Hampir semua teman-teman anak saya sekolah di sana, sementara anak saya tidak bisa karena kelompok bermain itu berbasis agama tertentu. Saat itu saya hampir menangis melihat anak saya hanya bisa melihat di balik pagar sementara teman-temannya di dalam. Saya jengkel. Kenapa tidak ada orang yang berinisiatif membuka sekolah yang tidak berbasis agama?

Jaman dulu ketika SD saya mendapat pelajaran budi pekerti. Menurut saya itu pelajaran yang bagus sekali. Saya kok cenderung mengusulkan agar pelajaran agama dihapus dan diganti pelajaran budi pekerti saja. Ada tentang sopan santun, toleransi, menghargai sesama, cara hidup sederhana, kebersihan. Sepertinya itu lebih bagus. Pelajaran agama biarlah urusan agama itu sendiri. Gereja mengadakan Sekolah Minggu atau Bina Iman, Mesjid juga menyelenggarakan TPA atau apa ya kepanjangannya, Tempat Pengajian Anak (?). Yang lainnya seperti agama Budha atau Hindu pasti ada juga semacam itu.

Jadi, biarlah soal agama menjadi urusan privat.

Selain itu, saya mengusulkan juga agar sekolah-sekolah swasta yang berbasis non-agama diperbanyak. Saya himbau agar para investor membantu pendirian sekolah-sekolah semacam ini.

Rabu, 11 Juli 2007

Memahami Data Kemiskinan BPS

3 Juli 2007
(Tulisan ini ditulis pada 3 Juli tapi baru ditayangkan pada 11 Juli dengan editing)

Tanggal 2 Juli kemarin Biro Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan hasil survei terbarunya. Temuannya: jumlah penduduk miskin di Indonesia per bulan Maret 2007 ini sebesar 37,17 juta orang. Dibanding bulan Maret 2006 lalu yang sebesar 39,30 juta, berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Apa penyebab penurunan angka kemiskinan ini tidak dijelaskan BPS secara pasti. Sementara itu, komentar bernada miring bermunculan meragukan kebenaran data tersebut. Bagaimana sebaiknya kita membaca dan memahami temuan BPS ini?

BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Menurut rilis media BPS, metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan..

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Dengan menggunakan konsep dan metode seperti tersebut di atas, maka yang disebut dengan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.

Jika mengacu pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan Bappenas (2005), maka apa yang disebut miskin oleh BPS barulah mendeskripsikan sebagian dari kondisi kemiskinan itu sendiri. Menurut dokumen tersebut, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan
hak lainnya.

Inilah konsep kemiskinan berbasis hak. Konsep ini menegaskan kembali kewajiban negara untuk menghormati kemiskinan dan menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Ada pengakuan bahwa kondisi kemiskinan yang mendera seseorang karena akibat dari luar, bukan karena dirinya semata. Oleh karena itu negara berkewajiban untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan akibat-akibat tersebut.

Konsep kemiskinan yang dipergunakan BPS mempergunakan teori pemenuhan kebutuhan dasar Maslow. Mari kita tengok teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan manusia sifatnya berjenjang ke atas, jika seseorang mampu memenuhi kebutuhan yang paling rendah, barulah ia menanjak ke kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan manusia terbagi menjadi kebutuhan dasar atau yang disebut basic needs berupa kebutuhan fisik, keamanan, rasa memiliki dan kasih sayang, dan aktualisasi diri. Selanjutnya, jika seseorang telah berhasil memenuhi kebutuhan dasarnya maka ia akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (higher needs) atau yang disebut sebagai kebutuhan ideal (ideal needs) berupa pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu dan estetika.

Jika diterapkan dalam kehidupan keseharian, teori Maslow bisa jadi menyatakan bahwa seseorang dengan kondisi perut lapar tidak akan mampu menjadi orang pintar. Benarkah demikian?

Pengamat sosiologi lingkungan Michael Mayerbfeld Bell (1998) mengkritik Maslow. Semisal, ada seseorang yang begitu senangnya membaca buku sehingga ia lupa makan. Dalam beberapa kasus, teori Maslow tak bisa diterapkan. Kita ingat nama-nama tiga anak Papua penerima Satya Lencana Wirakarya dari Pemerintah yaitu Septinus George Saa, Anike Boare, dan Rudolf Surya Bonay. Ketiganya meraih penghargaan the first step to nobel prize dalam bidang fisika dan kimia secara berturutan mulai tahun 2004, 2005 dan 2006. Apakah ketiga anak itu berasal dari keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya? Tidak juga.

Atau apakah jika seseorang sudah kaya dalam artian terpenuhi kebutuhan fisiknya ia lantas belajar dengan giat? Atau berupaya untuk menikmati karya seni yang bercita rasa tinggi? Beberapa orang mungkin melakukannya. Tapi kebanyakan memanfaatkan kekayaannya untuk bersenang-senang saja atau membeli barang-barang bermerek tanpa memikirkan soal selera. Dalam kasus lain kita dapati seorang aktivis politik yang rela tidak makan minum demi memperjuangkan ideologi yang diyakininya.

Apa yang diklaim BPS sebagai kemiskinan sesungguhnya hanyalah sebagian dari ketidak mampuan masyarakat dalam memenuhi hak hidupnya secara bermartabat. Pernyataan ini bisa diartikan jika BPS mengklaim bahwa orang miskin berkurang, bisa saja kita artikan sebagai sebagian ketidakmampuan masyarakat berkurang. Bukan berarti seseorang itu lantas tidak terbebaskan dari kondisi kemiskinan. Bisa jadi ia hanya mampu memenuhi kebutuhan tertentu akan tetapi merelakan tidak terpenuhinya kebutuhan yang lain.

Saya kemudian berpendapat, bahwa dengan demikian sebenarnya data kemiskinan yang disosialisasikan BPS adalah data yang masih kasar. Sesungguhnya data kemiskinan kita jauh lebih besar dari angka itu. Bukan berarti saya mengecilkan hasil riset BPS. Hanya saja, angka itu menurut saya baru menyentuh permukaan wilayah kemiskinan di Indonesia.

Jadi, belum bisa dipastikan apakah benar orang miskin di Indonesia berkurang? Jangan-jangan malah bertambah. Pembenaran bisa dicari dengan memegang definisi soal kemiskinan seturut perspektif masing-masing.

Yang pasti, buka mata hati dan pikiran kita untuk mengentaskan kemiskinan. Asah empati dan perangi korupsi. Mari bangun hidup sederhana dan ramah lingkungan.

Minggu, 08 Juli 2007

Summerhill School

9 Juli 2007

Dalam perjalanan ke kantor pagi ini, di bis baca buku Summerhill School - buku baru terbitan Serambi (Juni 2007). Bacanya baru 1/3 sih, tapi udah mulai ketahuan ini buku bagus. Ini kumpulan tulisan dari pendiri Summerhill School, Alexander Sutherland Neill. Kumpulan tulisan itu kemudian diedit oleh Albert Lamb. Buku Summerhill School ini merupakan buku kedua tentang Summerhill, hanya saja di buku ini menurut Lamb, ada koreksi terhadap pandangan Freudian yang dulu digunakan dalam buku pertama. Menurut Neill, pandangan freudian tersebut sudah usang.

Bekas guru ini mendirikan sekolah alternatif tahun 1921 setelah merasa selama ini melakukan 'kekeliruan' dalam mengajar. Sebelumnya - seperti layaknya guru-guru, ia menjaga jarak dengan murid, menerapkan disiplin yang totaliter seperti memukul anak dengan sabuk jika nilai merosot atau anak melakukan kesalahan. Summerhill School terletak di kota Leiston, Suffolk, sekitar 160 km dari London.

Di Summerhill School, Neill mendirikan sekolah dengan konsep baru. Asumsinya semua anak pada dasarnya baik. Anak bermasalah berasal dari keluarga yang bermasalah, sekolah bermasalah; dari lingkungan bermasalah. Karenanya yang harus dibenahi adalah lingkungan-nya. Neill menunjuk pada orang tua dan guru-guru jika seorang anak didapati bermasalah.

Neill juga berargumentasi bahwa semua permasalahan tersebut bersumber dari adanya ketidakbahagiaan yang dirasakan. Saya kutipkan tulisan Neill dari buku halaman 39:

"Anak yang bermasalah adalah anak yang tidak bahagia. Dia berperang dengan dirinya sendiri; dan konsekuensinya, dia berperang dengan seluruh dunia. Orang dewasa yang bermasalah pun demikian. Tak ada orang bahagia yagn gemar bikin onar dalam suatu acara, atau mengajak perang atau menghukum orang yang tak bersalah. Tak ada perempuan bahagia yang mengomeli suami atau anak-anaknya. Tak ada lelaki bahagia yang menjadi pembunuh atau pencuri. tak ada atasan bahagia yagn suka menakut-nakuti bawahannya. Semua kejahatan, semua kebencian, semua peperangan bersumber dari ketidakbahagiaan....."

Karena itulah Neill menyebut Summerhill School sebagai "sekolah yang paling membahagiakan di seantero dunia" (hal. 52). Di sekolah ini Neill menebarkan kasih sayang dan kebahagiaan karena menurutnya kebencian akan melahirkan kebencian, dan kasih sayang berbuah kasih sayang. Kasih sayang berarti mendukung anak-anak, dan kasih sayang ini penting sekali pada semua sekolah. Anda tak berpikah pada anak-anak kalau Anda memarahi dan menghukum mereka, begitu tandas Neill.

Namun, seperti sudah bisa ditebak, apa yang dilakukan Neill ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Mereka yang setuju dengan cara-cara konvensional jelas menentang cara-cara di Summerhill. Kebanyakan menyebut sekolah ini sebagai "sekolah suka-suka".

Memang, pada kenyataannya anak-anak dibebaskan untuk melakukan apa yang mereka sukai. Neil berpendapat bahwa anak-anak memiliki sifat bawaan bijaksana dan realistis. Jika seorang anak ingin menjadi sarjana, maka dia akan menjadi sarjana. Jika seorang anak ingin menjadi tukang sapu, dia akan menjadi tukang sapu. Meski belum pernah mendapati murid Summerhill menjadi tukang sepatu, tapi Neill menulis "..sejatinya saya lebih suka sekolah yang mencetak tukan sapu yang bahagia daripada sekolah yang menghasilkan sarjana neurotik".

Jadi kunci dari apa yang dilakukan Neill adalah tentang memberikan kebahagiaan. Biarkan anak-anak melakukan apa yang ia sukai asalkan ia merasa bahagia. Kita tidak boleh memberikan penghakiman tentang baik dan buruk pada apa yang ia inginkan. Tapi, meskipun demikian Neill menerapkan juga konsep tut wuri handayani (mengasuh dengan cara membimbing secara tidak langsung). Dalam rapat-rapat yang dihadiri murid dan guru, seringkali Neill memberikan usulan-usulan yang mampu mengundang perdebatan tapi tidak memberikan keberpihakan pada satu posisi. Yang ia lakukan adalah mengarahkan agar anak mampu berpikir kreatif dan mandiri serta bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

Nyatanya, para alumnus Summerhill banyak dikenal sebagai pribadi-pribadi yang percaya diri. Dalam buku ini, ada juga tulisan dari alumnus Summerhill yang memberikan kesaksian tentang bagaimana masyarakat memandang dirinya.

Saya belum membaca buku ini sampai habis, tapi argumen-argumen Neill di halaman awal menarik minat saya, juga saya menyetujuinya. Apalagi di jaman sekarang, dimana kebahagiaan begitu sulit dicari. Dimana semua orang saling berkompetisi untuk menjadi nomer satu. Dan yang didapati akhirnya orang jadi bersitegang dan berebut untuk berada di jalur pertama.

Meski Neill mengatakan tidak mengapa jika lulusan Summerhill ada yang menjadi tukang sapu - asalkan bahagia- tapi sejatinya, tidak satupun yang begitu. Alumnus Summerhill justru banyak yang menjadi tokoh masyarakat. Menjadi sarjana, guru besar, ataupun pengusaha sukses. Jika tidak minimal, ia menjadi seseorang yang mandiri, kreatif, dan percaya diri.

Saya terapkan argumen Neill pada beberapa kasus, seperti misalnya pada anak-anak berprestasi yang diwawancara di beberapa media, ketika ditanya, mereka justru jarang belajar, atau belajar dianggap sebagai sebuah hobi, kebanyakan bukan tipe anak-anak nerd, tukang baca atau bertampang serius. Ya..beberapa ada yang berwajah serius, tapi bukan berarti mereka lantas menjadi penyendiri. Yang sering ada adalah mereka periang, punya hobi, punya selera humor. Apakah mereka berasal dari keluarga kaya? Jujur, sebagian besar memang demikian, karena kesejahteraan otomatis memberikan perangkat untuk memenuhi rasa keingintahuan si anak. Tapi bagi yang tidak dari keluarga kaya, ternyata banyak juga ditemui anak berprestasi.

Di sini saya setuju pendapat Neill dan menangkap apa maksud Neill. Kebahagiaan mampu menghasilkan banyak hal. Kreativitas, kepercayaan diri, kenyamanan, dan otomatis akan banyak lagi efek-efek positif lainnya.

Seringkali sebagai ortu, kita memaksakan kehendak pada si anak. Harus bisa begini harus bisa begitu, harus menyenangi ini, harus menyenangi itu. Kasihan juga sebenarnya ya. Rasanya kita ini kok gak punya empati sama anak kecil. Coba kalo kita yang jadi mereka. Nggak mau juga kan dipaksa begini dan begitu.

Padahal Neill punya ide mendirikan Summerhill itu tahun 1921, ketika itu aja Neill udah merasa berdosa karena seharusnya dia sudah melakukannya jauh-jauh hari, dan masih saja keheranan dengan perilaku guru-guru di jaman itu yang masih menerapkan kedisiplinan yang totaliter pada murid.

Neill lahir 17 Oktober 1883 di Forfar, Angus, Skotlandia dan wafat tanggal 22 September 1973. Menjadi guru dilakoninya sejak muda belia di sekolah ayahnya. 90 tahun umur Neill betul-betul didedikasikan untuk pendidikan. Barangkali di alam baka sana Neill masih prihatin melihat dunia pendidikan kita yang masih saja tak berubah. Satu dua memang ada bibit-bibit sekolah alternatif atau guru-guru yang mencoba mendobrak sistem pendidikan yang kaku. Tapi mayoritas masih juga mencetak anak-anak yang tidak bahagia dan neurotik. Yang hanya berkeinginan mengejar prestasi demi kepentingan diri sendiri atau karena tekanan berbagai pihak.

Saya kira cita-cita Neill perlu kita lanjutkan. Siapa yang tidak bahagia melihat wajah-wajah anak bangsa ini bersinar terang? Saya kira kebahagiaan anak adalah kebahagiaan kita semua. Kebahagiaan anak berarti harapan akan masa depan yang bisa jadi lebih bahagia lagi.

Selasa, 26 Juni 2007

Presiden Turun Gunung


27 Juni 2007

Ada dua berita soal Presiden SBY yang menarik perhatian saya hari ini. Pertama, soal Presiden berkantor di Sidoarjo; kedua, Presiden akan meresmikan rel ganda Tanah Abang-Serpong. Menurut saya, kedua peristiwa itu memiliki benang merah; soal apa yang bisa dilihat dan tidak bisa dilihat seorang Presiden.

Yang pertama, yang kemudian diistilahkan sebagai 'turun gunung'. Setelah mendengar paparan para korban Lapindo di Cikeas beberapa hari lalu SBY merasa harus datang dan melihat sendiri kehidupan di Sidoarjo. Bahkan, menurut kabar, SBY menangis mendengar derita para korban. Saking empatinya, SBY kemudian mengemasi barang-barangnya dan berangkatlah ia ke Sidoarjo dan berniatkan untuk berkantor di Surabaya. SBY memilih mes perwira Angkatan Laut yang menurut media dijaga superketat. SBY datang dengan serombongan pejabat elite. Kemarin, SBY memang meninjau lokasi, tapi dengan menggunakan helikopter. Menurut KoranTempo (27/7) kegiatan SBY ini diprotes korban Lapindo karena yang diinginkan adalah SBY menengok langsung ke lokasi. Dan ketika helikopter mendarat, hanya terlihat sekerumunan warga Porong menyambut. Yang lainnya lebih memilih nonton lomba karaoke dangdut yang diadakan Kepolisian Resor Sidoarjo. Penduduk yang diwawancara KoranTempo mengungkapkan kekecewaannya "Percuma, paling cuma janji doang". Yang lainnya mengungkapkan kalimat senada, "Sudah banyak pejabat datang cuma tebar pesona".

Itu tadi soal peristiwa pertama.

Yang kedua, adalah rencana peresmian rel ganda Tanah Abang-Serpong. Sudah sejak kemarin
Kompas memuat berita tentang derita para penghuni gubuk liar di sekitar rel yang terpaksa mengungsi karena gubuk mereka dibongkar tramtib. Hari ini, Kompas memuat lagi sekilas tentang satu malam yang mereka lewatkan beratapkan langit. Seorang anak kecil nampak tak bisa tidur tenang karena digigit nyamuk. Ya, Presiden mau lewat sehingga pinggiran rel harus bersih dan rapi.

Dari dua peristiwa tadi, persamaannya adalah soal apa yang terjadi ketika Presiden berada di tengah rakyat. Saat ketika Presiden turun gunung. Yang pertama untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya. Untuk menyaksikan penderitaan rakyatnya yang tertimpa bencana. Pemerintah pun memfasilitasi dengan menyediakan helikopter agar Presiden bisa melihat lebih jelas.

Sementara yang kedua, untuk melihat apa yang sebenarnya tidak terjadi. Presiden akan melewati jalur kereta yang terletak di lokasi kumuh. Pemerintah memfasilitasi perjalanan dengan cara menggusur hunian liar agar Presiden tak melihat betapa kumuhnya daerah sekitar stasiun Tanah Abang.

Paradoks.

Apa yang ingin dilihat? Penderitaan macam apa yang ingin dirasakan Presiden? Siapa sebenarnya yang berhak menentukan apa yang bisa dilihat dan apa yang tidak bisa dilihat seorang Presiden? Barangkali memang bukan salah sang Presiden semata. Saya kok cenderung menuduh pada sekelompok invisible hands dengan mata licik dan terus mengikik jika sedang merencakan sesuatu (tiba-tiba mengingatkan saya pada tokoh coyote jahat di film-film kartun dengan matanya yang merah menyala licik). Gerombolan ini ada di hampir setiap pemerintahan. Penuh tipu muslihat, haus kekuasaan dan pemburu materiil.

Di jaman Orde Baru, pemerintah pernah membuat program kunjungan mendadak, yang biasa disebut sidak (saya lupa apa kepanjangannya). Sampai sekarang program ini cukup efektif untuk melihat penyimpangan yang terjadi di lapangan. Biasanya dilakukan sesudah libur panjang untuk melihat apakah para pegawai negeri mematuhi tanggal masuk kantor, atau di pasar melalui 'operasi pasar' untuk melihat harga riil komoditas tertentu di pasar tradisional.

Namun, hanya sebatas itu. Kegiatan berkunjung secara mendadak nampaknya hanya terbatas pada apakah suatu peraturan dipatuhi ataukah tidak. Kunjungan mendadak ini juga belum mampu membuka mata para pejabat soal penderitaan rakyat yang sebenarnya.

Saya gemas. Saya berharap para pejabat itu benar-benar turun ke jalan. Merasakan sengat matahari dan semburan debu.

Senin, 25 Juni 2007

Buku Pin Yathay


26 Juni 2007

Kemarin saya datang ke acara peluncuran buku di Bentara Budaya. Buku ini ditulis oleh Pin Yathay, seorang insinyur Kamboja yang berhasil lolos dari rezim Khmer Merah di tahun 1976. Buku berjudul Pertahankan Hidupmu Anakku ini berisi pengalaman pribadi Pin, juga buku kedua setelah sebelumnya ia meluncurkan L'Utopie Meurtriere (Utopi Berdarah) yang ditulis dalam bahasa Perancis. Kedua bukunya sama-sama mengungkapkan suasana mencekam di Kamboja. Setidaknya itu yang dituliskan oleh David Chandler dalam kutipan pengantar buku keduanya.

Saya sendiri belum membaca, saya kira kemarin saya dapat gratis buku itu dan ternyata tidak. Mau beli tidak cukup uang. Meski sudah didiskon. Ya sudah lain kali saja.

Yang menarik adalah acara diskusinya. Pembicaranya Hilmar Farid seorang sejahrawan muda yang cerdas dan Mugiyanto dari IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang). Mugiyanto merasakan peristiwa Pin sama dengan apa yang terjadi di Indonesia yaitu mengenai penghilangan paksa. Orang-orang Kamboja yang menolak Khmer Merah di bawa ke hutan dan kemudian tidak diketahui bagaimana nasibnya. Menurut Farid, penghilangan paksa ini menimbulkan efek teror yang lebih mengerikan dibanding dengan peristiwa di Rwanda dimana tentara membunuh warga secara demonstratif di jalanan.

Saya kok tidak begitu sependapat, bagi saya dua-duanya sama-sama mengerikan. Bedanya yang pertama saya melihat langsung, misalnya saudara saya dipancung di depan mata kepala saya sendiri. Saya tidak yakin apakah di lain hari saya masih menjadi manusia normal? Saya kira peristiwa itu teramat menyakitkan. Menimbulkan trauma yang luar biasa. Dan, bagaimana jika saya kehilangan saudara saya yang sampai sekarang saya tidak tahu kemana rimbanya? Negatifnya saya bisa menjadi pemurung karena hanya memikirkan nasibnya, imajinasi saya bisa kemana-mana, barangkali saudara saya dibunuh dengan kejam, atau langsung didor, ataukah disiksa terlebih dahulu? Jika disiksa, bagaimana bentuk penyiksaannya? Sungguh mengerikan. Positifnya, ya kalau itu bisa disebut positif, saya masih diperbolehkan berharap bahwa saudara saya masih hidup, bisa selamat dan sekarang hidup wajar. Mungkin kami akan bertemu kembali atau mungkin tidak.

Kedua-duanya sama-sama menyedihkan dan mengerikan, menurut saya.

Di tengah diskusi, ada seorang penanya yang mengkritik rakyat Kamboja itu penakut, kenapa tidak berani memberontak waktu itu? Heh..menurut saya ini kritik keterlaluan! Teganya dia berkata seperti itu. Kedua pembicara berusaha membela Pin. Mugiyanto mengatakan bahwa adakalanya seseorang berada pada situasi yang memang tidak bisa melawan. Sementara Farid mengatakan bahwa ketika itu yang terjadi adalah atomisasi. Berusaha menyelamatkan diri sendiri karena situasi memang kacau. Upaya untuk menegakkan solidaritas dan kebersamaan telah dimatikan oleh Khmer Merah.

Buat saya, tetep si bapak penanya itu yang keterlaluan dan tidak punya empati. Sudah dijawab, eh dia masih ngeyel. Pertanyaan yang sama dilontarkan dua kali.

Yang menarik adalah kalimat Farid di penghujung diskusi. Ia mengatakan bahwa meskipun banyak museum dan tugu peringatan dibangun, data dan dokumentasi dikumpulkan, dan pengadilan digelar; tetap saja tanggul dan sawah lah yang menjadi locus horribilis sesungguhnya - masih tetap menjadi bagian hidup sehari-hari. Imaji kengerian tetap membayang dan menghantui betapa pun orang memilih untuk tidak mengingatnya lagi.

Saya sepakat dengan ini. Seperti kalimat pembuka dalam film Osama (tentang kekejaman Taliban di Afganistan) yang saya tonton beberapa waktu lalu ada kutipan Nelson Mandela:
I can forgive, but not forget.


Rabu, 20 Juni 2007

Cawan kita pecah dan sudah tidak ada lagi

21 Juni 2007

Judul blog ini saya kutip dari hasil wawancara Ruth Benedict, tokoh antropologi budaya yang sudah almarhum yang diterbitkan dalam bukunya yang terkenal Patterns of Culture (1934). Wanita cantik ini melakukan wawancara dengan seorang kepala-suku Indian-Penggali bernama Ramon untuk mencari tahu mengenai adat kebiasaan suku Indian-Penggali.

Ramon beragama Kristen yang juga dikenal sebagai ahli penanam pohon persik dan tanaman abrikos (rosaceae). Ramon sangat suka bercerita soal makanan yang diolah dari tanaman gurun yang dipetik dengan kasih sayang karena menyadari pentingnya keberadaan tanaman itu bagi sukunya. Ramon sangat tidak menyukai makanan dalam kaleng yang kini dengan mudah dapat diperoleh di tukang daging karena dianggap memerosotkan tabiat bangsanya.

Pada suatu hari, Ramon tiba-tiba menghentikan ceritanya tentang cara melembutkan mesquite (semacam kacang) dan cara membuat sop biji pohon oak. Kemudian berkatalah ia tanpa ada perubahan tekanan suara: "Mula-mula Tuhan memberi sebuah cawan, cawan dari tanah, kepada setiap bangsa. Dan dari cawan tersebut mereka minum hidupnya. Mereka mencobai air itu. Akan tetapi cawannya tidak sama. Cawan kita sekarang pecah. Cawan itu sudah tidak ada lagi".

Ruth menerjemahkan kalimat-kalimat Ramon ini sebagai berikut: Hal-hal yang memberi makna kepada hidup Indian-Penggali, tatacara makan di rumah, kewajiban-kewajiban berdasarkan sistem ekonominya, serangkaian upacara di dusun, saat kerasukan ketika melakukan tarian-tarian beruang, norma tentang baik dan buruk - semuanya telah hilang dan hilanglah pula bentuk dan makna hidup mereka.

Menurut Ruth, Ramon barangkali tak bermaksud mengatakan bahwa bangsanya telah musnah. hanya saja dalam pikirannya terbayang kehilangan sesuatu yang sama nilainya dengan hidup itu sendiri; yakni keseluruhan dari norma-norma dan kepercayaan bangsanya. Memang, tulis ruth, masih ada cawan-cawan lain yang berisi air hidup dan mungkin airnya sama saja, akan tetapi apa yang telah terjadi itu tak bisa dibetulkan lagi. Kita tak bisa menambah sepotong di sini dan mengurangi sepotong di sana. Bentuknya hakiki, satu dan tak bisa dipecah-pecah. Dan, lagi cawan itu adalah cawan mereka sendiri.

Ini adalah soal keprihatinan generasi sebelumnya terhadap kehidupan masa kini. Keprihatinan akan hilangnya kebudayaan yang selama ini dijunjung tinggi, terkikis oleh kebudayaan baru. Oleh apa yang generasi sekarang sebut sebagai modernisasi. Menjadi modern bila mengkonsumsi makanan kaleng yang mungkin dirasa lebih praktis ketimbang mencari tanaman di gurun.

Peristiwa ini menurut saya sangat mungkin akan terus terulang. Satu kebudayaan bisa tergerus oleh kebudayaan yang baru. Keprihatinan demi keprihatinan akan terus bermunculan. Saya pun mulai merasakan hal yang sama. Umur mulai beranjak, anak saya sudah lahir, zaman bergulir, banyak perubahan di sekitar saya. Terkadang, saya kangen masa lalu. Kangen makanan tradisional yang makin jarang dijumpai macam gerontol (jagung rebus yang ditaburi gula dan parutan kelapa), pecel keong mas, cui (ini saya tidak tahu dari apa, tapi bentuknya seperti jongkong dan warnanya oranye). Saya juga kangen mainan gudir (semacam agar-agar tapi tidak bisa dimakan) yang harus dibikin sendiri dari buah (saya lupa namanya tapi persis seperti buah flamboyan yang sudah hitam, kulitnya lah yang diperas-peras di air kemudian disaring, air saringannya didiamkan sebentar dan jadi persis seperti agar-agar).

Jaman sekarang mainan anak-anak instan semuanya. Beberapa mainan anak laki yang ingin saya ajarkan pada anak saya sulit dicari. Senang rasanya masih bisa lihat mainan tradisional itu dari serial si Bolang di teve 7. Ada meriam bumbung yang terbuat dari bambu besar yang kemudian direkayasa sedemikian rupa jadi meriam. Atau main tulup pake peluru karuk (kuncup bunga jambu), atau kertas atau lempung. Tulupnya dibuat dari bambu kecil. Tapi nyatanya anak saya lebih tertarik pada kabel listrik, pada cd, dan pada komputer.

Saya berusaha memperkenalkan anak saya pada alam. Saya ajak dia berkebun, saya ajak ke kebun raya, saya perlihatkan film-film David Attenborough. Saya biasakan dia nonton si Bolang. Nyatanya dia lebih tertarik pada serial si Unyil yang berkunjung ke pabrik-pabrik. Tadi pagi saya perlihatkan film David Attenborough tentang tanaman dan serangga, tapi cuma sebentar kemudian dia tinggal.

Soal musik. Karena saya penyuka jazz, saya belikan kaset "jazz for kids" untuk anak saya. Tidak semua dia suka, tapi anak saya sangat menyukai kaset spirogyra "love and other obsession", juga dia menyukai lagu-lagu klasik karena saya belikan khusus untuk dia, "classics for babies". Sekarang anak saya memang jadi suka menyanyi, tapi favoritnya adalah lagu bertempo cepat macam lagu ska tip-ex dan lagunya project pop yang terbaru (saya lupa judulnya metal vs....). Beberapa lagu pop dia juga suka. Nonton MTV Ampuh adalah kegemarannya.

Saya sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi ya..tidak semuanya diterima. Mungkin inilah pergeseran generasi. Saya punya keinginan agar ada yang bisa ditularkan, ada kebiasaan yang bisa saya wariskan ke anak saya. Tapi saya harus merelakan mereka menyaringnya. Barangkali mereka hanya akan sekadar tahu atau barangkali mereka akan memodifikasinya sesuai kebutuhan jamannya. Dan yang lama kemudian menjadi sejarah.

Selasa, 19 Juni 2007

Menjadi Sosial

20 Juni 1997

Semenjak saya tidak punya mobil, andalan saya adalan angkutan kota. Tapi ada banyak hal yang bisa saya pelajar dari berkendara dengan fasilitas publik ini. Terutama adalah bahwa pengalaman ini mengusik rasa sosial saya.

Pertama,
saya merasa lebih menghargai uang. Bayangkan saja hanya dengan 2000 perak saya bisa melakukan mobilitas berkilo-kilometer jauhnya. Atau bahkan dengan 1500 perak -jika naik KRL ekonomi-, bahkan bisa lebih jauh lagi. Bandingkan dengan jika saya membawa mobil sendiri. Uang "segitu" rasanya tidak banyak berarti, buat parkir saja tidak cukup. Buat beli bensin, jaman sekarang minimal 25ribu perak. Pengalaman ini membuat saya kemudian belajar menyimpan uang dengan hati-hati dan lebih cermat. Seringkali koin-koin 500perak dan uang seribu bertebaran di rumah, entah di atas kulkas, di atas meja, di jendela, atau di atas rak. Kadang ketika saya hitung jumlah koin-koin itu jumlahnya bisa sekitar 5rb-an. Jika dihitung sebagai biaya perjalanan, wah, saya bisa melakukan mobilitas yang lumayan jauhnya. Dengan asumsi, pilihan angkot adalah moda transportasi massal berkelas ekonomi.

Kedua, saya melihat lebih banyak dan menjadi tahu lebih banyak. Mengapa begitu? Saya termasuk warga negara yang tidak alergi dengan berbagai macam jenis moda transportasi. Naik apapun hayo. Hampir semua pernah saya rasakan dari yang jenis taksi (untuk yang ini saya pilih merek demi keamanan- yaitu express atau bluebird), KRL (ekonomi dan ac), bis (bis kota reguler, patas non-ac, patas ac, feeder busway, busway), roda tiga (bajaj diesel, bajaj bensin/gas, bemo) hingga roda dua (ojek). Satu yang belum pernah saya nikmati yaitu kapal dari moda transportasi waterway karena masih sangat baru, tapi suatu saat saya ingin juga mencoba. O, ya monorail juga sebentar lagi akan jadi. Yang satu ini membuat saya tak sabar menunggu.
Kembali ke soal kita, menggunakan transportasi umum berarti membuat kita lebur ke dalam masyarakat, kita menjadi masyarakat kebanyakan. Banyak sekali yang sudah saya lihat, dan membuat saya tersadar bahwa Indonesia ini masih sangat perlu berbenah. Maksud saya adalah pembangunan buat mereka yang terpinggirkan. Saya tuliskan disini jenis mereka yang terpinggirkan itu seturut yang saya lihat di sepanjang perjalanan.

1. pengemis; ada yang dengan luka nanah berbau busuk menyengat, ada yang bawa bayi dengan payudara menjuntai, ada perempuan bawa bayi tapi dengan susu botol atau cuma diisi air (barangkali bayi pinjaman), ada perempuan gemuk dan tegap yang gandeng laki-laki buta (barangkali suaminya atau sekadar sebagai alat), ada anak umur sekitar 5 atau 6 th yang bawa-bawa patahan sapu sekadar bersih-bersih kereta, ada juga abg cowok yang nggak ngomong apa-apa tapi langsung nyodorin tangan minta uang, juga ada yang ngaku-aku habis lepas dari penjara dan butuh uang, ada juga yang ngaku bapaknya lagi di rumah sakit dan perlu operasi.

2. pengamen; ada pengamen puisi, pengamen cerita anak (saya salut juga, kok ya darimana idenya bacain cerita dari selembar kertas lusuh kalau nggak salah tentang semar gareng petruk dan si kuncung), pengamen lagu (dari lagu jawa, sunda (kalau yang bagus suaranya bikin ngantuk), betawi, pop, dangdut, keroncongan, rohani-bisa kristen, bisa islam). Favorit saya adalah rombongan pengamen yang mangkal di pasar serpong. Mereka membawa peralatan komplit, biola, gendang, dan gitar. Lagu-lagunya biasanya dangdut punya Roma Irama yang dinyanyikan hanya sekali tapi sangat rapi pembawaannya - sepertinya mereka sering berlatih. Kabarnya mereka anak-anak dari sanggar akar yang bermarkas di Tangerang.

3. peminta sumbangan; untuk pembangunan mesjid atau sekolah anak yatim piatu dengan modal kotak kayu, amplop, atau fotokopian yang sudah lusuh.

Barangkali bagi banyak pengguna transportasi umum lainnya, apa yang saya lihat ini adalah pemandangan biasa. Dan, memang itulah yang lama-lama saya rasakan. Saya menjadi terbiasa. Karena menjadi terbiasa kemudian saya tidak memikirkannya lagi. Sepanjang perjalanan melakukan aktivitas ringan-baca buku, merajut, melamun, memikirkan ide-ide baru, bersenandung. Jika berangkat kerja saya memikirkan apa yang akan saya lakukan nanti di kantor, jika pulang kerja saya akan memikirkan anak saya yang sedang menunggu di rumah. Terkadang saya memang mencari-cari ide baru atau gagasan-gagasan yang kiranya bisa dituangkan jadi tulisan atau jadi bahan penelitian. Yang tentunya harapan saya adalah akan menambah pemasukan. Yang kemudian direncanakan adalah saya akan membeli sesuatu dari uang itu atau melakukan sesuatu seperti liburan atau sekadar mengajak anak saya jalan-jalan.

Apakah saya terpikir untuk melakukan sesuatu untuk mereka yang saya tulis tadi?
Tentu saja tidak! Saya akan berpikir bahwa saya ini hanyalah warga negara biasa yang tidak pada tempatnya memikirkan hal itu. toh, ada Dinas Sosial, toh ada pemerintah daerah, toh, ada tramtib yang seharusnya memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mereka.

Saya ingat ada seorang pengusaha kerajinan Yogya yang mendirikan semacam yayasan untuk menampung anak-anak yang dia temui di setiap perempatan jalan. Ide itu muncul setelah ia pulang dari Jerman dan terkaget-kaget melihat banyaknya anak jalanan di Yogya. Ia kemudian menampung mereka dan memberi pelatihan berbagai kerajinan tangan. Pendapatan dari penjualan itu digunakan untuk membiayai hidup mereka. Panti tempat menampung anak-anak jalanan itu terletak di belakang rumah utama. Jaraknya hanya lima meter saja. Mirip seperti panti asuhan lainnya, isinya tempat tidur susun berderet rapi. Tak jauh dari bangunan itu ada bengkel kerja. Isinya sedikit berantakan, ada berbagai barang kerajinan di sana baik yang sudah selesai maupun yang masih dalam proses. Kebanyakan adalah barang-barang dari tanah liat yang kemudian diberi modifikasi. Nampak pula beberapa tukang yang tengah menyelesaikan bangunan baru - rupanya akan ada perluasan karena bangunan yang lama dirasa kurang besar untuk menampung anak-anak yang jumlahnya makin bertambah.

Saya ketika itu hanyalah staf redaksi yunior dari sebuah terbitan berkala untuk kalangan sendiri yang diberi tugas untuk membuat tulisan tentang anak yang terbuang. Seingat saya, saya datang tiga kali ke sana. Pertama untuk janjian wawancara, kedua untuk bertemu dengan anak-anak, dan ketiga saya lupa untuk apa, barangkali untuk menyerahkan hasil tulisan atau untuk bertemu isterinya. Isterinya seorang Jerman yang tengah hamil tua. Wajahnya nampak muram, kusut dan terlihat letih.

Usai wawancara saya duduk sebentar di teras belakang untuk menikmati secangkir teh dan hidangan ala kadarnya. Sang isteri menemani saya karena suaminya sedang tak di rumah. Tanpa saya duga, ia menawari saya pekerjaan sebagai staf yayasan. Ia menceritakan bahwa pekerjaan di rumah sungguh banyak, dari mengurus tukang hingga anak-anak. Ia harus memasak untuk mereka dan mengecek sekiranya ada yang diperlukan. Selain itu ia juga harus mengurus soal pendanaan dari luar negeri. Semua ia urus sendiri, sementara suami sibuk bepergian untuk memasarkan produk kerajinan. Dengan kondisi hamil tua, saya bisa memaklumi keluhannya.

Begitulah, ia menawari pekerjaan sebagai staf di yayasan tersebut dengan gaji 30rb sebulan. Ketika itu memang saya belum memiliki pekerjaan tetap, kerja di majalah internal ini cuma sebulan sekali dengan bayaran ala kadarnya. Saya sempat bimbang, tapi di tahun-tahun itu gaji fresh graduate macam saya seharusnya 400-500ribu sebulan. Gaji yang ditawarkan jauuuuh lebih sedikit, meskipun saya paham ini kerja sosial. Saya mempertimbangkan juga soal lokasi yang lumayan jauh dari rumah. Aduuh, dengan halus saya menolak. Ketika itu saya benar-benar mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan pemasukan yang lumayan karena saya ingin membantu keluarga.

Selang sekitar satu bulan dari hari itu saya dikejutkan oleh berita di koran lokal. Isteri pengusaha itu bunuh diri pagi hari di kamar mandi dengan cara minum baygon. Perasaan saya kacau. Sungguh, saya merasa menjadi bagian dari peristiwa itu. Ada perasaan bersalah dalam hati saya. Seandainya saya menerima tawaran itu barangkali kejadian itu tidak akan pernah terjadi. Atau seandainya saya sekadar membantu untuk sementara sambil saya cari kerjaan, kan bisa meringankan beban pikirannya?

Sampai sekarang kejadian ini masih terus melekat di benak saya. Ironi menurut saya. Ini pengalaman yang menurut saya orang harus mampu membantu dirinya sendiri jika berniat membantu orang lain. Idealisme yang muncul kurang diimbangi dengan kemampuan materiil. Memang sih ada satu dua orang yang mampu membantu orang lain hingga mengesampingkan dirinya sendiri. Kebanyakan mereka yang berkegiatan di bidang sosial adalah orang-orang yang mampu. Setidaknya ini berdasarkan pengalaman saya mengamati perilaku teman-teman. Mereka yang aktif di LSM ataupun organisasi non-profit lainnya adalah mereka yang berasal dari keluarga mampu. Atau setidaknya memiliki materi yang cukup untuk menyokong kegiatan sosialnya. Para tokoh LSM rata-rata memiliki gaya hidup yang khas. Terkadang dari sekadar penampilan fisik saja sudah terlihat.

Bagaimana dengan saya sendiri? Saya memang lebih nyaman bekerja di organisasi non-profit. Tapi saya tidak memiliki kecukupan materi untuk mendukung kinerja saya menjadi optimal. Pergerakan saya terbatas karena saya tidak punya moda transportasi sendiri. Juga karena saya perempuan yang sudah beranak. Jika menggunakan fasilitas umum, tentunya taksi jadi pilihan jika hari sudah terlalu malam. Tapi untuk naik taksi jika sering-sering, jelas tidak mampu saya. Bisa-bisa susu anak jadi tidak terbeli. Sekarang saja saya merasa kewalahan karena sering nombok pengeluaran kantor.

Ironi lagi. Saya merasa ingin melakukan sesuatu untuk mereka yang saya lihat di sepanjang perjalanan. Tapi saya tidak mampu. Saya gemas dengan pemerintah, gemas dengan koruptor. Seharusnya dana untuk membuat mereka hidup lebih nyaman itu ada. Dana yang bukan sekadar kado sinterklas, tapi yang membuat mereka menjadi sosok manusia yang mandiri dan eksis di masyarakat. Tiba-tiba saya jadi ingat diskusi saya ketika SMA. Di hari peringatan 17 Agustus 1986 itu saya memberi judul makalah presentasi dengan "Satu Kata Merdeka buat Mereka". Yang dimaksud mereka di sini memang adalah kelompok marjinal ya salah satunya adalah mereka yang saya sebut di awal tadi.

Dan sampai kini pun judul makalah itu masih patut saya pertanyakan sendiri, apakah mereka itu sudah menikmati kata merdeka? Sudah mengecap pembangunan? Sudah menjadi bagian dari pembangunan?

hidup sederhana

19 Juni 2007

Ada situs menarik di internet. Namanya New American Dream. Ini gerakan moral; ajakan agar masyarakat memiliki gaya hidup sederhana, tidak konsumtif serta menjaga kelestarian alam. Misinya: membantu masyarakat Amerika agar bertanggung jawab dalam melakukan konsumsi secara bertanggung jawab demi melindungi lingkungan, meningkatkan kualitas hidup, dan mempromosikan keadilan sosial.

Gerakan ini memang ditujukan bagi masyarakat Amrik - sesuai dengan namanya. Mereka memimpikan masyarakat Amerika yang bergaya hidup sederhana dan tidak materialistik. Gerakan ini berasumsi bahwa apapun yang kita lakukan memiliki dampak. Tugas kita adalah mengakali agar dampak tersebut selalu positif. Tiga motto yang mereka promosikan adalah:

1. Living consciously; means getting more of what really matters in life, being aware of what’s going on around you, finding balance, and having a little fun while you’re at it;

2. Buying wisely; means becoming a positive force in the marketplace, using your purchasing power to support business practices that are safer for the environment and better for people;

3. Making a difference; is all about making sure your citizen voices are heard, being active in your community and letting policymakers know where YOU stand.

Bukannya saya mau mempromosikan mereka, tapi memang ide dan konsep mereka menarik dan perlu untuk kita simak. Bahkan saya berpikir untuk membuat gerakan serupa di Indonesia.

Sebagai seorang ibu saya mulai cemas dengan apa yang ditawarkan pasar kepada anak saya, juga mulai mencemaskan pada bagaimana pasar dan gaya hidup masyarakat masa kini mempengaruhi anak saya.

Coba saja kita perhatikan ada berapa iklan dalam jeda sebuah acara anak di televisi. Iklan-iklan itu digarap dengan profesional dan memang membuat produk yang ditawarkan menjadi menarik dan sangat menggoda. Seringkali anak saya kemudian berkata, "Ibu beli yang itu, dong".

Saya sering merasa kesulitan juga untuk menjelaskan pada anak saya ketika teman-teman anak saya datang ke rumah hanya untuk pamer barang yang baru. Budaya pamer ini benar-benar memuakkan. Saya sendiri heran, apa orang tuanya nggak memberi nasihat? Atau justru orang tuanya yang bangga karena mampu membelikan barang istimewa buat anaknya? Saya terus terang tidak suka lagu anak-anak yang isinya soal pamer sepatu baru atau baju baru atau sepeda baru ke teman-temannya. Lagu itu tidak mendidik menurut saya, meskipun lagu itu ciptaan ibu Sud atau pak AT Mahmud (yang mana saya lupa). Mohon maaf. Bayangkan saja, ketika saya sedang tidak punya uang kemudian teman anak saya datang dan pamer barang baru, selanjutnya anak saya masuk dan minta dibelikan barang yang sama. Aduh, jengkel sekali saya. Ya jengkel sama teman anak saya, ya sama orang tuanya. Juga soal barang-barang di rumah, anak saya beberapa kali minta dibelikan tv yang besar dan mobil.

Gerakan hidup sederhana ini sungguh patut kita tiru. Saya punya cita-cita untuk membangun gerakan serupa di Indonesia.