Sabtu, 29 Agustus 2009

Ephoria Ramadhan

29 Agustus 2009

Ini bulan ramadhan. Seperti biasa abang sayur langganan mulai jualan bahan-bahan masakan khas bulan ramdhan. Biarpun aku bukan muslim, kok rasanya gak asyik ya kalo gak ikutan bikin. Biasanya seperti tahun-tahun lalu aku kasih buat satpam sama nyediain buat suster yang jaga anak. Nah, tahun ini bikin apa ya? Pikir punya pikir aku bikin manisan kolang kaling, kolak, sama hungkwe marmer. Kalo yang terakhir ini sebenarnya hasrat hati yang paling dalam. Udah lama gak bikin sih. Nah, berikut ini satu persatu masakan yang aku buat:


1. Manisan kolang kaling.
Ini gampang bikinnya tapi butuh ketekunan. Soale satu minggu. Cuma air sama gula direbus bareng sampai mendidih. Setelahnya kolang-kalingnya direndem seharian. Besoknya airnya dipisahin dari kolang-kalingnya, terus airnya direbus sampai mendidih. Sesudahnya, proses yang sama diulang sampai satu minggu. Terakhir direbus bareng sama kolang-kalingnya. Kasih pewarna makanan. Diemin sampai adem, baru masuk kulkas.



2. Hungkwe Marmer
Gampang banget dan cepet. Perbandingannya ikutin yang tertulis di kertas pembungkus. Aku beli yang Cap Boenga. Yang dibungkus pake kertas, padet banget bungkusnya. Harganya mahal, 11.000 perak. Ada juga yang harganya lebih murah, tapi kata yang jual kualitasnya gak sebagus yang Cap Boenga itu. Perbandingan tepung:gula:hungkwe = 1:2:6. Cara bikinnya gampang banget. Pertama tepung hungkwe dicampur gula, sisihkan. Terus santan kara diencerin pake air aqua. Sesudahnya masukkan tepung campur gula ke santan encer. Aduk hingga rata, baru kemudian dimasak pake air kecil aja. Kalo ada daun pandan boleh dipake buat pengharum. Sambil masak, terus aduk pake sendok kayu panjang biar gak panas sampai mendidih dan tercampur semuanya. Angkat dan ambil sedikit adonan, sisihkan. Sementara yang di panci langsung tuang ke cetakan. Nah, adonan yang sedikit itu dikasih coklat bubuk yang udah diencerin. Aduk-aduk hingga campur coklatnya. Adonan coklat inilah yang dicampur ke atas adonan di cetakan. Diputer-puter pake spatula biar memberi efek marmer. Dinginkan dan masukkan kulkas. Selesai dah.

3. Kolak. Ah, ini mah semua ibu-ibu juga pada bisa, ya toh? Gampang kok. Pertama, rebus ubi sampai empuk. Terus masukkan kolang-kaling yang sudah diiris-iris kecil, masukkan juga daun pandan. Sebentar kemudian baru tuang santan dan kayu manis. Kalau ubi sudah empuk masukkan gula jawa dan pisang. Beri sedikit garam untuk membuat rasa kolak lebih mantap. Tunggu sampai pisang matang. Nah, selesai lah kolak kita.

Minggu, 21 Juni 2009

nonton bioskop


Hari ini jadi pengalaman kedua buat Bintang nonton film di bioskop. Yang pertama, ia aku ajak nonton film Laskar Pelangi. Ini kali judulnya Garuda di Dadaku. Tema-tema yang disajikan pas dengan karakter anak cowok. Aku merasa bersyukur dengan situasi perfilman sekarang. Pas punya anak cowok, pas film anak sedang booming. Sebentar lagi ada film King. Aku sudah janjikan Bintang untuk nonton lagi.

Jaman aku kecil dulu, film yang aku tonton film orang dewasa. Pertamakali nonton malah Al Capone. Diajak ibu. Tentang apa? Lupa sama sekali. Aku hanya ingat diajak ke gedung bioskop. Umurku mungkin masih 5 tahunan. Berikutnya film-film religius macam the Moses sama film kisah Yesus, aku lupa judulnya. Aku cuma ingat merem pas adegan penyaliban. O ya, waktu itu juga ada film Chicha. Satu-satunya film anak-anak. Lantas mulai gelombang film anak-anak dari Hollywood. Aku lupa judulnya, tapi beberapa kali diajak kakak nonton. Film-film itu biasanya diputar bulan Desember, pas hari libur sekolah (jaman Daoed Joesoef) bareng sama Natal. Jadi tema-temanya Natal.

Film anak Indonesia? jarang sekali. O ya, aku ingat ada yang judulnya Nakalnya Anak-anak. Tapi meski jaman dulu jarang ada film anak, banyak kaset cerita anak beredar. Misalnya yang dari sanggar prativi. Seingatku aku punya beberapa kaset cerita seperti itu. Setiap kali diputar di mobil. Aku sampai hafal ceritanya. Sambil mendengarkan sambil membayangkan adegan per adegan.

Film Indonesia lantas ambruk. Sempat diisi dengan tema sex melulu. Lantas mulai tema horor. Jaman sekarang lebih variatif. Tapi yang paling membuat aku bersyukur adalah mulai booming film anak. Pas aku udah punya anak pula.

Meski anakku masih proses pembelajaran, tapi yaa dia mulai menikmati lah. Kali pertama nonton dia masih sibuk mengamati lampu-lampu di anak tangga. Lantas tengok-tengok ke belakang. Tapi pengalaman nonton Laskar Pelangi membuat dia jadi merasa gaul. Dia cerita di sekolah beberapa anak di kelasnya juga nonton. Bahkan mereka sama-sama nyanyi Laskar Pelangi di depan kelas. Hm...baiklah..aku bersyukur mampu ngajak dia nonton. Aku bayangkan bagaimana rasanya anak-anak lain yang tidak nonton ya? Barangkali karena ortunya sibuk atau apa. Yang kali ini anakku cerita kalau temannya sudah nonton Garuda di Dadaku lebih dulu. Wah, bukannya gak mau kalah bersaing. Tapi memang nonton film ini sudah diagendakan, cuma tinggal cari jadwal hari aja. Dan..baru bisa tadi siang. Kemarin Sabtu sebenarnya sudah dijadwal, eh ada kawan yang meninggal. Pas malamnya rencana mau nonton jam 7, udah kehabisan tiket. Akhirnya tadi pagi jam 10.30 udah buru-buru ke bioskop. Belum buka. Tapi yang antri udah mulai banyak. Beruntung kami dapat nomor kursi bagus. D7 dan D8.

Menurutku sih, film Garuda di Dadaku lebih bagus dibandingkan Laskar Pelangi. Lebih mantap karena lebih fokus ceritanya. Tentang seorang anak laki-laki umur 12 tahun yang sangat suka sepak bola, sementara kakeknya ingin ia jadi seniman. Dengan berbagai upaya dan bantuan sahabat-sahabatnya ia pun berhasil lolos menjadi tim nasional sepak bola. Sederhana ceritanya, tapi dikemas dengan baik. Soundtrack-nya juga bagus. Buat aku ini film bagus dan mendidik. Sebagai ibu, sekali lagi, aku bersyukur ada film seperti ini. Bravo film Indonesia. Terima kasih para sineas yang telah membuat film Garuda di Dadaku!

Senin, 01 Juni 2009

Gelar Doktor untuk Gunawan Wiradi


28 Mei 2009

Akhirnya jadi juga penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk Gunawan Wiradi. Kami biasa menyebutnya hanya GWR saja. Beberapa bulan lalu aku sudah mendengar kabarnya. Seorang teman yang memang menjadi salah satu tokoh di balik acara penganugerahan itu sempat meminta bantuan untuk editing. Tentu saja aku bersedia. Tapi bantuanku tak jadi diperlukan karena sudah ada yang menangani. Tak apalah. Diundang untuk ikut menyaksikan dan memeriahkan acara penganugerahannya saja sudah menjadi satu kehormatan tersendiri buatku.

Acara penganugerahan gelar ini berlangsung khidmat, sederhana, dan rapi. Panitia mengaturnya dengan sangat baik. O ya, acara ini diselenggarakan di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Gedung Rektorat IPB, Dramaga, Bogor. Yang aneh adalah sambutan dari Ketua Senat Akademik. Pada paragraf pertama disebut mengenai awal surat permohonan agar IPB memberikan gelar Doktor HC. Kalimat berikutnya menurutku janggal karena berbunyi seperti ini: "...banyak yang bertanya-tanya siapa gerangan beluau dan apa sesungguhnya kiprah beliau di bidang keilmuan. Pertanyaan tersebut amat wajar karena Gunawan Wiradi bukan merupakan sosok pejabat, selebritis atau pengusaha yang banyak dikenal oleh publik..."

Aku bertanya-tanya siapa kira-kira yang dimaksud dengan "banyak yang bertanya-tanya" itu? Apakah anggota Senat Akademik? Kalimat berikutnya seolah menyatakan bahwa mereka yang "banyak bertanya" itu hanya mengenal pejabat, selebritis, dan pengusaha. Aneh kan? Sungguh aku tidak setuju dengan kalimat itu.

Seorang teman yang aku ajak diskusi tentang hal ini mengatakan bahwa kalimat itu sindiran bagi publik yang tidak mengenal intelektual yang banyak berkiprah. Yaa.. bisa saja karena kalimat itu tidak nyata artinya. Siapa yang dimaksud tidak jelas. Tapi tetap saja menurutku alangkah baiknya jika Ketua Senat Akademik menceritakan soal usul penganugerahan gelar itu dari sisi jalur akademis saja. Misalkan bahwa seorang yang mendapat gelar Doktor itu harus memenuhi persyaratan akademis ini dan itu. Dan ternyata setelah ditelusuri GWR memiliki lebih dari sekadar persyaratan itu maka ia layak mendapatkan gelar itu. Nah, bagaimana? Kalau begini kan lebih halus, lebih sopan, sesuai konteksnya. Semestinya aku saja tuh yang bikin teks pidatonya ..he..he..

GWR nampak sangat terharu ketika ia mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan orasinya. Matanya berkaca-kaca, berbicara pun terbata-bata. Ia sungguh menahan tangis. Ucapnya: "Saya ini orang kecil, bukan saja wujud fisik saya yang memang kecil, tetapi juga bahwa saya orang yang tak bertahta dan tak berharta. Tapi toh IPB berkenan menganugerahkan gelar kehormatan ini dengan tulus, tanpa bias apapun! Sungguh suatu kejutan yang amat luar biasa terutama di saat usia saya yang sudah lanjut ini." Kami semua memberi tepuk tangan atas ucapannya. Ia mengucapkan orasinya dengan ringkas, urut, dan tak bertele-tele. Nyaman sekali rasanya mendengarnya bicara. Saya tak bosan dan antusias rasanya. Usai orasi kami semua memberikan standing applause padanya.

Acara penganugerahan ini ditutup dengan dua lagu persembahan yang sangat menarik. Lagu yang pertama sangat berarti buat GWR, yaitu mars sekolah Arjuna, tempat GWR menuntut ilmu. Lagu yang lain adalah Himne Lingkar Belajar Agraria yang adalah ciptaan GWR sendiri. Lagu ini riang nadanya. Para hadirin mengikutinya dengan bertepuk tangan seturut iramanya. Meriah sekali.

Sesudah acara ini selesai kami semua berbaris untuk antri salaman dengan GWR. Di panggung, GWR ditemani oleh sepupu dan kedua keponakannya. GWR sendiri hidup melajang. Dalam kisah hidupnya diceritakan GWR pernah punya pacar. Namun sang pacar meninggal hampir bersamaan dengan wafatnya sang ibu yang tercinta. Peristiwa ini membuat GWR sangat sedih. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, GWR tinggal kelas. Ia rupanya tenggelam dalam kesedihannya. Tapi GWR tak mau tenggelam terlalu lama, ia bergiat dan mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk ilmu pengetahuan terutama untuk mempelajari isu-isu agraria.

Selesai bersalaman, para hadirin digiring ke ruangan yang berbeda untuk santap siang. Usai makan siang kami diundang untuk menghadiri acara berikutnya, yaitu peluncuran sekaligus empat buah buku GWR. Bukan hasil karya baru. Keempat buku itu adalah kompilasi dari tulisan beliau bersama para peneliti lainnya. Aku tak ikut acara itu. Sesudah mengambil keempat buku yang dibagikan secara gratis aku dan suami langsung undur diri.

Di perjalanan aku masih saja terngiang dengan orasi ilmiah GWR. Berikut adalah salah satu kutipannya yang merupakan hasil terjemahan GWR dari puisi seorang pujangga India ternama di tahun 1968 bernama Kalidasa:

"Jika seorang akademikus hanya memikirkan kedudukan demi memperoleh kesejahteraan, dan mengabaikan penelitian,...maka paling banter dia itu hanyalah seorang 'pedagang eceran'! Yang dijual adalah pikiran lain orang".

Senin, 25 Mei 2009

Kamar Mandi di Rumah Saya

25 Mei 2009

Hari ini aku lagi tak punya topik menarik buat ditulis. Seharian kerja dan kerja. Cukup produktif. Tapi udah janji pada diri sendiri mau rajin ngisi blog lagi. Jadi ini tulisan lama aku posting. Tepatnya ini PR waktu ikut kursus jurnalisme naratif beberapa bulan lalu. Perintah PR itu adalah: buatlah tulisan tentang deskripsi suatu benda, atau ruangan, atau orang. Panjangnya sekitar 250 kata.

Tulisan pendek ini adalah PR yang sudah diperbaiki setelah diperiksa Fahri Salam, mentor di kursus. Agak sulit buat saya menulis dengan batasan jumlah kata. Tulisan di bawah ini memiliki kata sebanyak 259 buah. Tak banyak kok perbaikannya. Fahri rupanya menyukai hasil kerjaku. O, ya, ada juga komentar dari Fahri di akhir tulisan.

Berikut tulisan itu - judulnya Kamar Mandi di Rumah Saya:

Kamar mandi di rumah saya kecil. Berbentuk bujursangkar dengan panjang sisi 1,5 meter. Lantainya dari keramik berwarna merah marun. Separuh dinding dilapisi keramik berwarna senada. Saya menghormati ruangan ini sebagai ruang paling pribadi. Ia harus sesuai dengan fungsinya, yaitu mandi dan buang hajat. Saya melarang anggota keluarga meletakkan baju-baju kotor maupun mencuci baju di sana. Isinya hanya peralatan mandi serta satu buah sikat berbentuk bulat panjang untuk menggosok lubang kakus. Satu minggu sekali pembangu menyikat lantainya, menguras bak mandi dan menggosok dinding-dindingnya agar tak berlumut. Bulatan-bulatan kapur barus saya letakkan di sudut-sudut lantai. Jika masih baru, baunya sedikit menyengat.

Sekitar dua tahun lalu, saya mengganti pintu kamar mandi dengan pintu yang terbuat dari plastik. Yang lama dari papan multipleks, lebih mudah busuk bila terus-menerus terguyur air. Penampilan pintu plastik ini lebih modern. Warnanya kuning gading sesuai warna dinding rumah. Pada bagian bawah terdapat sekat-sekat sirkulasi udara. Sayang, kunci pintu tak berfungsi dengan benar. Entah mengapa, kuncinya sering tak bisa dibuka kembali. Harus ada orang lain di luar yang membukanya dengan anak kunci. Agar tak merepotkan, akhirnya kunci pintu sengaja dirusak. Kini pintu itu hanya bisa menutup tanpa bisa dikunci.

Nah, supaya kamar mandi tetap jadi ruang privat, kami membuat kesepakatan. Pintu itu harus tertutup jika ada yang menggunakan. Jika tidak, sebaiknya dibiarkan terbuka. Di malam hari, pintu kamar mandi memang harus tertutup karena kecoak suka keluar dari lubang buangan air dan bisa merajalela kemana-mana. Jika terbangun di malam hari dan ingin buang air, lihat dulu apakah lampu kamar mandi menyala. Jika menyala, itu artinya ada orang lain di dalam.***


Catatan: Ceritanya lucu tanpa berniat ingin melucu. Aku tersenyum simpul setelah menyelesaikan paragraf terakhir. Ia ringan, mengalir, dan terasa 'persoalan' (kamar mandi) ini begitu akrab dengan Mbak Tata. Intens sekali. Aku menyukainya. Mbak juga punya kemampuan bercerita dalam menulis. Setiap orang, tentu saja, punya cerita. Yang susah adalah menuliskannya. Mbak Tata mampu menuliskan kisah ini dengan mengalir dan enak dibaca. Thanks. (Fahri)

Minggu, 24 Mei 2009

Festival Jajan Bango 2009


24 Mei 2009

Hari Sabtu kemarin kami pergi ke Festival Jajan Bango (FJB) yang digelar di halaman parkir Gelora Senayan. Ini pertama kali aku berkunjung ke FJB yang kabarnya udah beberapa kali diadakan. Sampai di Senayan mobil sudah terlihat mengular, antre masuk. Beberapa mobil yang tidak sabar nampak putar balik. Suamiku bilang, "Sabar, sabar, biarian aja tuh yang mau pergi".

Setelah bersabar dan berjuang, akhirnya dapat juga parkir dekat tempat festival. Begitu keluar mobil. Wuaaah, bau harum menyeruak. Nampak kepulan asap di sana sini. Maklum beberapa adalah penjual sate. Tapi jangan khawatir, mobil pemadam kebakaran nampak stand by di sana.

Begitu masuk, bingung juga. Berderet-deret nampak penjual makanan. Kanan dan kiri. Di tengah puluhan orang duduk di kursinya. Apalagi kegiatan mereka kalo gak makan dan makan.

Akhirnya setelah toleh sana toleh sini. Pilihan jatuh pada sate pejompongan. Antrinya memang bukan main, tapi ya memang dimana-mana begitu. Sabar saja. Sementara suami antri, aku dan anak-anak - Bintang dan Putri - plus suster cari tempat duduk. Tak berapa lama sate datang, ternyata cuma satu porsi. Ya sudah, buat Bintang aja. Aku sama suster akhirnya beli soto ceker. Suami beli gado-gado bonbin.

Selesai makan kami jalan-jalan lagi. Beli kecap bango satu botol. 16.000 perak. Dapet kupon dua lembar. Kupon ini bisa ditukar dengan peluang untuk mengambil dua undian. Bintang yang memilih. Ternyata kami dapat botol kecap sama buku agenda Bango. Lumayan. Dua kupon tadi juga ternyata berfungsi buat tiket masuk ke Kampung Bango. Aku sama Bintang masuk ke sana.

Wah, menurutku Kampung Bango ini ide cerdas. Ini adalah satu replika mini yang menceritakan tentang darimana si kecap berasal. Di halaman pertama kami disambut dua mbak penjaga yang menyobek tiket dan memberi kami caping kertas. Berikutnya adalah replika kebun kedelai. Ada dua bapak petani yang jaga. Bintang boleh masuk ke kebun, melihat kecambah yang mulai tumbuh dan foto di antara tanaman kedelai. Berikutnya ada ibu-ibu dengan tampah penuh kedelai hitam. Pemberhentian berikutnya adalah tempat mencetak gula jawa. Ada mas-mas yang jaga di situ. Katanya pada Bintang, "Kecap bango itu bahan dasar utamanya ya cuma kedelai sama gula jawa. Adik mau coba cetak gula jawa?". Bintang tentu mau. Padahal yang dicetak itu bukan gula jawa beneran tapi playdough - alias malam. Cetakannya rapi. Bulat-bulat kecil. Gampang memang. Bintang dengan cepat membuat dua gula jawa.

Selesai dari meja gula jawa, kami beranjak lagi. Sekarang ke tempat penuangan kecap ke botol. Nampak papan bertuliskan "Bukan cairan kecap yang asli. Jangan diminum". Di bawahnya ada semacam gentong besar dengan beberapa keran di badannya. Bintang diberi satu botol kecap kecil kemudian si mas yang jaga membuka keran. Tugas Bintang hanya memegang botol kosong di bawah keran. Nampak seorang fotografer sibuk mengabadikan momen ini. Buat apa ya? Mungkin dokumentasi.

Nah, semua proses pembuatan kecap selesai. Tapi masih ada dua pemberhentian lagi, yaitu koperasi karyawan Bango. Mereka menjual merchandise Bango serta barang-barang kerajinan hasil daur ulang bungkus kecap Bango. Ada dompet hape, sampul agenda, tas, dll. Aku tak begitu tertarik, jadinya ya lewat aja. Berikutnya lagi tempat foto. Ada kebun kedelai yang dicetak pada backdrop. Ada properti cangkul dan caping beneran. Jadi kita bisa berpose di sana dengan mengenakan caping dari anyaman bambu dan memegang cangkul. Seorang penjaga standby di situ untuk membantu mengambil gambar. Aku pengen juga foto, tapi si Bintang keburu pengen main lompat-lompatan.

Tak jauh dari situ memang ada tempat untuk main lompat-lompatan. Apa ya namanya aku lupa. Pokoknya terbuat dari semacam terpal plastik yang ditiup. Ukurannya besaaaar sekali. Beberapa anak kecil main lompat-lompat juga di sana. Suamiku membelikan tiket, harganya 20.000 untuk sekali main dengan durasi 30 menit. Satu tiket dapat satu kantong kecil kecap Bango. Lumayan.

Selagi main ada teman suami ikut nimbrung. Sementara si dede sudah tidur. Kecapekan dia. Aku sendiri juga udah teler sebenarnya. Cuaca kurang mendukung. Tadi panas banget, terus mendung dan hujan rintik-rintik. Mungkin ada pawangnya, karena biasanya dengan mendung sebegitu tebal pasti hujan jatuh deras sekali.

Jam setengah empat sore kami memutuskan pulang. Sebelumnya aku sempat jajan bakso pentul senayan. Penasaran aja, kok banyak orang makan kayaknya enak benar. Bakso pentul ini adalah tiga bakso yang ditusuk sate, diberi kecap kemudian dibakar. Makannya sambil dicocol saus sambel. Sederhana tapi kok ya enak ya. Kata susterku, "Ibu juga pasti bisa bikin kayak gini."
Bener juga ya, jadi pengen nyoba kapan-kapan. Harganya cukup mahal lo. Satu tusuk 7000 perak. Dan memang secara keseluruhan menurutku sih harga makanan di FJB ini mahal. Soalnya satu porsinya sedikit, beda dengan porsi di luar.

Tapi, ya sudahlah. Kami maklum saja. Acara ini menarik. Konsepnya sebenarnya sederhana cuma menggabungkan para pedagang makanan di satu tempat. Tapi dikemas dengan apik dan cerdas, jadinya ya bagus. Menyenangkan buat kami.

Jumat, 22 Mei 2009

Yang remeh tapi penting

22 Mei 2009

Saya produk lama. Angkatan 60-an. Saya hasil didikan generasi 30-40an. Kedua orang tua saya lahir tahun 1934. Guru-guru yang mendidik saya lebih muda dari kedua orang tua saya. Saya kira mereka lahir sekitar tahun 40-50an. Masih ada plusnya. Mayoritas pendidikan saya nikmati di sekolah Katholik yang notabene disiplin. Apa artinya kedua fakta itu?

Begini, akhir-akhir ini saya suka jengkel. Asisten domestik saya, suster dan mbak cuci gosok suka bikin gemes. Saya rasa mereka boros soal penggunaan sabun, obat pel, listrik, air, odol, dll. Juga tak paham detil. Kalau bekerja saya lihat masih ada yang terlewat. Hal seperti ini bukan terjadi sekali ini. Semenjak berumah-tangga, saya beberapa kali memiliki asisten domestik. Jaraaaang sekali yang punya perilaku hemat, tertib, dan detil dalam bekerja.

Nah, di sini saya mau tulis beberapa hal yang kelihatan remeh tapi perlu diperhatikan, yang merupakan hasil didikan generasi tua yang saya sebut tadi:

1. Mencuci pisau dapur (ini berlaku untuk pisau yang terbuat dari besi, bukan stainless)
Pisau yang terbuat dari besi tempa yang ditipiskan biasanya akan berkarat jika habis dicuci. Jika pisau berkarat akan mudah tumpul, lagipula pisau berkarat tidak bisa segera digunakan. Nah, caranya selesai mencuci pisau, segera lap atau keringkan badan pisau. Akan lebih baik lagi jika diolesi minyak goreng untuk mencegah karat dan menjaga supaya tetap tajam. Untuk menghemat, bisa saja gunakan minyak jelantah. Tapi ingat, jangan gunakan minyak jelantah yang bekas goreng ikan. Nanti jika digunakan untuk memotong makanan, makanannya akan bau ikan. Lebih baik memang menggunakan minyak goreng yang baru.

2. Menuang minyak dari refill ke tempat minyak.
Untuk mencegah ada tumpahan. Tempat minyak ditaruh dulu di baskom. Jadi tumpahan minyak akan jatuh di baskom, kemudian baru dituang lagi ke tempat minyak.
*Ini berlaku juga jika ingin menuang cairan lain dari refill misalnya, kecap, obat pel, pelembut pewangi, dll.

3. Memencet pasta gigi.
Pencet pasta gigi dari ekornya baru naik ke atas. Bukan dari ujung. Memang lebih mudah dari tempat yang paling gendut, tapi lebih baik kalau dari bawah ke atas. Ini akan lebih menghemat, karena pasta gigi akan terpakai seluruhnya. Jaman dulu tempat pasta gigi terbuat dari seng sehingga 'ekor' pasta gigi lantas digulung ke atas.

4. Menggunakan sabun mandi.
Sabun mandi yang menipis jangan langsung dibuang begitu saja. Gunakan sabun mandi hingga habis. Caranya: sabun mandi yang tipis ditempelkan ke sabun mandi yang baru. Tarik-tarik pinggir sabun dan beri sedikit air sehingga keduanya bisa menyatu. Nah, sekarang tak ada sabun yang terbuang.

5. Saat air toren penuh.
Ketika mengisi air dengan jet pump, air akan dialirkan dulu ke toren (bak penampungan air). Nah, jika toren sudah penuh, langkah pertama adalah mematikan jet pump. Langkah kedua,
segera nyalakan air keran di kamar mandi untuk mengisi bak. Sehingga air tidak terlalu banyak yang terbuang. Jika bak sudah penuh, ambil inisiatif, dengan menampung air di ember.

6. Mencuci peralatan makan.
Keran bak cuci bisa diatur sedemikian rupa. Tidak perlu setiap kali memutarnya dengan maksimal. Untuk mencuci sendok dan garpu misalnya. Cukup putar secukupnya tidak usah terlalu deras airnya. Ini akan menghemat air yang terbuang.

7. Membersihkan kamar mandi.
Keramik kamar mandi biasanya bergaris-garis secara vertikal dan horisontal. Untuk membersihkannya, sikat seturut arah garisnya. Gunakan beberapa ukuran sikat. Pergunakan lagi sikat gigi yang sudah tidak dipakai untuk membersihkan sudut-sudut keramik.

8. dan masih banyak lagi sebenarnya. tapi ini sudah malam, mata sudah mengantuk. tapi untuk sementara ini dulu. saya akan coba inventarisir banyak hal remeh tapi penting lainnya. nanti saya posting lagi.

Selasa, 19 Mei 2009

Bintang Sakit

19 Mei 2009

Jam 8 malam. Akhirnya Bintang bobo juga biarpun di sofa. Sehari ini muntah 7 kali. Badannya panas. Sore udah ke dokter. Minum obat sampai diulang karena muntah terus. Makan malam cukup energen beberapa sendok sama mari-regal empat keping. Besok udah pasti gak sekolah.

Paling sedih kalau anak sakit. Tadi pagi Bintang bangun jam 5 pagi. Tiba-tiba nangis. Bikin kaget. Aku pikir dia mimpi. Nangis sambil ngomong gak jelas. "Itunya diambil..itunya diambil..huaa..huaaa.."

"Apanya yang diambil? Kamu mimpi?"

"Panas...panas..AC- nya dimatiin"

"Ooo..Bintang mau AC- nya dinyalain? Tinggal bilang aja ke ibu, nggak usah nangis."

"Tapi ibu ambil remote-nya. Kalau bangunin ibu nanti ibu marah..huaaa...huaaa."

"Ooo..remote itu ibu ambil soalnya ibu nanti pusing kalau bangun-bangun terus. Ini dede udah kedinginan. Ibu juga kedinginan. Ibu juga udah bangun beberapa kali bikinin dede susu. Remote nya ini ada di dekat ibu. Bintang gak usah nangis."

Tapi Bintang udah telanjur nangis. Badannya lepak oleh keringat. Percuma aku peluk dia. Bintang tetap nangis. Sementara si dede jadi ikut kebangun. Tiba-tiba...Hoeeeek! Hoeeekk! Bintang muntah di kasur. Dua kali. Wah, wah udah mulai kewalahan aku. Terpaksa aku teriak panggil suster biar dia urus si dede, sementara aku nenangin si kakak.

Begitu keluar kamar lihat jam di dinding, ternyata udah jam 5 pagi. Ya sudah, sekalian aja bangun. Kepalaku berdenyut. Selalu begitu setiap kali bangun mendadak. Maklum aku tensi ku rendah. Kipas angin di ruang tv aku nyalain. Bintang kini cuma pake celana dalam dan lengan baju aku gulung. Sudah agak tenang dia.

Ritual pagi mulai jalan. Suster masak air untuk buat teh dan susu kakak. Aku jaga dede sambil ngawasin si kakak yang duduk ngadem di depan meja belajarnya di bawah kipas angin yang nempel di dinding. Tak berapa lama susu si kakak sudah siap. Suster bergabung di ruang tv sambil bawa semangkuk cereal. Global TV siap ditonton. Spongebob Square Pants seperti biasa menemani sarapan pagi kakak.

Tapi pagi itu si kakak memang lagi rewel. Ia tak mau makan cereal. Cuma minum susu. Itupun disendokin. Aku paksa makan cereal eh, malah muntah-muntah lagi. Nangis lagi. Ya udah aku nyerah. Tapi kebetulan hari ini hari Selasa, Bintang diharuskan bawa nasi untuk dimakan bersama di kelas. Aku minta suster nyiapin nasi sama nugget. Kebetulan lagi aku harus nyerahin surat buat sekolah. Ini surat permohonan kerjasama dengan WTC Serpong. Sekolah Bintang berencana mengadakan acara perpisahan di sana. Jadi aku bilang ke Bintang, "Bintang nanti ibu yang antar sekolah ya? Sudah jangan nangis ya? Nanti ibu telpon Opung."

Opung, sopir antar jemput Bintang. Dilihat namanya ketahuan kalau orang Batak dan pasti sudah tua. Opung dalam bahasa Batak artinya kakek. Nama aslinya aku tak tahu. Biarpun sudah berumur tapi Opung supir yang piawai. Aku tenang nitip anak ke dia. Opung juga pandai utak-atik mobil. Kalau ada onderdil mobil yang rusak dia bisa betulkan sendiri. Beberapa kali aku lihat dia membetulkan sendiri mobilnya. Opung juga baik dan sabar sama anak-anak. Ia suka memberi sesuatu buat anak-anak jemputannya. Kadang mainan, kadang permen karet.

Sampai di sekolah jam 6.45. Masih ada waktu seperempat jam sebelum bel berbunyi. Aku ajak Bintang ke warung depan sekolah. Mana tahu dia mau makan sesuatu. Pilihan jatuh pada mie gelas. Cuma masuk beberapa suap, Bintang mulai rewel lagi. Ya sudah. Aku nyerah.

Ini hari Selasa. Bintang pakai seragam olahraga. Pelajaran dimulai dengan senam bersama. Bintang tak mau ikut. "Bu, aku mau baca aja di kelas. Ibu bilang sama bu guru ya?" Aku mengiyakan sambil mencari salah seorang ibu guru. Ketemu sama Bu Marga, ia nampak mafhum. "Oooh..lagi gak enak badan ya?", ucapnya. Sementara surat aku berikan ke Bu Anas.
Aku sempat menemani Bintang masuk kelas. Ia pilih kursi nomor dua dari depan. Di papan masih tertera pelajaran hari kemarin. Soal alat komunikasi. Itu sebabnya Bintang semalam meminta ijin untuk membawa buku Ensiklopedi Junior miliknya. Aku masih ingat semalam dia bilang, "Bu, buku ini mau aku tunjukkan sama Bu Yuni. Tadi pelajarannya soal alat komunikasi. Ada di bukuku ini."

Pagi itu Bintang memilih duduk di kelas sambil membaca-baca bukunya daripada senam sama teman-temannya. Aku tinggalkan dia sendirian. Seorang anak berpapasan di pintu masuk kelas. Rupanya dia terlambat.

Sebelum sampai di rumah aku mampir ke pasar dadagan dekat rumah. Belanja sayur mayur. Rencanaku masak sop istimewa buat Bintang. Aku merasa salah semalam mematikan AC. Jadi ini permintaan maafku buat dia.

Kegiatan masak memasak selesai pukul 8.30. Setelah mencicipi semangkuk sup aku mandi. Sesudahnya baru berangkat kantor. Lewat tol BSD. Nggak macet tapi mahal.

Di kantor telepon berdering beberapa kali. Kata suster Bintang muntah lagi. Badannya pun panas. Aku ambil keputusan. Pulang saja. Semestinya hari Selasa seluruh anggota kantor berkumpul untuk ngobrol soal apa saja yang aktual. Aku minta diri di saat yang lain tengah asyik berbincang.

Di rumah aku menemui Bintang yang tiduran di sofa. Badannya panas. Kami langsung berangkat ke dokter. Bintang nampak kuyu. Maunya nglendot aja. Di ruang tunggu ia minta dipangku.

Ini klinik pribadi. Yang mengelola suami isteri, mereka pasangan dokter, dokter Witono dan dokter Frida, mereka jaga bergantian. Kliniknya bernama Klinik Witono. Laris bukan main. Murah dan banyak yang cocok. Pasien yang datang dari berbagai tempat. Tak hanya dari penghuni komplek tapi juga dari kampung. Tak hanya orang kaya - jika dilihat dari penampilannya, tapi juga orang biasa - bahkan aku pernah bareng ibu-ibu tua yang mengaku tak pernah bayar jika berobat karena tak punya uang. Kami sekeluarga sudah menjadi pasien mereka dari awal Klinik ini baru dibuka. Nomor urut Bintang masih satu digit: B-4. Sekarang di salah satu sudut kamar praktek dokter tampak berderet dus karton berisi kartu pasien. Klinik Witono juga buka cabang di pertokoan Gading Serpong.

Kali ini giliran dokter Witono. Ia sudah kenal Bintang. Cara kerjanya praktis saja. Bintang harus timbang badan dulu. 18 kg. Kemudian berbaring di ranjang pasien. Senter siap di tangan. Bintang harus menganga. Begitu disorot dokter bilang, "Wah, merah". Ia juga mengomentari suhu badan Bintang. "Panas", ujarnya singkat. Aku sempat kasih penjelasan kalau Bintang punya amandel yang sering bengkak. Sesudah itu kaos Bintang ditarik ke atas, ia menepuk-nepuk perut Bintang di beberapa tempat.

"Sakit nggak?" tanyanya.

"Enggak," jawab Bintang.

"Ok," kata dokter lagi sambil beranjak ke tempat duduknya. Ia menulis-nulis sesuatu di kartu pasien Bintang. "Saya kasih obat ya? Sudah bisa makan tablet belum? Atau puyer saja?"

Aku pilih yang terakhir. Bintang belum pernah makan tablet sebelumnya.

Sore itu Bintang dapat tiga jenis obat: satu untuk anti mual, satu untuk menurunkan panas, dan satu lagi antibiotik. Jadi Bintang sakit apa? Wah, aku baru sadar tak banyak bertanya di ruang praktik tadi. Begitu obat disodorkan cuma tanya berapa jumlah yang harus dibayar. Wah, wah, kaco juga aku tadi.

Dari utak-atik pemikiranku, kemungkinan Bintang kecapekan karena pergi wisata ke Danau Gading Serpong hari Minggu kemarin. Ketika aku kabarkan soal sakit Bintang di Facebook, seorang teman berkomentar: "Elo sih, piknik mau nya murah, digigit nyamuk loe, nama lengkap nya sopo entar di buatin dongo, salam maria". Pasti si teman ini ngikutin statusku dari hari kemarin. Soalnya pas habis pergi itu aku tulis di status soal wisata itu.

Dongo
itu bahasa Jawa, artinya doa. Barangkali lebih tepat jika ditulis donga - sesuai pengucapannya. Jadi si teman ini nanti akan mendoakan Bintang dalam doa Salam Maria-nya. Bulan Mei memang bulan Maria. Umat Katolik rajin berdoa Rosario di bulan ini sebagai upaya devosi pada Bunda Maria - ibu Yesus.

He...he..jadinya aku sekarang merasa bersalah. Tapi apa ada hubungannya antara piknik murah dan kena penyakit? Barangkali ini kebetulan saja. Semoga cuma karena kecapekan yang bikin amandel Bintang membengkak.

Minggu, 17 Mei 2009

Ke Danau Gading Serpong


16 Mei 2009

Setelah pikir-pikir, akhirnya aku memutuskan untuk bawa anak-anak ke Danau Gading Serpong, Tangerang aja. Dekat dan murah. Sebelumnya aku mau bawa mereka ke Kebun Raya, Bogor. Niatnya sekalian jemput ayahnya yang masih kerja di Bogor. Tapi ternyata informasi terbaru si ayah gak bisa keluar kantor sampe besok siang. Waaa..ya sudahlah. Rencana berubah. Padahal aku dah beli sayuran buat dimasak. Pikirku ntar gelar tikar plus makan siang di Kebun Raya. Asyik kan?

Pikir punya pikir, kemana lagi ya tempat yang bisa buat gelar tikar, santai-santai, dekat, dan murah? Aha! Danau Gading Serpong memenuhi semua kriteria itu. Tadi sempat terlintas buat pergi ke Monas, tapi pasti penuh. Soalnya hari Minggu. Kasihan si adik yang baru 9 bulan.

Menu hari ini sederhana aja: sayur asem, ikan pindang goreng, tempe goreng, sambel. Plus-plusnya: pisang ambon, asinan buah (kemarin baru beli dari Bogor), krupuk kampung (harus!), camilan buat si kakak. Sekitar jam 12.00 siang kami berangkat. Puanasnya minta ampun! Tapi udah telanjur niat, ya udah jalanin aja.

Jarak dari rumah (Melati Mas) ke Serpong cuma seperempat jam. Ancer-ancernya cuma sesudah RS. Ashobirin belok kiri. Karena ini yang pertama kali, aku sempat tanya ke pos penjaga di dekat gerbang Gading Serpong. Ternyata tak jauh dari situ. Luruuuus aja terus menjelang gerbang pabrik SK Keris belok kiri. Tiket masuk murah sekali. Untuk mobil Rp 3000,- motor Rp 2000,- dibayarnya nanti setelah keluar. Jadi pas masuk kami hanya mendapat tiket berupa sepotong kertas yang dilapisi plastik. Sederhana sekali. Tapi ini menandakan bahwa kami aman parkir di sini. Mobil tidak mungkin keluar tanpa tiket sederhana itu.

Kami sampai sekitar jam setengah satu. Meskipun terik menyengat ada beberapa anak bermain di tepi danau. Danau Gading Serpong ini luas sekali. Menurut informasi yang aku baca di www.serpong.org, danau ini dulunya adalah bekas galian tambang pasir. Kedalamannya sekitar 20 meter. Hiii..dalam juga ya! Untuk menarik minat wisatawan, di salah satu tepinya dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai penggalan pantai pasir putih. Nah, anak-anak kecil yang bermain di tepian asyik membuat terowongan atau mencetak benteng-benteng pasir dengan menggunakan bekas gelas mineral.

Si kakak udah nggak sabar. Ia pengen cepet-cepet nyemplung di danau. Yaaaah..baru keinget, ternyata suster sama aku lupa bawain baju ganti buat si kakak. Akhirnya aku copot aja celana jinsnya. Jadi dia main pakai cawat aja sama kaos. Sementara aku, suster, sama di dede gelar tikar di bawah pohon beringin.

Kalau aku perhatikan para wisatawan lokal ini ada empat jenis: pertama, rombongan keluarga dengan banyak anak-anak kecil usia batita, balita, SD. Kedua, pasangan yang niatnya mojok di sudut-sudut. Asyik sekali mereka pacaran. Ketiga, kelompok ABG yang niatnya sekadar main. Keempat, mereka yang berhobi mancing. Ya memang ada yang rancu dengan jenis pertama, maksudnya, si ayah yang hobi mancing ngajak anak isterinya sekalian gitu. Tapi ada juga yang bersolo karir. Mereka ini duduk berjajar di tepian sambil ngalamun menatap pancingnya. Anteng. Entah jenis ikan apa yang mereka dapat, saya tak berniat menggali informasi.

Informasi yang saya peroleh dari internet, danau ini sering dipakai buat boat race oleh kelompok boat racer dari Jakarta. Katanya karena air di danau ini punya kelebihan yaitu air yg bening shg turbulensi blade propeller dpt maksimum, yang artinya laju boat bisa kencang. Kabarnya pula rescue boat dengan motor tempel plus caddy/marshall nya selalu stand by untuk mengambil boat yang mati di tengah. Tapi kenyataannya aku kok nggak ngeliat ada satupun boat. Yang ada cuma rakit dari bambu dengan beberapa awaknya berseragam oranye. Seperti regu penyelamat yang tengah berlatih.

O, ya, di situs serpong. org terlihat ada menara pengawas setinggi 14 meter di tepi danau. Tapi kok hari ini aku gak liat apa-apa. Barangkali udah dipindah ato gimana ya. Aku juga gak nanya-nanya tadi. Maklum ibu-ibu. Kegiatanku tadi ya cuma motret-motret si kakak. Momong si dede, camil-camil, sama tiduran.

Pohon beringin tempat kami berteduh ini sudah tua. Batangnya berdiamater sekitar satu meter. Sulurnya panjang-panjang dan kuat. Nampak diikat dijadikan semacam ayunan. Beberapa anak main ayunan di situ. Si kakak ikutan juga main di sana.

Matahari makin tinggi, sinar matahari makin merangsek ke barat. Sinar matahari turut bergeser. Dua kali kami geser tikar untuk mencari tempat yang lebih teduh. Si dede sempat bobo siang sebentar di situ. Sekitar jam 15.30, nampak sekelompok awan kelabu menggantung. Gawat, nampaknya bakal hujan. Cuaca memang sulit ditebak. Aku mengajak suster berkemas. Tapi bersamaan dengan kami beranjak pergi, nampak para pengunjung justru mulai banyak berdatangan. Kebanyakan yang bermotor. Muda-mudi berpasang-pasangan.

Biarlah kami mendahului. Toh, kami sudah mendapat cukup kesenangan hari ini. Ini memang cita-citaku semenjak dulu jika sudah punya mobil: mengajak anak-anak wisata alam. Jalan-jalan ke mal bikin boros dan yang dilihat cuma ituu aja. Paling-paling beli baju ato mainan. Paling aku benci main di tempat mainan semacam Time Zone. Uang berubah jadi koin. Tak ada harganya. Main sebentar gak sadar udah habis puluhan ribu rupiah.

Sekarang kami sudah punya mobil. Biarpun kecil, tapi aku merawatnya baik-baik. Di Indonesia ini wisata alam dianaktirikan. Coba perhatikan, jika mau pergi ke mal banyak kendaraan yang bisa digunakan. Beberapa mal bahkan memiliki mobil angkutan dengan rute-rute khusus. Tapi bagaimana jika hendak pergi berwisata alam? Sulitnya bukan main. Bahkan iklan tentang kawasan wisata alam pun sering tak memikirkan bagaimana caranya agar calon pengunjung tak perlu repot memikirkan transportasinya. Jarang sekali kita temukan ada promosi kawasan wisata yang mencantumkan "how to get there" secara rinci. Mereka seringkali mengandaikan setiap pengunjung memiliki kendaraan pribadi. Jika tidak punya, seolah sarannya adalah: pergilah ke mal atau ke pertokoan. Akses untuk ke sana lebih mudah.

Sabtu, 21 Februari 2009

Bodoh itu tak mengapa

22 Februari 2009

Halah! Udah berapa bulan saya gak posting blog? Emang saya ini orangnya anget-anget tai ayam. Begitu kata suami saya suatu kali. Semuanya mau dikerjakan, tapi gak tekun. Satu dua kali memang jadi proyeknya dan yaaa...tak jelek-jelek amatlah. Tapi kemudian udah, frekuensi mulai melambat dan lama-lama tak disentuh sama sekali.

Nah, tiba-tiba saya pengen nulis lagi. Mungkin karena saya ikut kursus narasi. Baru mulai kemarin sih, tapi udah mengobarkan semangat dan mulai menyala-nyala nampaknya. Memang bagi para 'penonton' yang sudah paham saya akan bilang, "Aaaah...paling-paling juga menyala sebentar abis itu redup". Tapi kalau yang optimistis ya barangkali akan bilang "Eh, mana tahu sekarang ini saatnya. Jadi ya biarkan saja dia mencoba-coba".

Baiklah, sekarang saya sedang menulis. Barusan saja terlintas ide lama yang sebenarnya dulu mau saya masukkan ke blog tapi selalu tertunda-tunda, atau tepatnya saya sendiri yang suka menunda-nunda pekerjaan yang akhirnya mudah ditebak, tak dikerjakan juga. Ide yang akan saya tulis itu soal "kebodohan". Saya mulai berpikir bahwa bodoh itu baik adanya. Maksud saya begini, dalam hidup tak perlulah kita untuk mengetahui segala macam hal. Kalau kata Injil kira-kira begini, biarkanlah Bapamu di surga yang mengatur semuanya karena itu tak perlulah kau mengetahui segala hal. Sepertinya begitu bunyi ayatnya, nantilah saya tengok lagi. Bodoh itu menurut saya perlu, mengapa? Karena kalau kita pintar dalam segala hal, maka akan ada banyak orang yang tak bisa makan. Lho kok?

Bayangkan saja kalau kita pandai dalam segala hal, sehingga untuk menambal ban, menjahit, membetulkan sepatu, membetulkan mesin mobil, dan banyak hal lainnya, lantas bagaimana dengan banyaknya tenaga kerja yang menganggur di sekitar kita? Saya kira seseorang perlu lah untuk fokus dalam beberapa hal saja dalam hidup. Selebihnya serahkan pada yang ahlinya. Jadi jika seorang Wakil Gubernur Jawa Tengah (sekarang) Rustriningsih terbalik memasang popok anaknya (saya baca dalam suatu wawancara di Tempo Minggu tanggal berapa saya lupa), itu tak perlu ditertawakan. Karena kita semua tahu Rustriningsih adalah politisi perempuan lokal yang patut diakui kepiawaiannya. Dan berapa sih jumlah politisi perempuan di Indonesia? Jadi biarkanlah kebodohan itu tetap menjadi kebodohan Rustriningsih. Dan, toh dia tak malu mengakuinya. Rustriningsih justru bisa memberdayakan orang lain untuk mengurus anaknya.

Suami saya tak bisa menyupir. Bagi saya tak mengapa, karena saya tahu pasti dia mempunyai kelebihan yang tak dimiliki para suami lainnya yang bisa menyupir. Kepiawaiannya menulis dan menterjemahkan membuat saya bangga sebagai isterinya. Ia juga sering diundang sebagai pembicara pada berbagai kegiatan. Pilihannya untuk menekuni soal-soal 'perbukuan' juga bukan pilihan yang main-main karena dia melakukannya dengan tekun dan serius. Dia sangat menjaga kualitas saat bekerja. Karenanya, kalau saat ini saya lah yang membawa mobil dan menjadi supir keluarga, bagi saya tak mengapa karena ya saya bisa melakukannya. Sebaliknya saya tak bisa melakukan apa yang dikerjakan suami saya. Meskipun saya juga bisa menulis dan menterjemahkan, tapi hasilnya masih sangat jauh dibanding hasil pekerjaan suami. Jadi, jika suami saya bodoh dalam urusan mobil, itu tak mengapa buat saya. Benar memang dia mulai belajar menyupir, tapi itu karena disuruh oleh atasannya. Meskipun dia enggan, tapi dia mau juga sedikit demi sedikit. Saya tahu dalam hatinya dia menolak. Makanya saya turutin saja, kalau dia mau belajar ayok, kalau tak mau ya saya tak memaksa.

Di Indonesia, dimana tenaga kerja sungguh berlimpah, maka kebodohan-kebodohan semacam itu sangat bermanfaat. Jika kita tak bisa memasak, kita bisa memanfaatkan kepandaian orang lain yang menjual hasil masakannya. Jika kita tak bisa membereskan rumah, kita bisa menyewa seseorang yang pandai bersih-bersih rumah. Dan banyak lagi lainnya dengan harga yang sangat terjangkau. Bandingkan dengan kehidupan di luar negeri misalnya. Di negara-negara maju itu kita sepertinya dipaksa untuk bisa pintar dalam segala hal. Mengecat rumah, mengurus bayi, memasak, mencuci, dan sebagainya semua harus bisa dilakukan sendiri. Banyak cerita teman-teman yang tinggal di luar negeri mengaku mendadak jadi pintar dalam segala hal karena terpaksa melakukannya sendiri. Hanya orang yang kaya saja yang boleh bodoh, karena mereka mampu membayar semua kebodohannya dengan uang yang teramat banyak.

Memang argumen terakhir itu bisa saja digunakan di sini. Tapi menurut saya, jika kita mampu lebih baik kita serahkan saja pada orang lain sementara kita menekuni pekerjaan kita yang utama. Intinya adalah membuat prioritas pekerjaan. Ada beberapa alasan yang saya ajukan. Pertama, ongkos yang kita keluarkan terjangkau dan bahkan bisa jadi lebih murah dibanding jika mengerjakan sendiri. Kedua, dari segi kepraktisan sangat positif. Maksud saya, terkadang beberapa pekerjaan memerlukan peralatan khusus. Jika dipakainya hanya untuk sekali tempo, kenapa mesti kita beli? Di Amerika, rata-rata orang memiliki gudang dengan peralatan reparasi yang lengkap karena alasan yang tadi saya sebutkan. Ongkosnya mahal jika menggunakan jasa orang lain. Ketiga, mengalihkan pekerjaan kepada orang lain berarti pula berbagi kemakmuran. Ini artinya kita membantu orang lain.

Anda memahami maksud saya? Bodoh itu tak mengapa. Biarkanlah kebodohan itu menjadi kekurangan kita. Dimaklumi saja, karena saya yakin kita terlahir dengan kepintaran masing-masing. Banyak cerita ibu-ibu yang memiliki anak yang tidak biasa (baca: terlahir cacat) kini membanggakan anaknya yang sudah menjadi luar biasa. Tentunya setelah sebelumnya para ibu ini mengakui apa yang kurang dari diri anaknya. Bukan dengan cara memanjakannya, karena saya lihat adegan ibu dari Korea yang memaksa anaknya yang berjari dua untuk berlatih piano. Caranya bukan dengan bermanis-manis, tapi menyeret anaknya dari kamar keluar ke tempat berlatih. Kebodohan diakui bukan untuk dimanjakan, tapi jadi pemicu untuk mengeluarkan kepintaran yang lain. Kelak, dengan kepiawaiannya bermain piano, anak itu akan mampu mempekerjakan orang lain untuk membantu dirinya. Jika kita melihat dari sudut pandang yang lain, bukan tak mungkin anak cacat itu menjadi tumpuan hidup dari orang lain yang lebih sempurna.

Jadi, bodoh itu tak mengapa. Itu menurut saya. Tekuni satu hal yang Anda yakin itu tepat menurut Anda. Beri bobot di dalamnya dan jadikan hal itu sesuatu yang berguna untuk yang lain. Sementara itu biarkan saja kebodohan itu menjadi kekurangan dari diri Anda.