Minggu, 21 Juni 2009

nonton bioskop


Hari ini jadi pengalaman kedua buat Bintang nonton film di bioskop. Yang pertama, ia aku ajak nonton film Laskar Pelangi. Ini kali judulnya Garuda di Dadaku. Tema-tema yang disajikan pas dengan karakter anak cowok. Aku merasa bersyukur dengan situasi perfilman sekarang. Pas punya anak cowok, pas film anak sedang booming. Sebentar lagi ada film King. Aku sudah janjikan Bintang untuk nonton lagi.

Jaman aku kecil dulu, film yang aku tonton film orang dewasa. Pertamakali nonton malah Al Capone. Diajak ibu. Tentang apa? Lupa sama sekali. Aku hanya ingat diajak ke gedung bioskop. Umurku mungkin masih 5 tahunan. Berikutnya film-film religius macam the Moses sama film kisah Yesus, aku lupa judulnya. Aku cuma ingat merem pas adegan penyaliban. O ya, waktu itu juga ada film Chicha. Satu-satunya film anak-anak. Lantas mulai gelombang film anak-anak dari Hollywood. Aku lupa judulnya, tapi beberapa kali diajak kakak nonton. Film-film itu biasanya diputar bulan Desember, pas hari libur sekolah (jaman Daoed Joesoef) bareng sama Natal. Jadi tema-temanya Natal.

Film anak Indonesia? jarang sekali. O ya, aku ingat ada yang judulnya Nakalnya Anak-anak. Tapi meski jaman dulu jarang ada film anak, banyak kaset cerita anak beredar. Misalnya yang dari sanggar prativi. Seingatku aku punya beberapa kaset cerita seperti itu. Setiap kali diputar di mobil. Aku sampai hafal ceritanya. Sambil mendengarkan sambil membayangkan adegan per adegan.

Film Indonesia lantas ambruk. Sempat diisi dengan tema sex melulu. Lantas mulai tema horor. Jaman sekarang lebih variatif. Tapi yang paling membuat aku bersyukur adalah mulai booming film anak. Pas aku udah punya anak pula.

Meski anakku masih proses pembelajaran, tapi yaa dia mulai menikmati lah. Kali pertama nonton dia masih sibuk mengamati lampu-lampu di anak tangga. Lantas tengok-tengok ke belakang. Tapi pengalaman nonton Laskar Pelangi membuat dia jadi merasa gaul. Dia cerita di sekolah beberapa anak di kelasnya juga nonton. Bahkan mereka sama-sama nyanyi Laskar Pelangi di depan kelas. Hm...baiklah..aku bersyukur mampu ngajak dia nonton. Aku bayangkan bagaimana rasanya anak-anak lain yang tidak nonton ya? Barangkali karena ortunya sibuk atau apa. Yang kali ini anakku cerita kalau temannya sudah nonton Garuda di Dadaku lebih dulu. Wah, bukannya gak mau kalah bersaing. Tapi memang nonton film ini sudah diagendakan, cuma tinggal cari jadwal hari aja. Dan..baru bisa tadi siang. Kemarin Sabtu sebenarnya sudah dijadwal, eh ada kawan yang meninggal. Pas malamnya rencana mau nonton jam 7, udah kehabisan tiket. Akhirnya tadi pagi jam 10.30 udah buru-buru ke bioskop. Belum buka. Tapi yang antri udah mulai banyak. Beruntung kami dapat nomor kursi bagus. D7 dan D8.

Menurutku sih, film Garuda di Dadaku lebih bagus dibandingkan Laskar Pelangi. Lebih mantap karena lebih fokus ceritanya. Tentang seorang anak laki-laki umur 12 tahun yang sangat suka sepak bola, sementara kakeknya ingin ia jadi seniman. Dengan berbagai upaya dan bantuan sahabat-sahabatnya ia pun berhasil lolos menjadi tim nasional sepak bola. Sederhana ceritanya, tapi dikemas dengan baik. Soundtrack-nya juga bagus. Buat aku ini film bagus dan mendidik. Sebagai ibu, sekali lagi, aku bersyukur ada film seperti ini. Bravo film Indonesia. Terima kasih para sineas yang telah membuat film Garuda di Dadaku!

Senin, 01 Juni 2009

Gelar Doktor untuk Gunawan Wiradi


28 Mei 2009

Akhirnya jadi juga penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk Gunawan Wiradi. Kami biasa menyebutnya hanya GWR saja. Beberapa bulan lalu aku sudah mendengar kabarnya. Seorang teman yang memang menjadi salah satu tokoh di balik acara penganugerahan itu sempat meminta bantuan untuk editing. Tentu saja aku bersedia. Tapi bantuanku tak jadi diperlukan karena sudah ada yang menangani. Tak apalah. Diundang untuk ikut menyaksikan dan memeriahkan acara penganugerahannya saja sudah menjadi satu kehormatan tersendiri buatku.

Acara penganugerahan gelar ini berlangsung khidmat, sederhana, dan rapi. Panitia mengaturnya dengan sangat baik. O ya, acara ini diselenggarakan di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Gedung Rektorat IPB, Dramaga, Bogor. Yang aneh adalah sambutan dari Ketua Senat Akademik. Pada paragraf pertama disebut mengenai awal surat permohonan agar IPB memberikan gelar Doktor HC. Kalimat berikutnya menurutku janggal karena berbunyi seperti ini: "...banyak yang bertanya-tanya siapa gerangan beluau dan apa sesungguhnya kiprah beliau di bidang keilmuan. Pertanyaan tersebut amat wajar karena Gunawan Wiradi bukan merupakan sosok pejabat, selebritis atau pengusaha yang banyak dikenal oleh publik..."

Aku bertanya-tanya siapa kira-kira yang dimaksud dengan "banyak yang bertanya-tanya" itu? Apakah anggota Senat Akademik? Kalimat berikutnya seolah menyatakan bahwa mereka yang "banyak bertanya" itu hanya mengenal pejabat, selebritis, dan pengusaha. Aneh kan? Sungguh aku tidak setuju dengan kalimat itu.

Seorang teman yang aku ajak diskusi tentang hal ini mengatakan bahwa kalimat itu sindiran bagi publik yang tidak mengenal intelektual yang banyak berkiprah. Yaa.. bisa saja karena kalimat itu tidak nyata artinya. Siapa yang dimaksud tidak jelas. Tapi tetap saja menurutku alangkah baiknya jika Ketua Senat Akademik menceritakan soal usul penganugerahan gelar itu dari sisi jalur akademis saja. Misalkan bahwa seorang yang mendapat gelar Doktor itu harus memenuhi persyaratan akademis ini dan itu. Dan ternyata setelah ditelusuri GWR memiliki lebih dari sekadar persyaratan itu maka ia layak mendapatkan gelar itu. Nah, bagaimana? Kalau begini kan lebih halus, lebih sopan, sesuai konteksnya. Semestinya aku saja tuh yang bikin teks pidatonya ..he..he..

GWR nampak sangat terharu ketika ia mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan orasinya. Matanya berkaca-kaca, berbicara pun terbata-bata. Ia sungguh menahan tangis. Ucapnya: "Saya ini orang kecil, bukan saja wujud fisik saya yang memang kecil, tetapi juga bahwa saya orang yang tak bertahta dan tak berharta. Tapi toh IPB berkenan menganugerahkan gelar kehormatan ini dengan tulus, tanpa bias apapun! Sungguh suatu kejutan yang amat luar biasa terutama di saat usia saya yang sudah lanjut ini." Kami semua memberi tepuk tangan atas ucapannya. Ia mengucapkan orasinya dengan ringkas, urut, dan tak bertele-tele. Nyaman sekali rasanya mendengarnya bicara. Saya tak bosan dan antusias rasanya. Usai orasi kami semua memberikan standing applause padanya.

Acara penganugerahan ini ditutup dengan dua lagu persembahan yang sangat menarik. Lagu yang pertama sangat berarti buat GWR, yaitu mars sekolah Arjuna, tempat GWR menuntut ilmu. Lagu yang lain adalah Himne Lingkar Belajar Agraria yang adalah ciptaan GWR sendiri. Lagu ini riang nadanya. Para hadirin mengikutinya dengan bertepuk tangan seturut iramanya. Meriah sekali.

Sesudah acara ini selesai kami semua berbaris untuk antri salaman dengan GWR. Di panggung, GWR ditemani oleh sepupu dan kedua keponakannya. GWR sendiri hidup melajang. Dalam kisah hidupnya diceritakan GWR pernah punya pacar. Namun sang pacar meninggal hampir bersamaan dengan wafatnya sang ibu yang tercinta. Peristiwa ini membuat GWR sangat sedih. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, GWR tinggal kelas. Ia rupanya tenggelam dalam kesedihannya. Tapi GWR tak mau tenggelam terlalu lama, ia bergiat dan mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk ilmu pengetahuan terutama untuk mempelajari isu-isu agraria.

Selesai bersalaman, para hadirin digiring ke ruangan yang berbeda untuk santap siang. Usai makan siang kami diundang untuk menghadiri acara berikutnya, yaitu peluncuran sekaligus empat buah buku GWR. Bukan hasil karya baru. Keempat buku itu adalah kompilasi dari tulisan beliau bersama para peneliti lainnya. Aku tak ikut acara itu. Sesudah mengambil keempat buku yang dibagikan secara gratis aku dan suami langsung undur diri.

Di perjalanan aku masih saja terngiang dengan orasi ilmiah GWR. Berikut adalah salah satu kutipannya yang merupakan hasil terjemahan GWR dari puisi seorang pujangga India ternama di tahun 1968 bernama Kalidasa:

"Jika seorang akademikus hanya memikirkan kedudukan demi memperoleh kesejahteraan, dan mengabaikan penelitian,...maka paling banter dia itu hanyalah seorang 'pedagang eceran'! Yang dijual adalah pikiran lain orang".