29 Januari 2008
Kemarin saya diundang diskusi yang diadakan oleh Pusat Studi Penelitian Pembangunan dan Pedesaaan IPB. Mereka mengundang 23 orang dari berbagai instansi untuk dimintai masukan atas hasil penelitian mereka tentang kelembagaan kecamatan di Indonesia. Hasil penelitian itu akan dijadikan bahan bagi perumusan kebijakan tentang kelembagaan kecamatan.
Studi ini berawal dari adanya pandangan yang mengatakan kalau kecamatan di era reformasi ini sudah tidak penting lagi. Jadi ya...sudahlah, dihilangkan saja. Tapi ada juga beberapa kalangan yang tetap ngotot pengen mempertahankan kecamatan. Tim kecil yang terdiri dari sekelompok para ahli - rata-rata doktor lulusan luar negeri mulai beraksi. Mereka menyebar di berbagai wilayah studi: Kalimantan-Barat, Bali, Yogyakarta, Aceh.
Hasil studi mereka memperlihatkan adanya perbedaan karakter kecamatan berdasarkan kondisi lokal masing-masing daerah. Di Bali, dengan adat istiadat yang masih kental, personifikasi camat yang kuat dibutuhkan untuk menjalankan harmonisasi antara pemerintahan desa adat dan desa (dalam struktur kepemerintahan RI). Di Kalimantan Barat, peran camat sungguh luar biasa berat karena mesti turun tangan menangani persoalan perbatasan sebagaimana layaknya representasi pemerintahan negara. Di Bali seorang camat lulusan UI berhasil membuat harmonisasi antara desa adat dan desa modern dalam struktur pemerintahan. Di Yogya, camat kelimpungan karena tak mampu menyiasati dana yang tak mencukupi, lagipula dengan suasana adat istiadat yang kental, perilaku camat sebagai pejabat lokal serba ewuh pakewuh bila berhadapan dengan birokrasi yang lebih tinggi.
Hasil studi beserta rekomendasi untuk kelembagaan kecamatan di masa depan ini dipresentasikan di hadapan kami. Dalam sesi diskusi, yang nyatanya justru didominasi curhat para camat dan mantan camat daerah Bogor, banyak hidden reality muncul.
Para mantan camat membanggakan betapa posisi mereka di masa Orde Baru sungguh penting dan nyata karena difungsikan sungguh sebagai penengah serba bisa bagi kebijakan pusat kepada masyarakat dari soal KB hingga hankam. Untuk masing-masing isu sebelumnya mereka mendapat pelatihan antara seminggu hingga bulanan lamanya. Para camat itu juga harus selalu berkata siap untuk setiap perintah yang dikomandokan, tak peduli apakah perintah itu harus berdampak pada anggaran mereka sendiri. "Kami ini sering nombok", ungkapnya.
Kisah para mantan ini sungguh beda dengan camat di era reformasi. Camat Dramaga berkisah bahwa dengan anggaran 17 juta per bulan dan 103 jenis pekerjaan yang harus dilakukan sesuai peraturan yang berlaku, sungguh tak mungkin. Akibatnya, masyarakat yang kena dampaknya. Mereka tak sungkan menolak dan menyuruh masyarakat mencari layanan yang lain karena kecamatan tak mampu memenuhi. Peran penengah juga tak nampak benar seperti di masa lalu, karena pesan yang seharusnya disampaikan ke masyarakat disampaikan di kabupaten dalam acara briefing bulanan yang menurut mereka hanya disampaikan sambil lalu.
Namun, ketika mendengar bahwa salah satu rekomendasi dari daerah adalah agar kecamatan ini dihapuskan saja dari struktur kepemerintahan, wah, baik mantan camat maupun camat langsung menolak. "Jangan bermain-main dengan pernyataan itu", kata salah seorang dari mereka. Wuih....
Kenapa ya? Padahal di negara maju seperti Jepang, Amerika, dan Jerman, organisasi kecamatan sudah ditiadakan dan diganti menjadi Pusat Layanan Masyarakat. Artinya organisasi ini fungsinya bukan politis lagi, namun hanya sekadar menjadi tempat untuk melayani kebutuhan administrasi publik macam pajak, surat ijin, surat identitas. Di Jepang, istilah kecamatan hanya digunakan sekadar sebagai penyebutan geografis area saja.
Protes ternyata datang pula dari seorang teman dari LSM di Yogya yang menceritakan kalau di Indonesia perubahan itu belum mungkin diadakan. Dia menyebut alasan kondisi geografis (jarak dengan kabupaten) dan ekonomi. Misalnya jika masyarakat harus langsung berurusan dengan kabupaten tentunya repot karena meski keluar ongkos lebih besar.
Tapi tentunya maksud peniadaan kecamatan tidak serta merta dihapus lantas tidak ada peran penengah pengganti. Maksudnya adalah perubahan nama dan fungsi organisasi. Sementara kantornya barangkali ya tetap di situ. Jadi si teman tadi barangkali agak keliru menangkap.
Dalam studinya, tim peneliti memberikan beberapa kondisi kecamatan yang diberi nama sesuai dengan kinerja kerjanya. Yang pertama, bentuk diamond artinya kecamatan hanya menerima perintah dari pusat untuk menyampaikan pesan ke masyarakat. Yang kedua, bentuk diamond setangkup artinya si kecamatan jadi penengah, menyampaikan pesan baik dari masyarakat ke pusat maupun sebaliknya. Ketiga, bentuk sapu lidi. Peran camat cuma sebagai koordinator. Keempat, peran camat tidak ada karena semua koordinasi berjalan dengan sendirinya. Keempat, fungsi kecamatan berubah menjadi pos layanan masyarakat.
Tapi memang sama tim diakui bahwa untuk sampai ke fungsi keempat itu perlu waktu yang lama, juga kondisi masyarakatnya harus yang sudah sangat terdidik, teknologi informasi juga sudah sangat mendukung. Dan tak jarang bentukan itu berubah tak urut. Bisa jadi udah mau ke bentuk ke empat, eh, malah balik ke bentuk pertama lagi. Misalnya akibat bencana alam seperti di Aceh atau gempa di Yogya yang mengharuskan birokrasi yang lebih tinggi untuk turun tangan langsung karena masuk kategori bencana nasional. Atau pergantian rezim pemerintahan misalnya.
Kalo menurut saya, posisi sekarang berada baru saja lepas dari bentuk pertama setelah orde baru berakhir. Dan ketika orde reformasi, justru peran camat luar biasa karena pesan dari birokrasi yang lebih tinggi harus disampaikan ke bawah sementara itu masyarakat juga masih belum bisa lepas dari euphoria reformasi. Yang diperlukan kalau menurut saya adalah kinerja camat yang tangguh, yang meskipun 'cuma' pemimpin lokal, tapi tetep punya virtue.
Saya setuju dengan perubahan menjadi pos layanan masyarakat, tapi tentunya itu memerlukan pra kondisi yang baik dahulu. Dan kita belum siap untuk itu.
Di jaman saya kecil, ketika bapak saya adalah satu dari pejabat lokal, saya menganggap pak camat adalah sosok penting. Selain karena kantornya yang setiap kali terlewat jika pulang sekolah, juga karena mobilnya yang saya sukai. VW kanvas warna oranye.
Seorang sahabat juga terkesan dengan mobil satu itu, dan sering menggumamkan lagu favoritnya: 'vw pak camat.....vw pak camat....."
1 komentar:
Saya pegawai kecamatan, memang tugasnya berat... Pembinaan dan monitoring keuangan desa dan pembangunan, krn skrg banyak sekali dana yang turun ke desa. Harus dimonitor terus, membantu p Kades, biar kades/lurah tdk terjerumus ke masalah hukum. Hal ini muskil dilakukan oleh pegawai inspektorat kabupaten semata, terlalu banyak desa dan kegiatan yg hrs diawasi. Namun anggaran gak ada, sapras tertinggal, sdm kurang.. duh..
Posting Komentar