Selasa, 20 Mei 2008

Syukuran Ultah Prof. Sayogya

20 Mei 2008

Di tengah-tengah keriuhan Hari Kebangkitan Nasional, saya dapat undangan untuk datang ke syukuran ultah Prof. Sayogya ke 82 th. Tempatnya di kediaman beliau sekaligus juga markas Sains (Sayogya Institute) di Jl. Malabar 22, Bogor. Saya sempatkan untuk datang, karena saya tidak berkesempatan menjenguk beliau waktu sakit beberapa waktu lalu. Lagipula ini juga kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman yang jarang saya temui karena mereka berkegiatan di Bogor, sementara saya di Jakarta.

Begitulah, saya naik taksi ke Bogor. Sampai di tempat sekitar jam 12.30 siang, suasana sudah cukup ramai. Ada tenda dipasang di teras samping rumah. Saya sempat terkejut mulanya, karena deretan mobil-mobil yang diparkir di depan rumah berangsur-angsur pergi. Loh, bukankah undangan jam 12 - 14 siang? Sesampai di dalam saya baru dapat jawaban, bahwa ternyata paginya ada acara pengajian terlebih dahulu, kemudian baru makan siang dan silaturahmi. Oooo....jadi saya memang datang sebagai undangan yang kedua. Syukurlah. Saya langsung beranjak untuk cari makan. Yang saya tuju pecel Ngawi dan es Dawet. Saya sempatkan juga untuk menyalami Prof. Sayogya dan mengucapkan selamat ulang tahun.

Di tengah-tengah makan, ada yang meminta untuk masuk ke dalam rumah karena akan ada acara tiup lilin bagian kedua. Ternyata tadi pagi sudah ada tiup lilin tapi dengan tumpeng, dan kali ini dengan kue tar yang terlambat datangnya. Saya tinggalkan makan sebentar dan turut bergabung dengan yang lainnya. Kue tarnya besar dengan foto Prof. Sayogya di tengah dan lilin berbentuk angka 82 di atasnya. Setelah berdoa dan bernyanyi Happy Birthday, beliau meniup lilin dan memotong sebagian untuk diserahkan ke istrinya.

Acara berikutnya adalah silaturahmi atau ramah tamah. Kami semua dikumpulkan di bawah tenda di depan teras samping rumah. Acaranya salam pembukaan dari Direktur Sains (Mohammada Shohib), kemudian beberapa tamu khusus diberi kesempatan untuk memberikan kesan mengenai Prof. Sayogya urutannya Bp. Bambang dari Bina Swadaya (LSM yang didirikan Prof. Sayogya 40 thn lalu), Bp. Gunawan Wiradi (sesama pakar agraria), dan Bp. Lolo Kolopaking (selaku mantan murid di IPB). Yang menarik adalah kesan dari Bp. Lolo yang bercerita tentang masa lalu ketika masih menjadi murid Prof. Sayogya. Setiap tahun di hari ultahnya yang tepatnya jatuh pada 21 Mei, Prof Sayogya selalu mengajak mahasiswanya untuk pergi ke toko buku dan meminta mereka untuk memilih minimal 5 buku. Buku-buku itu dibelikan Prof Sayogya dan nantinya untuk koleksi perpustakaan beliau juga. Selanjutnya, para mahasiswa mendapat tugas untuk meresensi buku-buku itu, sesudah selesai masih ada tugas lagi yaitu mendiskusikannya dengan teman-teman yang lain. Begitulah tiap tahun hingga akhirnya perpustakaan Prof. Sayogya memang menjadi sangat berlimpah dan menjadi warisan yang tak ternilai hingga sekarang. Koleksi buku Prof Sayogya sebagian ada yang dihibahkan ke IPB dan sebagian besar lainnya dikelola oleh Sains.

Sesudah kesan-kesan, ganti Prof. Sayogya sendiri yang memberikan sambutan. Di sini beliau banyak menanyakan tentang kegiatan Sains yang dijawab langsung oleh beberapa pengurus Sains. Berikutnya, penutup, sebagai bagian dari kemeriahan sebuah pesta, ada sumbangan lagu dari seniman Ikatan Pengamen Jalanan (IPC) yang menyanyikan 3 lagu. Wah, saya kagum mendengar lagu-lagunya. Bagus-bagus. Di samping ciptaan sendiri, juga berisi kritik dan ungkapan hati pengamen jalanan. Saya salut.

Nah, selesai sudah keseluruhan acara. Prof. Sayogya dipersilahkan kembali beristirahat mengingat kondisi fisik yang memang belum pulih benar. Sebelum pamitan pulang, saya sempatkan untuk sejenak menyambangi deretan buku-buku yang dipamerkan.

Meski sudah sepuh, Prof. Sayogya tetap memiliki banyak rekan yang menghormati dan mengagumi beliau. Betapa menyenangkannya menjadi beliau. Tak pernah sepi di usia lanjut, sementara banyak lansia yang tepekur sepi menekuni sisa waktu. Saya sendiri tak begitu dekat sebenarnya, keterlibatan saya di aktivitas Sains belumlah lama. Saya sungguh merasa tersanjung dan bangga berada di antara lingkaran Prof. Sayogya.

Di usianya yang lanjut, beliau masih menjadi semacam obor yang membuat generasi berikutnya terus berkeinginan untuk meneruskan idealisme beliau. Saya masih ingat beberapa waktu lalu ketika Prof Sayogya dirawat di rumah sakit akibat serangan jantung, anak-anak Sains nampak sibuk kesana kemari bergantian menginap di rumah sakit. Syukurlah, sekarang kondisi beliau sudah membaik meski masih belum pulih benar.

Malamnya di rumah saya baru mendengar kabar bahwa hari ini ada dua tokoh bangsa yang meninggal, mereka adalah SK Trimurti dan Ali Sadikin. Saya sedih. Terutama dengan kepergian SK Trimurti. Sewaktu menjadi wartawan, saya sempat mau mewawancarai beliau. Pendekatan sudah saya lakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Beberapa kali saya menyambangi kediaman beliau yang sederhana. Sangat sederhana malah. Padahal beliau adalah salah satu tokoh bangsa ini. Ketika itu sekitar tahun 1999. Saya ingat satu-satunya barang yang dibanggakan adalah sebuah kipas angin yang katanya hadiah dari ibu Menteri Peranan Wanita - saya lupa siapa nama yang disebut beliau. Ibu SK Trimurti tinggal sendiri. Kegiatan beliau sehari-hari membuat bedak dingin tradisional yang berbentuk bulir-bulir warna putih. Aduh, saya sangat prihatin. Sampai di kantor saya curhat pada Pemred saya, seharusnya Pemerintah ini lebih memberikan perhatian pada tokoh seperti ibu SK Trimurti. Seharusnya ada seorang yang digaji khusus oleh Pemerintah untuk menemani dan merawat para tokoh yang sudah lansia. Kini ibu SK Trimurti telah tiada. Usianya 96 th. Tak ada keterangan sebab wafatnya. Hanya dikatakan mungkin karena sudah usia. Saya bertanya-tanya, siapa saja yang menemani beliau di saat-saat terakhirnya?

Berbeda dengan Bp. Ali Sadikin. Beliau diberitakan meninggal di RS Gleanegles di Singapura setelah beberapa hari dirawat karena komplikasi. Jenasahnya baru akan diterbangkan besok pagi. Masa lansia Bp. Ali Sadikin atau yang akrab dipanggil Bang Ali jauh berbeda dengan ibu SK Trimurti. Kebetulan saja Bang Ali lebih sejahtera kondisinya. Tentunya kehidupannya juga lebih nyaman. Saya bayangkan di masa senjanya, Bang Ali masih dikelilingi oleh sanak keluarga dan rekan sejawat.

Ibu SK Trimurti memang tidak pernah lagi membuat gerakan-gerakan politis. Namun beberapa kali dulu saya sempat menemui beliau dalam pertemuan peringatan hari Pancasila atau 17 Agustus yang dihadiri oleh para mantan pejuang. Tempatnya bukan di hotel-hotel megah, melainkan di gedung-gedung kuno atau tempat pertemuan yang sederhana.

Ah, hari ini saya melihat kegembiraan sekaligus kesedihan. Sebagaimana juga hari ini ada kemegahan peringatan hari Kebangkitan Nasional di Istora sekaligus kecemasan rakyat kecil akan naiknya harga BBM dan barang-barang kebutuhan lainnya. Hari yang penuh paradoks.

1 komentar:

ahmad-nashih-luthfi mengatakan...

halo mbak, trenyuh aku baca ttg bu SK. Trimurti. Aku pernah baca tulisn beliau tahun 50an tentang buruh. dahsyat skali...

luthfi