Harusnya saya ikut aksi di depan Mahkamah Agung siang ini. Tapi kok ya pas dapat mens. Ini hari kedua. Jadi pas mules-mulesnya. Reseh juga, masak perjuangan berhenti gara-gara dapat mens. Tapi ya sudahlah, saya toh bisa jaga kantor.
Judul posting kali ini adalah salah satu ungkapan yang dilontarkan Pak Rahman Tolleng, maha guru kami tentang apa yang harus dilakukan agar lembaga negara yang bernama MA ini tak makin kacau. Belakangan putusan MA ini makin sulit dinalar, mereka memenangkan kasus Suharto vs Time, membebaskan pembunuh Munir dan yang paling menjengkelkan saya adalah menolak uji materi Perda Tangerang yang isinya sangat diskriminatif. Mengapa membuat jengkel karena Perda ini terkait langsung dengan saya sebagai perempuan yang tinggal di Serpong.
MA juga keterlaluan karena melakukan pembenahan administrasi seenak perutnya sendiri seperti memperpanjang masa pensiun dan menentukan besaran gaji, serta menolak diaudit BPK. Lha? Kok ada ya?
Bagaimana kalau MA dibubarkan? Ya tidak bisa, dong. Sistem hukum di negara kita membutuhkan lembaga itu. Lantas? Cara terbaik ya itu tadi: throw the rascal out of the institution! Kan bukan lembaganya yang salah. Tapi orang-orang yang menetapkan sistem permainan seenaknya sendiri di dalam lembaga itu yang salah.
Saya sendiri sungguh tak habis mengerti bagaimana cara berpikir orang-orang di MA itu? Bebal dan sungguh tak mau membuka mata pada kondisi rakyat.
Sungguh semenjak saya bergabung kembali dengan teman-teman lama setelah vakum lama, saya sangat sedih. Banyak sekali orang bebal di negeri kita ini. Saya memang belum berbuat banyak. Juga tak banyak mengerti. Tapi sering saya berpikir orang-orang seperti Rahman Tolleng pastilah setiap saat gelisah. Karena beliau tau banyak dan melihat banyak. Sementara itu beliau sudah makin menua dan ringkih, ulang tahun beberapa bulan lalu umurnya sudah sekitar 70an. Tapi siang ini beliau ikut demo juga. Saya sungguh kagum sama beliau. Berapa banyak yang kita punya ya tokoh-tokoh macam beliau?
Beberapa waktu saya bertemu Bapak Dawam Rahardjo, beliau sudah sangat sepuh, sudah tak mampu baca. Secara periodik harus cuci darah. Saya sempat menemaninya duduk dan berbincang, beliau cerita soal penyakitnya, juga tak boleh sembarang makan, dietnya ketat. Dalam waktu dekat barangkali mau ke Guang Zhou untuk berobat. Lantas ketika kemarin saya menghubungi kediaman Bapak Mohtar Pabotingi, beliau di rumah sakit Harapan Kita, baru saja operasi jantung lagi. Pembantunya yang mengangkat telepon cerita kalau Pak Mochtar masuk RS hari Minggu, 30 September.
Saya hanya bisa berdoa untuk mereka. Juga mengagumi pemikiran dan pribadi para tokoh besar itu. Hanya sedikit jumlahnya, tapi mereka terus berupaya. Gelombang kebobrokan bangsa ini rupanya terlalu besar dan makin membesar hari demi hari. Sementara upaya untuk membuat benteng tak seberapa besarnya. Meski begitu kami harus tetap optimistis. Terus dan terus menggulirkan kebaikan dan kebenaran untuk generasi mendatang.
Saya lantas ingat salah satu penggalan sajak Chairil Anwar yang barangkali merupakan cermin kegelisahan para tokoh sepuh itu:
"kami sudah coba,
apa yang kami bisa
tapi kerja belum selesai
belum apa-apa"
(chairil anwar)
apa yang kami bisa
tapi kerja belum selesai
belum apa-apa"
(chairil anwar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar