13 September 2007
DPRD DKI Jakarta kemarin mengesahkan Raperda Ketertiban Umum yang baru menggantikan Perda Ketertiban Umum 1988. Menurut media, perda yang baru ini berisi 101 larangan yang mengatur di antaranya joki three ini one, PSK, pedagang asongan dan yang paling kontroversial adalah larangan untuk memberi sedekah pada pengemis jalanan.
Tadi pagi saya lihat tayangan Metro TV wawancara dengan warga DKI yang menyetujui Perda tersebut. Alasannya para pengemis ini memang mengganggu karena sering meminta uang dengan paksa. Ia juga mengatakan seandainya hanya satu orang pengemis pun tak apa dia akan memberi uang, tapi jika dalam satu bis ada 10 orang pengemis dan rata-rata meminta dengan paksa, maka tentulah situasinya akan menjengkelkan.
Saya setuju dengan pendapat warga tadi. Dalam posting blog bulan Juli -kalau tidak salah- saya pernah menuliskan tentang para pengemis jalanan ini. Memang benar, pemandangan di ibukota negara ini menjadi sangat terganggu dengan keberadaan mereka. Kenapa? Karena mereka menjadi paradoks dalam pembangunan kota metropolitan ini. Bayangkan saja di antara jajaran mobil-mobil mewah, tiba-tiba mereka menyelinap bermodalkan kemoceng usang atau baju compang camping atau sambil gendong bayi yang mungkin umurnya belum sampai 3 bulan.
Kemarin lusa saya mendapati seorang ibu dan anak kecil (mungkin juga bukan anaknya) yang baru berumur 2 tahun di jembatan penyeberangan depan Hotel Nikko, Thamrin. Si anak rupanya sedang sakit perut. Dia (maaf) buang air besar berupa cairan di sana. Si ibu dengan santainya menaruh celana pendek si anak untuk menadahi kotoran. Ketika saya melintas baunya sedikit tercium karena angin di atas jembatan penyeberangan kencang bertiup. Tujuan saya kebetulan adalah ke Plaza Indonesia - salah satu plaza bergengsi di Jakarta. Bukan untuk belanja atau jalan-jalan, saya ke sana karena tetangga saya memerlukan bantuan saya untuk nyupirin mobilnya. Saya sendiri sudah lamaaaa sekali nggak masuk plaza ini. Sempat nyari pintu masuknya mana. Begitu dapat, saya memasuki lorong-lorong pertokoan yang penuh barang-barang mewah. Kontras sekali suasananya dengan apa yang baru saja saya dapati di luar tadi. Saya menghela nafas.
Kembali ke soal Perda tadi. Bagaimana pendapat saya pribadi? Saya setuju, asal Pemda benar-benar punya kemampuan untuk menghadapi kaum pinggiran itu. Dan kalau dilihat kenyataannya, saya pesimistis. Misalnya saja, pernyataan Sutiyoso kalau para pengemis dan gelandangan itu akan diurus dan diberi ketrampilan. Bagus sih idenya, tapi apakah amunisi Pemda mendukung? Seperti berapa anggaran yang sudah disiapkan? Apa saja jenis pelatihannya? Berapa banyak nanti petugas yang akan mengawasi supaya jangan ada orang yang memberi sedekah atau membeli di petugas asongan?
Kemarin-kemarin waktu Sutiyoso nggusur kolong-kolong jalan layang, sekolah Kartini yang selama ini dikelola ibu kembar ikut kegusur juga. Ketika mereka terpaksa menyerahkan murid-murid ke Pemda untuk diteruskan sekolahnya, apa hasilnya? Para murid itu menolak, dan terpaksa ibu kembar membangun lagi sekolah darurat yang meskipun lokasinya sekarang agak jauh, para murid toh rela ke sana. Mengapa? Saya pikir karena cara pemberian pendidikannya berbeda. Saya bayangkan para murid itu dimasukkan ke sekolah biasa dengan kurikulum nasional - dan ini tentu saja berbeda visi dan misi nya dengan apa yang selama ini diterapkan di sekolah Kartini. Menurut ibu kembar seperti pernah dimuat di media massa, di sekolah Kartini, penguasaan ketrampilan lebih diutamakan ketimbang kemampuan akademis. Hasil karya murid-murid sekolah Kartini sudah menghasilkan jutaan rupiah. Pemasarannya selama ini diurus juga oleh ibu kembar baik yang melalui penjualan door to door, basar, maupun pameran. Saya kira para murid itu memikirkan masa depan mereka. Ini perubahan yang cukup drastis. Tak salah seandainya mereka tak mau sekolah di sekolah umum.
Pengalaman itu setidaknya bisa memberikan sedikit bayangan bahwa Pemda belum memiliki kemampuan untuk merangkul kaum marjinal tadi. Barangkali bukan saja kemampuan secara finansial karena bisa jadi dibandingkan kantong ibu kembar, kantong Pemda lebih tebal (hanya saja banyak tikus-tikus yang menggerogoti); kemampuan yang lain saya perkirakan adalah kemampuan untuk ber-empati. Ketulusan hati untuk mengentaskan kaum marjinal dari kemiskinan dan memberikan ketrampilan agar mereka benar-benar mandiri. Tengok saja kilas balik kisah ibu kembar yang akhirnya malah "terperangkap" di kolong tol.
Ketika itu, saya lupa tahunnya, sekitar 1990-an, mobil ibu kembar yang kebetulan melintas di kolong tol kempes bannya. Sambil menunggu ban ditambal mereka duduk di pinggir jalan dan melihat dengan mata sendiri bagaimana kehidupan kaum pinggiran. Pengalaman ini menimbulkan gagasan untuk membantu para gelandangan dan anak terlantar melalui pendirian sekolah darurat dan pemberian ketrampilan.
Dari sini saya kira kita bisa melihat perbedaan pemberian perlakuan pada kaum marjinal. Ibu kembar memulai kegiatannya dari simpati dan empati. Sementara dari pemerintah, saya kira masih sebatas 'kewajiban'. Adakah simpati dan empati di sana? Who knows? Kita punya pengalaman soal penggusuran pedagang kaki lima, penggusuran tempat tinggal tak berijin, penertiban pengemis dan gelandangan di jalan-jalan, penertiban joki three in one, penertiban PSK. Apa yang kita lihat di sana? Yang sering terjadi sih, ada kekerasan - ada pemaksaan. Selalu berlangsung kisruh.
Bukannya saya antipati sama pemerintah. Saya usul seandainya Pemerintah kerjasama dengan para simpatisan kaum marjinal - bisa individu, bisa LSM, bisa Yayasan - apakah tidak lebih baik jadinya? Barangkali saja Perda itu tak perlu ada.
Pemerintah itu tidak mampu untuk menangani berbagai macam hal. Itu tesis dasar saya. Maka, mbok ya pemerintah jangan arogan lah. Bahwa Perda itu mengundang kontroversi itu jelas. Apalagi disahkan awal bulan Ramadan, katanya sih, untuk tameng bakal banyaknya pengemis di bulan Ramadan. Tapi, kalau itu tujuannya, kan ini tujuan jangka pendek? Sementara Perda kan bisa sampai 5 tahun lebih umurnya?
Saya terus terang pesimistis (lagi). Meskipun tujuannya jelas baik - baik bagi pengguna jalanan (karena bakalan merasa lebih nyaman) - baik bagi kaum marjinal (karena bakalan ada yang ngurus dan ngasih pelatihan) - baik bagi Pemda (karena seperti diingatkan lagi akan kewajibannya untuk ngurus warga), tapi ini bukan pekerjaan yang mudah.
Bagi saya, ini sebenarnya Perda yang ditujukan untuk Pemda sendiri. Ini saatnya Pemda betul-betul mengurus kaum marjinal. Dan saya sungguh berharap semoga pekerjaan ini bukan sekadar menjalankan kewajiban, tapi dipenuhi rasa simpati dan empati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar