Sabtu, 21 Februari 2009

Bodoh itu tak mengapa

22 Februari 2009

Halah! Udah berapa bulan saya gak posting blog? Emang saya ini orangnya anget-anget tai ayam. Begitu kata suami saya suatu kali. Semuanya mau dikerjakan, tapi gak tekun. Satu dua kali memang jadi proyeknya dan yaaa...tak jelek-jelek amatlah. Tapi kemudian udah, frekuensi mulai melambat dan lama-lama tak disentuh sama sekali.

Nah, tiba-tiba saya pengen nulis lagi. Mungkin karena saya ikut kursus narasi. Baru mulai kemarin sih, tapi udah mengobarkan semangat dan mulai menyala-nyala nampaknya. Memang bagi para 'penonton' yang sudah paham saya akan bilang, "Aaaah...paling-paling juga menyala sebentar abis itu redup". Tapi kalau yang optimistis ya barangkali akan bilang "Eh, mana tahu sekarang ini saatnya. Jadi ya biarkan saja dia mencoba-coba".

Baiklah, sekarang saya sedang menulis. Barusan saja terlintas ide lama yang sebenarnya dulu mau saya masukkan ke blog tapi selalu tertunda-tunda, atau tepatnya saya sendiri yang suka menunda-nunda pekerjaan yang akhirnya mudah ditebak, tak dikerjakan juga. Ide yang akan saya tulis itu soal "kebodohan". Saya mulai berpikir bahwa bodoh itu baik adanya. Maksud saya begini, dalam hidup tak perlulah kita untuk mengetahui segala macam hal. Kalau kata Injil kira-kira begini, biarkanlah Bapamu di surga yang mengatur semuanya karena itu tak perlulah kau mengetahui segala hal. Sepertinya begitu bunyi ayatnya, nantilah saya tengok lagi. Bodoh itu menurut saya perlu, mengapa? Karena kalau kita pintar dalam segala hal, maka akan ada banyak orang yang tak bisa makan. Lho kok?

Bayangkan saja kalau kita pandai dalam segala hal, sehingga untuk menambal ban, menjahit, membetulkan sepatu, membetulkan mesin mobil, dan banyak hal lainnya, lantas bagaimana dengan banyaknya tenaga kerja yang menganggur di sekitar kita? Saya kira seseorang perlu lah untuk fokus dalam beberapa hal saja dalam hidup. Selebihnya serahkan pada yang ahlinya. Jadi jika seorang Wakil Gubernur Jawa Tengah (sekarang) Rustriningsih terbalik memasang popok anaknya (saya baca dalam suatu wawancara di Tempo Minggu tanggal berapa saya lupa), itu tak perlu ditertawakan. Karena kita semua tahu Rustriningsih adalah politisi perempuan lokal yang patut diakui kepiawaiannya. Dan berapa sih jumlah politisi perempuan di Indonesia? Jadi biarkanlah kebodohan itu tetap menjadi kebodohan Rustriningsih. Dan, toh dia tak malu mengakuinya. Rustriningsih justru bisa memberdayakan orang lain untuk mengurus anaknya.

Suami saya tak bisa menyupir. Bagi saya tak mengapa, karena saya tahu pasti dia mempunyai kelebihan yang tak dimiliki para suami lainnya yang bisa menyupir. Kepiawaiannya menulis dan menterjemahkan membuat saya bangga sebagai isterinya. Ia juga sering diundang sebagai pembicara pada berbagai kegiatan. Pilihannya untuk menekuni soal-soal 'perbukuan' juga bukan pilihan yang main-main karena dia melakukannya dengan tekun dan serius. Dia sangat menjaga kualitas saat bekerja. Karenanya, kalau saat ini saya lah yang membawa mobil dan menjadi supir keluarga, bagi saya tak mengapa karena ya saya bisa melakukannya. Sebaliknya saya tak bisa melakukan apa yang dikerjakan suami saya. Meskipun saya juga bisa menulis dan menterjemahkan, tapi hasilnya masih sangat jauh dibanding hasil pekerjaan suami. Jadi, jika suami saya bodoh dalam urusan mobil, itu tak mengapa buat saya. Benar memang dia mulai belajar menyupir, tapi itu karena disuruh oleh atasannya. Meskipun dia enggan, tapi dia mau juga sedikit demi sedikit. Saya tahu dalam hatinya dia menolak. Makanya saya turutin saja, kalau dia mau belajar ayok, kalau tak mau ya saya tak memaksa.

Di Indonesia, dimana tenaga kerja sungguh berlimpah, maka kebodohan-kebodohan semacam itu sangat bermanfaat. Jika kita tak bisa memasak, kita bisa memanfaatkan kepandaian orang lain yang menjual hasil masakannya. Jika kita tak bisa membereskan rumah, kita bisa menyewa seseorang yang pandai bersih-bersih rumah. Dan banyak lagi lainnya dengan harga yang sangat terjangkau. Bandingkan dengan kehidupan di luar negeri misalnya. Di negara-negara maju itu kita sepertinya dipaksa untuk bisa pintar dalam segala hal. Mengecat rumah, mengurus bayi, memasak, mencuci, dan sebagainya semua harus bisa dilakukan sendiri. Banyak cerita teman-teman yang tinggal di luar negeri mengaku mendadak jadi pintar dalam segala hal karena terpaksa melakukannya sendiri. Hanya orang yang kaya saja yang boleh bodoh, karena mereka mampu membayar semua kebodohannya dengan uang yang teramat banyak.

Memang argumen terakhir itu bisa saja digunakan di sini. Tapi menurut saya, jika kita mampu lebih baik kita serahkan saja pada orang lain sementara kita menekuni pekerjaan kita yang utama. Intinya adalah membuat prioritas pekerjaan. Ada beberapa alasan yang saya ajukan. Pertama, ongkos yang kita keluarkan terjangkau dan bahkan bisa jadi lebih murah dibanding jika mengerjakan sendiri. Kedua, dari segi kepraktisan sangat positif. Maksud saya, terkadang beberapa pekerjaan memerlukan peralatan khusus. Jika dipakainya hanya untuk sekali tempo, kenapa mesti kita beli? Di Amerika, rata-rata orang memiliki gudang dengan peralatan reparasi yang lengkap karena alasan yang tadi saya sebutkan. Ongkosnya mahal jika menggunakan jasa orang lain. Ketiga, mengalihkan pekerjaan kepada orang lain berarti pula berbagi kemakmuran. Ini artinya kita membantu orang lain.

Anda memahami maksud saya? Bodoh itu tak mengapa. Biarkanlah kebodohan itu menjadi kekurangan kita. Dimaklumi saja, karena saya yakin kita terlahir dengan kepintaran masing-masing. Banyak cerita ibu-ibu yang memiliki anak yang tidak biasa (baca: terlahir cacat) kini membanggakan anaknya yang sudah menjadi luar biasa. Tentunya setelah sebelumnya para ibu ini mengakui apa yang kurang dari diri anaknya. Bukan dengan cara memanjakannya, karena saya lihat adegan ibu dari Korea yang memaksa anaknya yang berjari dua untuk berlatih piano. Caranya bukan dengan bermanis-manis, tapi menyeret anaknya dari kamar keluar ke tempat berlatih. Kebodohan diakui bukan untuk dimanjakan, tapi jadi pemicu untuk mengeluarkan kepintaran yang lain. Kelak, dengan kepiawaiannya bermain piano, anak itu akan mampu mempekerjakan orang lain untuk membantu dirinya. Jika kita melihat dari sudut pandang yang lain, bukan tak mungkin anak cacat itu menjadi tumpuan hidup dari orang lain yang lebih sempurna.

Jadi, bodoh itu tak mengapa. Itu menurut saya. Tekuni satu hal yang Anda yakin itu tepat menurut Anda. Beri bobot di dalamnya dan jadikan hal itu sesuatu yang berguna untuk yang lain. Sementara itu biarkan saja kebodohan itu menjadi kekurangan dari diri Anda.







Tidak ada komentar: