Jumat, 23 Mei 2014, pukul 11 lewat 10 menit. Layar monitor raksasa di atas gerbang tol Karang Tengah, Tangerang menunjukkan kecepatan kendaraan menuju Jakarta rata-rata 20-30 km/jam. Duh, rasanya mau langsung putar balik. Apa daya tak ada U-turn di tol. Begitu memasuki tol, sudah langsung merayap. Mobil kecil saya berada di tengah lautan mobil. Mirip teri di sela kawanan paus.
Undangan kali ini rasanya sulit ditolak. Enrico Halim, seorang kawan yang saya kagumi hasil karyanya itu mengundang untuk datang ke Tarumanegara Knowledge Centre (TKC), Universitas Tarumanegara, Grogol, Jakarta. Bukan acara akademis, melainkan Panen Raya kebun hidroponik mereka.
Enrico bilang acaranya santai, jadi saya ajak anak-anak saya, Bintang dan Putri. Ini kesempatan langka. Sekitar dua tahun lalu saya pernah ajak Bintang ke Parung, Bogor untuk mencaritahu tentang apa itu hidroponik. Tulisan tentang perjalanan Bintang ke Parung pernah dimuat di situs Akumassa (http://akumassa.org/kontribusi/bogor-jawa-barat/berkunjung-ke-parung-farm-bogor/)
Tapi Putri belum pernah melihat seperti apa kebun hidroponik. Buat Bintang pun ini akan jadi pengalaman baru karena instalasi hidroponik di Parung di luar ruang sedangkan di TKC instalasinya berada di dalam gedung.
Kabarnya pula, kebun hidroponik TKC ini adalah kebun hidroponik di dalam gedung pertama di Indonesia. Untuk pembangunan kebun ini, TKC bekerja sama dengan Kebun Sayur - sebuah usaha yang bergerak di bidang hortikultura yang memproduksi berbagai jenis sayur dengan metode hidroponik di Kampung Maruga, Desa Serua, Tangerang Selatan.
Saya sendiri sungguh ingin datang karena foto-foto tentang kebun hidroponik TKC yang diunggah di fesbuk sungguh menggoda. Dan, jika sekarang saya punya kesempatan untuk bisa melihatnya sendiri. Kenapa tidak?
Jadi, begitulah. Biarpun lautan (mobil) harus kuseberangi dan gedung parkir Universitas Tarumanegara yang penuh sesak itu harus kudaki hingga lantai 5. Akhirnya sampailah kami bertiga di Gedung Utama. Aaaah…lega, adem sekali di dalam gedung.
Ruang yang pertama kami tuju adalah Ruang Seminar di lantai 5 untuk mengikuti Bincang Hidroponik bersama Ir. Tony Iskandar, seorang ahli hidroponik. Begitu keluar dari pintu lift, jika menengok ke kanan di ujung lobi lift akan terlihat instalasi hidroponik yang ditumbuhi selada-selada. Instalasi itu seolah jadi filter yang menyejukkan sebelum memandang barisan gedung dan kemacetan di bawah.
Di ruang seminar, beberapa tamu sudah datang. Saya pilih tempat yang agak tenang di sayap kiri. Agak susah memilihkan tempat duduk buat anak-anak. Setelah tiga kali berpindah, barulah anak-anak diam. Meski tidak terlalu sempurna, setidaknya anak saya bisa menjulurkan kepala untuk melihat apa yang terjadi di depan.
Acara dimulai dengan paparan dari Bapak Ir. Toni Iskandar, ME tentang hidroponik. Kata “hidroponik”, terang Pak Toni, berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos(kerja). Istilah ini dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of California pada awal 1930-an. Saat itu, Gericke melakukan percobaan hara tanaman dalam skala komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hidroponik (hydroponics).
Hidroponik adalah cara budidaya tanaman tanpa menggunakan media tanam tanah, tapi menggunakan media inert (media yang tidak menyediakan unsur hara, fungsinya hanya sebagai buffer atau penyangga tanaman) seperti batu gravel, pasir, atau peat yang diberi larutan hara yang mengandung semua elemen penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman.
"Mau tanam apapun dengan cara hidroponik bisaaa..! Pohon kelapa pun bisa kalo mau, tapi lama panennya. Makanya yang menggunakan hidroponik biasanya dipilih tanaman yang masa panennya singkat seperti selada, misalnya," kata Pak Toni. Sembari menerangkan, sesekali ia menunjukkan wadah hidroponik yang sarat tanaman selada untuk memperjelas.
Putri ternyata menyimak. Ia ikut corat-coret di buku saat melihat saya menulis. Ia mengulang-ulang pesan dari Pak Toni yang tadi didengar, “Airnya jangan terlalu banyak banyak, dan jangan terlalu sedikit.” Kalimat itu juga diucapkannya lagi saat sampai di rumah dan cerita ke ayahnya tentang kegiatannya sepanjang hari itu.
Usai presentasi, hadirin diajak menyemai bibit sayur di rockwool - media tanam yang berasal dari batu basalt yang dipanaskan hingga mencair, lantas diputar kencang hingga menjadi serabut-serabut halus yang menurut Pak Toni, “jadi mirip harumanis (cottoncandy)”. Serabut-serabut tadi lantas dipadatkan seperti kain wool yang terbuat darirock – itulah sebabnya ia dinamakan rockwool. Ada juga yang menyebutnya sebagaimineral wool.
Masing-masing pengunjung mendapatkan sebongkah rockwool dan seplastik kecil bibit. Kami dapat bibit pakcoy. Bintang dan Putri sangat bersemangat di sesi ini. Sama seperti mereka, saya pun baru pertama kali melihat rockwool. Kami bergantian mencoba melakukan tahapan menyemai bibit. Pertama, kerat permukaan rockwool dengan tusuk gigi secara vertikal dan horizontal hingga terbagi menjadi beberapa persegi. Selanjutnya, masukkan bibit sayur pada titik/lobang pertemuan keratan.
Bintang bertugas mengerat rockwool . Tapi keratannya tidak rapi. Putri yang bertugas menyemai bibit meletakkannya begitu saja di permukaan rockwool tanpa peduli ada keratan atau tidak. Seharusnya, satu lobang cukup dua butir bibit saja, tapi satu kemasan plastik ia habiskan.
Sesudah seremonial serah terima doorprize, hadiah lomba, dan penghargaan kepada tim Kebun Sayur atas partisipasinya dalam pengadaan kebun hidroponik di TKC, semua hadirin dipersilakan menuju Executive Lounge untuk menukarkan kupon dengan kopi, kudapan, dan buket sayur hasil panenan.
Nah, ini saat yang saya tunggu. Saya ajak anak-anak masuk ke perpustakaan untuk melihat kebun hidroponik yang lain. Jika instalasi yang di lobi lift sebelumnya menggunakan sistem NFT (Nutrient Film Technique) maka yang di dalam perpustakaan menggunakan sistem Dutch Bucket.
Sistem NFT adalah sistem hidroponik dimana larutan nutrisi dipompa secara konstan masuk ke wadah tumbuh untuk kemudian mengalir melalui akar-akar tanaman dan kembali ke wadah penampung. Sistem ini tidak menggunakan media tanam selain udara. Akar tanaman dibiarkan menjuntai ke dalam larutan nutrisi (bare root system/sistem akar telanjang).
Beda dengan sistem NFT, sistem Dutch Bucket menggunakan media tanam. Di lantai 6 ada tanaman tomat, di lantai 7 ada tanaman cabe. Keduanya ditanam pada media batu Gravel yang diletakkan dalam wadah bekas es krim. Larutan nutrisi mengalir dari permukaan wadah menuju bawah mengenai perakaran tanaman. Wadah dilubangi di bagian samping dan dipasangi pipa untuk mengalirkan sisa nutrisi menuju wadah penampungan.
Baik sistem NFT maupun Dutch Bucket menggunakan sistem tertutup dimana larutan nutrisi yang berada di wadah penampungan dipompakan kembali ke wadah tumbuh secara terus menerus. Kedua sistem juga menggunakan grow-light untuk merekayasa cahaya guna merangsang pertumbuhan tanaman. Ada lampu LED warna biru dan merah yang digunakan. Campuran kedua warna menyemburkan warna ungu yang cantik.
Saya tidak tahu panen raya yang sedang dirayakan ini di kebun hidroponik yang di lantai berapa. Panitia tidak menginformasikannya. Dugaan saya bukan yang menggunakan sistem Dutch Bucket. Karena hasil panenan yang ditampilkan adalah dari jenis selada seperti Oakleaf Green, Oakleaf Red, Butterhead, Romaine, dan Endive yang kalau saya perhatikan ditanam dengan sistem NFT.
Padahal saya ingin lihat seperti apa kegiata panen, saya bahkan berharap ada sesi dimana undangan diperbolehkan ikut panen. Atau jika tidak memungkinkan, ya setidaknya ada video yang memperlihatkan kegiatan panen. Sebelum acara dimulai tadi, ada video yang diputar tapi bukan tentang panen raya melainkan tentang pembangunan instalasi kebun hidroponik yang dikerjakan oleh tiga orang yaitu: Agus, Iyeng, dan Roni.
Jadi, sepanjang acara berlangsung saya hanya bertanya-tanya sendiri. Suasana ramai ditambah harus mengawasi dua anak yang tidak bisa diam membuat saya tidak punya banyak kesempatan untuk mencaritahu. Yang bisa saya lakukan kemudian adalah memotret dan mengudap sambil mengobrol ringan dengan teman. Putri girang dapat buket selada hasil panen.
Obyek yang saya potret sebenarnya tidak hanya soal kebun hidroponik melainkan mantel rajut yang digunakan pada instalasi hidroponik yang menggunakan sistem Dutch Bucket dan vertikulutur di Executive Lounge. Mengapa? Karena saya dan teman saya, Lisa yang membuatnya. Kami berdua punya usaha rajut bersama yang kami namai Teh Sereh Craft. Pada sistem NFT, rajutan yang membalut instalasi hidroponik dikerjakan oleh teman kami yang lain, Ati dan Nyoman. Kami bersyukur bisa terlibat. Sungguh suatu kehormatan.
Tarumanegara Knowledge Centre (TKC) adalah salah satu fasilitas Universitas Tarumanegara yang menempati lantai 6,7,8, dan 9 di Gedung Utama. Ia juga terhubung langsung ke lantai 5 dan Executive Lounge. Sesuai namanya, TKC diproyeksikan akan menjadi salah satu pusat pengetahuan di perkotaan sesuai dengan tema Untar sebagaithe learning gateway dan urban campus. Perpustakaan adalah inti dari TKC.
Sesudah diresmikan pada 2007, sejak pertengahan 2013 lalu TKC memulai program aktivasinya melalui sebuah proyek kerja yang diberinama Grogol 11401. Saya kira Enrico Halim punya peran besar di proyek ini. Saat memberi sambutan dalam pembukaan acara, Bapak Gunardi, Ketua Yayasan Tarumanegara mengatakan Grogol 11401 diharap mampu memberi imajinasi, mengembangkan jiwa, dan menginjeksi energi publik untuk berkarya.
Khusus untuk Kebun Hidroponik, Pak Gunardi menyebutnya bagian dari pelaksanaan konsep green building di Universitas Tarumanegara. Universitas sendiri sebenarnya tidak punya fakultas pertanian. Saya kira ini pilihan konsep yang bagus, sesuai dengan tema besar Hari Bumi yang dirayakan di seluruh dunia tahun ini tentang bagaimana membangun kota-kota hijau (green cities) dengan dukungan teknologi. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan menguatkan ekonomi. Dan, bukankah pembangunan kebun hidroponik di dalam gedung itu adalah keputusan yang tepat?
Kebun hidroponik TKC itu adalah hasil dari Program Injeksi Visual milik Grogol 11401 yang bertema Berkarya Dengan Gaya. Jika Anda berkunjung ke TKC, Anda bisa menyaksikan hasil program Injeksi Visual selain instalasi hidroponik berbalut mantel rajut.
Tengok saja ratusan bangau origami dari kertas bekas karya Nina Mansyur yang terpasang pada langit-langit gedung dan menjulur hingga lima lantai, stiker besar Maneki Neko (kucing mengundang pembawa keberuntungan) pada pintu kaca perpustakaan, dan Beca Baca di dalam perpustakaan yang dilukis oleh Jhons Patriatik Karlah dan Suminta
Menarik melihat karya-karya visual yang terpajang di TKC. Staf di sana berulangkali menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu sesuai dengan semangat kerja Grogol 11401 yaitu membolehkan hal-hal sederhana menjadi luar biasa.
Sayang, saya tidak sempat melihat peta Jakarta sebagaimana yang diunggah di akun fanpage fesbuk Grogol 11401. Peta potongan Jakarta selebar 19 meter persegi ini dilukis seniman Robowobo pada materi multiplek. Mungkin kapan-kapan saya akan tengok seperti apa peta itu. Saya akan ajak Bintang dan Putri lagi, saya yakin mereka akan mengagumi karya unik itu. Sore itu kami cukup puas membawa pulang buket selada hasil panen dan rockwool berisi benih pakcoy yang telah disemai.*
PS. Saat tulisan selesai, benih pakcoy sudah berkecambah dan tumbuh. Umurnya baru 3 hari, seperti ini jadinya:
Undangan kali ini rasanya sulit ditolak. Enrico Halim, seorang kawan yang saya kagumi hasil karyanya itu mengundang untuk datang ke Tarumanegara Knowledge Centre (TKC), Universitas Tarumanegara, Grogol, Jakarta. Bukan acara akademis, melainkan Panen Raya kebun hidroponik mereka.
Enrico bilang acaranya santai, jadi saya ajak anak-anak saya, Bintang dan Putri. Ini kesempatan langka. Sekitar dua tahun lalu saya pernah ajak Bintang ke Parung, Bogor untuk mencaritahu tentang apa itu hidroponik. Tulisan tentang perjalanan Bintang ke Parung pernah dimuat di situs Akumassa (http://akumassa.org/kontribusi/bogor-jawa-barat/berkunjung-ke-parung-farm-bogor/)
Tapi Putri belum pernah melihat seperti apa kebun hidroponik. Buat Bintang pun ini akan jadi pengalaman baru karena instalasi hidroponik di Parung di luar ruang sedangkan di TKC instalasinya berada di dalam gedung.
Kabarnya pula, kebun hidroponik TKC ini adalah kebun hidroponik di dalam gedung pertama di Indonesia. Untuk pembangunan kebun ini, TKC bekerja sama dengan Kebun Sayur - sebuah usaha yang bergerak di bidang hortikultura yang memproduksi berbagai jenis sayur dengan metode hidroponik di Kampung Maruga, Desa Serua, Tangerang Selatan.
Saya sendiri sungguh ingin datang karena foto-foto tentang kebun hidroponik TKC yang diunggah di fesbuk sungguh menggoda. Dan, jika sekarang saya punya kesempatan untuk bisa melihatnya sendiri. Kenapa tidak?
Jadi, begitulah. Biarpun lautan (mobil) harus kuseberangi dan gedung parkir Universitas Tarumanegara yang penuh sesak itu harus kudaki hingga lantai 5. Akhirnya sampailah kami bertiga di Gedung Utama. Aaaah…lega, adem sekali di dalam gedung.
Ruang yang pertama kami tuju adalah Ruang Seminar di lantai 5 untuk mengikuti Bincang Hidroponik bersama Ir. Tony Iskandar, seorang ahli hidroponik. Begitu keluar dari pintu lift, jika menengok ke kanan di ujung lobi lift akan terlihat instalasi hidroponik yang ditumbuhi selada-selada. Instalasi itu seolah jadi filter yang menyejukkan sebelum memandang barisan gedung dan kemacetan di bawah.
Di ruang seminar, beberapa tamu sudah datang. Saya pilih tempat yang agak tenang di sayap kiri. Agak susah memilihkan tempat duduk buat anak-anak. Setelah tiga kali berpindah, barulah anak-anak diam. Meski tidak terlalu sempurna, setidaknya anak saya bisa menjulurkan kepala untuk melihat apa yang terjadi di depan.
Acara dimulai dengan paparan dari Bapak Ir. Toni Iskandar, ME tentang hidroponik. Kata “hidroponik”, terang Pak Toni, berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos(kerja). Istilah ini dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of California pada awal 1930-an. Saat itu, Gericke melakukan percobaan hara tanaman dalam skala komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hidroponik (hydroponics).
Hidroponik adalah cara budidaya tanaman tanpa menggunakan media tanam tanah, tapi menggunakan media inert (media yang tidak menyediakan unsur hara, fungsinya hanya sebagai buffer atau penyangga tanaman) seperti batu gravel, pasir, atau peat yang diberi larutan hara yang mengandung semua elemen penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman.
"Mau tanam apapun dengan cara hidroponik bisaaa..! Pohon kelapa pun bisa kalo mau, tapi lama panennya. Makanya yang menggunakan hidroponik biasanya dipilih tanaman yang masa panennya singkat seperti selada, misalnya," kata Pak Toni. Sembari menerangkan, sesekali ia menunjukkan wadah hidroponik yang sarat tanaman selada untuk memperjelas.
Putri ternyata menyimak. Ia ikut corat-coret di buku saat melihat saya menulis. Ia mengulang-ulang pesan dari Pak Toni yang tadi didengar, “Airnya jangan terlalu banyak banyak, dan jangan terlalu sedikit.” Kalimat itu juga diucapkannya lagi saat sampai di rumah dan cerita ke ayahnya tentang kegiatannya sepanjang hari itu.
Usai presentasi, hadirin diajak menyemai bibit sayur di rockwool - media tanam yang berasal dari batu basalt yang dipanaskan hingga mencair, lantas diputar kencang hingga menjadi serabut-serabut halus yang menurut Pak Toni, “jadi mirip harumanis (cottoncandy)”. Serabut-serabut tadi lantas dipadatkan seperti kain wool yang terbuat darirock – itulah sebabnya ia dinamakan rockwool. Ada juga yang menyebutnya sebagaimineral wool.
Masing-masing pengunjung mendapatkan sebongkah rockwool dan seplastik kecil bibit. Kami dapat bibit pakcoy. Bintang dan Putri sangat bersemangat di sesi ini. Sama seperti mereka, saya pun baru pertama kali melihat rockwool. Kami bergantian mencoba melakukan tahapan menyemai bibit. Pertama, kerat permukaan rockwool dengan tusuk gigi secara vertikal dan horizontal hingga terbagi menjadi beberapa persegi. Selanjutnya, masukkan bibit sayur pada titik/lobang pertemuan keratan.
Bintang bertugas mengerat rockwool . Tapi keratannya tidak rapi. Putri yang bertugas menyemai bibit meletakkannya begitu saja di permukaan rockwool tanpa peduli ada keratan atau tidak. Seharusnya, satu lobang cukup dua butir bibit saja, tapi satu kemasan plastik ia habiskan.
Sesudah seremonial serah terima doorprize, hadiah lomba, dan penghargaan kepada tim Kebun Sayur atas partisipasinya dalam pengadaan kebun hidroponik di TKC, semua hadirin dipersilakan menuju Executive Lounge untuk menukarkan kupon dengan kopi, kudapan, dan buket sayur hasil panenan.
Nah, ini saat yang saya tunggu. Saya ajak anak-anak masuk ke perpustakaan untuk melihat kebun hidroponik yang lain. Jika instalasi yang di lobi lift sebelumnya menggunakan sistem NFT (Nutrient Film Technique) maka yang di dalam perpustakaan menggunakan sistem Dutch Bucket.
Sistem NFT adalah sistem hidroponik dimana larutan nutrisi dipompa secara konstan masuk ke wadah tumbuh untuk kemudian mengalir melalui akar-akar tanaman dan kembali ke wadah penampung. Sistem ini tidak menggunakan media tanam selain udara. Akar tanaman dibiarkan menjuntai ke dalam larutan nutrisi (bare root system/sistem akar telanjang).
Beda dengan sistem NFT, sistem Dutch Bucket menggunakan media tanam. Di lantai 6 ada tanaman tomat, di lantai 7 ada tanaman cabe. Keduanya ditanam pada media batu Gravel yang diletakkan dalam wadah bekas es krim. Larutan nutrisi mengalir dari permukaan wadah menuju bawah mengenai perakaran tanaman. Wadah dilubangi di bagian samping dan dipasangi pipa untuk mengalirkan sisa nutrisi menuju wadah penampungan.
Baik sistem NFT maupun Dutch Bucket menggunakan sistem tertutup dimana larutan nutrisi yang berada di wadah penampungan dipompakan kembali ke wadah tumbuh secara terus menerus. Kedua sistem juga menggunakan grow-light untuk merekayasa cahaya guna merangsang pertumbuhan tanaman. Ada lampu LED warna biru dan merah yang digunakan. Campuran kedua warna menyemburkan warna ungu yang cantik.
Saya tidak tahu panen raya yang sedang dirayakan ini di kebun hidroponik yang di lantai berapa. Panitia tidak menginformasikannya. Dugaan saya bukan yang menggunakan sistem Dutch Bucket. Karena hasil panenan yang ditampilkan adalah dari jenis selada seperti Oakleaf Green, Oakleaf Red, Butterhead, Romaine, dan Endive yang kalau saya perhatikan ditanam dengan sistem NFT.
Padahal saya ingin lihat seperti apa kegiata panen, saya bahkan berharap ada sesi dimana undangan diperbolehkan ikut panen. Atau jika tidak memungkinkan, ya setidaknya ada video yang memperlihatkan kegiatan panen. Sebelum acara dimulai tadi, ada video yang diputar tapi bukan tentang panen raya melainkan tentang pembangunan instalasi kebun hidroponik yang dikerjakan oleh tiga orang yaitu: Agus, Iyeng, dan Roni.
Jadi, sepanjang acara berlangsung saya hanya bertanya-tanya sendiri. Suasana ramai ditambah harus mengawasi dua anak yang tidak bisa diam membuat saya tidak punya banyak kesempatan untuk mencaritahu. Yang bisa saya lakukan kemudian adalah memotret dan mengudap sambil mengobrol ringan dengan teman. Putri girang dapat buket selada hasil panen.
Obyek yang saya potret sebenarnya tidak hanya soal kebun hidroponik melainkan mantel rajut yang digunakan pada instalasi hidroponik yang menggunakan sistem Dutch Bucket dan vertikulutur di Executive Lounge. Mengapa? Karena saya dan teman saya, Lisa yang membuatnya. Kami berdua punya usaha rajut bersama yang kami namai Teh Sereh Craft. Pada sistem NFT, rajutan yang membalut instalasi hidroponik dikerjakan oleh teman kami yang lain, Ati dan Nyoman. Kami bersyukur bisa terlibat. Sungguh suatu kehormatan.
Tarumanegara Knowledge Centre (TKC) adalah salah satu fasilitas Universitas Tarumanegara yang menempati lantai 6,7,8, dan 9 di Gedung Utama. Ia juga terhubung langsung ke lantai 5 dan Executive Lounge. Sesuai namanya, TKC diproyeksikan akan menjadi salah satu pusat pengetahuan di perkotaan sesuai dengan tema Untar sebagaithe learning gateway dan urban campus. Perpustakaan adalah inti dari TKC.
Sesudah diresmikan pada 2007, sejak pertengahan 2013 lalu TKC memulai program aktivasinya melalui sebuah proyek kerja yang diberinama Grogol 11401. Saya kira Enrico Halim punya peran besar di proyek ini. Saat memberi sambutan dalam pembukaan acara, Bapak Gunardi, Ketua Yayasan Tarumanegara mengatakan Grogol 11401 diharap mampu memberi imajinasi, mengembangkan jiwa, dan menginjeksi energi publik untuk berkarya.
Khusus untuk Kebun Hidroponik, Pak Gunardi menyebutnya bagian dari pelaksanaan konsep green building di Universitas Tarumanegara. Universitas sendiri sebenarnya tidak punya fakultas pertanian. Saya kira ini pilihan konsep yang bagus, sesuai dengan tema besar Hari Bumi yang dirayakan di seluruh dunia tahun ini tentang bagaimana membangun kota-kota hijau (green cities) dengan dukungan teknologi. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan menguatkan ekonomi. Dan, bukankah pembangunan kebun hidroponik di dalam gedung itu adalah keputusan yang tepat?
Kebun hidroponik TKC itu adalah hasil dari Program Injeksi Visual milik Grogol 11401 yang bertema Berkarya Dengan Gaya. Jika Anda berkunjung ke TKC, Anda bisa menyaksikan hasil program Injeksi Visual selain instalasi hidroponik berbalut mantel rajut.
Tengok saja ratusan bangau origami dari kertas bekas karya Nina Mansyur yang terpasang pada langit-langit gedung dan menjulur hingga lima lantai, stiker besar Maneki Neko (kucing mengundang pembawa keberuntungan) pada pintu kaca perpustakaan, dan Beca Baca di dalam perpustakaan yang dilukis oleh Jhons Patriatik Karlah dan Suminta
Menarik melihat karya-karya visual yang terpajang di TKC. Staf di sana berulangkali menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu sesuai dengan semangat kerja Grogol 11401 yaitu membolehkan hal-hal sederhana menjadi luar biasa.
Sayang, saya tidak sempat melihat peta Jakarta sebagaimana yang diunggah di akun fanpage fesbuk Grogol 11401. Peta potongan Jakarta selebar 19 meter persegi ini dilukis seniman Robowobo pada materi multiplek. Mungkin kapan-kapan saya akan tengok seperti apa peta itu. Saya akan ajak Bintang dan Putri lagi, saya yakin mereka akan mengagumi karya unik itu. Sore itu kami cukup puas membawa pulang buket selada hasil panen dan rockwool berisi benih pakcoy yang telah disemai.*
PS. Saat tulisan selesai, benih pakcoy sudah berkecambah dan tumbuh. Umurnya baru 3 hari, seperti ini jadinya: