Minggu, 15 Juli 2007

Asep Ridwan Saefuloh


16 Juli 2007

Namanya Asep Ridwan Saefuloh. Lahir pada 6 Juli 1996. Umurnya 11 tahun. Ia tinggal di Jl. Kebongedang, RT1 RW6, Kelurahan Kiaracondong, Kecamatan Kiaracondong, Kabupaten Bandung. Asep sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al Hikmah Kebongedang, Kiaracondong. Di tahun ajaran baru ini ia sebenarnya naik kelas IV. Nilainya juga lumayan, rata-rata 7.

Pada 9 Juli lalu, di belakang pasar Klender, Jl. Raya Bekasi KM17 Jakarta Timur, Asep ditemukan sudah tidak bernyawa dalam sebuah kantong plastik sampah berwarna hitam. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tubuhnya terpotong dua di bagian pinggang dan diikat jadi satu dengan cara ditekuk ke belakang. Organ tubuhnya yang tersisa tinggal jantung, paru-paru, hati, dan ginjal bagian kiri. Pada anusnya terdapat luka bekas sodomi. Belakangan, dokter di RSCM menyatakan luka itu menunjukkan bahwa Asep sudah sering disodomi sekitar setahun.

Mayat Asep tak langsung dikenali. Baru 3 hari kemudian, Nawangsih (34th), ibu kandungnya mengenalinya melalui bekas luka di jempol kakinya. Perlahan kasus mutilasi ini mulai terkuak. Saat ini polisi tengah mencari AD yang diduga menjadi tersangka pembunuh Asep.

Sebagai seorang ibu yang mempunyai anak laki-laki, saya ikut menangis. Betapa tidak, saya merasakan bagaimana melahirkan dan merawat seorang bayi hingga tumbuh menjadi seorang bocah. Saya mengetahui setiap luka yang didapat anak saya, dari gigitan nyamuk, tergores, luka jatuh, luka lebam. Saya juga berupaya untuk menghilangkan luka dan mengurangi rasa sakit dengan membelikan obat atau membawanya ke dokter bila perlu. Dan, apa yang akan saya rasakan jika saya menjadi Nawangsih? Aduh, susah saya membayangkan.

Nawangsih tergetar hatinya saat melihat penemuan mayat korban mutilasi di televisi. Saat itu ia lantas mengkhawatirkan nasib Asep yang sudah satu minggu tak pulang ke rumah. Sebelumnya ia tak khawatir jika anaknya itu tak pulang ke rumah beberapa hari. Namun berita kali ini mengusik nuraninya. Nawangsih kemudian membuat selebaran untuk mencari Asep. Hasilnya nihil. Hatinya semakin galau. Ia nekat meminjam uang ke tetangga dan berangkat ke Jakarta. Tujuannya ruang mayat RSCM. Dan, benar saja, jenasah itu adalah Asep. Nawangsih pingsan.

Saya membayangkan apa saja yang dipikirkan Nawangsih sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Barangkali Tuhan telah mengirimkan pesan pada Nawangsih agar segera menjemput anaknya. Atau barangkali roh Asep sendiri yang memanggil ibunya. Ah, saya tak punya nyali setegar Nawangsih.

Menurut analisis polisi, kasus Asep mirip dengan kasus pembunuhan anak laki-laki berusia 6 tahun yang terjadi 30 April lalu di Kelapa Gading. Diduga, keduanya merupakan korban kejahatan berantai dengan perlakukan yang sama.

Saya ingat film 8 mm. Film thriller garapan Joel Schumacher yang diputar tahun 1999 ini menuturkan tentang detektif Tom Welles (Nicolas Cage). Detektif swasta ini disewa oleh seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya seorang pengusaha kaya. Ny. Christian, begitu namanya, penasaran dengan penemuan sebuah film pendek dalam brankas tersembunyi milik almarhum suaminya. Di film yang direkam dalam pita berukuran 8 mm itu berisi pembunuhan seorang gadis dengan cara yang sadis. Sang pembunuh menggunakan topeng khas dan berbadan besar. Menurut Tom, film tersebut adalah snuff film
yaitu film yang merekam pembunuhan orang (di dalam film ini rata-rata korbannya adalah wanita) dengan cara yang sadis. Snuff film bisa saja berisi adegan palsu, namun ada juga yang asli dalam artian korbannya benar-benar dibunuh. Namun, Ny. Christian tetap mendesaknya untuk mencaritahu siapa si gadis itu. "Uang bukan masalah", begitu tegas Daniel Longdale, pengacara keluarga Christian.

Investigasi awal membuahkan hasil. Tom mengidentifikasi nama si gadis sebagai
Mary Ann Mathews. Mary Ann pergi ke Hollywood untuk mengejar cita-cita sebagai bintang film meski ibunya melarang. Tom melacak jejak Mary Ann hingga ke pasar sex Hollywood tempat dimana banyak dijual snuff film.

Tom berhasil menguak bahwa almarhum Tn. Christian pernah menyewa produser snuff film yaitu Velvet dan Poole untuk membuat film dengan adegan asli melalui Longdale. Nyatanya, uang sebesar $US 1.000.000 yang diberikan Tn. Christian dikorupsi oleh Daniel. Bayaran yang diterima Velvet, Poole, dan Machine - sang pembunuh bertopeng, jauh lebih sedikit. Film memuncak ketika Velvet dan Longdale saling bunuh. Tom sendiri berhasil membunuh Poole dan Machine.

Adegan saat sebelum Tom membunuh Poole masih terus membekas di benak saya. Setelah membuat Poole tak berdaya, Tom menyeret Poole ke tempat dimana Mary Ann dibunuh. Tom sempat menelpon ibu Mary An dan menceritakan kejadian sebenarnya. Mayat Mary An ndikubur di dalam hutan namun lokasinya tidak pernah diketahui. Berkali-kali Tom berkata pada ibu Mary Ann, "Do you love Mary Ann? Tell me that you love him. Tell me that you love him!". Di kamarnya, dalam kegelapan malam, di atas tempat tidurnya, ibu Mary An menangis sesenggukan, ia menjawab terbata-bata, "Yes, I love her."Tom menutup telpon. Pernyataan itu memberikan konfirmasi padanya. Ia mendekati Poole, memukuli kepalanya dengan pistol hingga mati kemudian membakar mayatnya.

Film ini mempertemukan empat karakter: Pertama, orang kaya yang mencari kesenangan. Kedua orang yang mencari materi dengan cara apapun termasuk membuat snuff film. Ketiga, korupsi, psikopat yang mempunyai kepribadian ganda yaitu Machine (di rumah, ia adalah anak tipe anak mama, berwajah kekanakan dan sering sendirian karena ibunya aktivis gereja; di dunia snuff film, ia mengenakan topeng dan menjadi pembunuh sadis berdarah dingin). Keempat, orang yang masih peduli akan pentingnya arti keluarga yang memberikan kasih sayang.

Soal kasih sayang ini membekas dalam benak saya. Kenapa? Karena selama ini orang-orang seperti Velvet dan Poole menganggap gadis seperti Mary An bukan siapa-siapa, bukan milik siapa-siapa. Jadi jikalau dibunuh pun tak akan ada yang peduli.

Dan milik siapakah anak-anak jalanan itu? Saya sangat menyayangkan pernyataan Nawangsih, ibu Asep yang menyatakan tidak khawatir jika Asep tidak pulang selama beberapa hari. Saya bertanya-tanya, kenapa? Kenapa tidak khawatir? Apa yang membuat seorang ibu tidak mengkhawatirkan kesendirian anak berusia 11 tahun di jalanan? Saya tidak habis pikir. Di selebaran yang dibuat Nawangsih, ia menuliskan Asep lahir pada 6 Juli, apakah sebelumnya ia tidak terpikir untuk mencari Asep karena tanggal 6 Juli ia berulang tahun? Karena Asep meninggalkan rumah semenjak 30 Juni. Ya, barangkali memang tidak pernah ada pesta ulang tahun, tapi setidaknya sebagai seorang ibu apakah ia tidak mengingat hari istimewa itu? Dan apakah Asep sendiri mengingat hari ulang tahunnya?

Barangkali Asep tengah memberontak karena pergi dari rumah dan memberikan alasan palsu (menurut ibunya Asep bilang akan ke rumah bibinya). Tapi karena apa? Asep pergi dari rumah? Menurut ayah tirinya Asep takut dimarahi karena rapotnya jelek. Pernyataan ini dibantah Kepala Sekolah Asep karena nilainya rata-rata baik. Jadi kenapa?

Adakah sesuatu di dunia anak jalanan yang menarik bagi Asep? Apakah dunia di luar memberikan kenyamanan dibanding pulang ke rumah? Padahal, menurut kesaksian teman Asep yang juga seorang anak jalanan, Asep sempat tidak bisa melakukan apa-apa karena jatuh dari bis kota. Bahkan temannya inilah yang memberinya makan. Kenapa Asep tetap tidak pulang ke rumah? Asep juga sempat tinggal di Rumah Singgah anak jalanan. Dan itulah saat terakhir Asep.

Bocah kecil itu nyatanya tidak berdaya juga menghadapi sang pembunuh yang barangkali mensodominya lebih dahulu. Dan kenapa mesti dibunuh? Kenapa memakai cara-cara yang sadis? Saya teringat jawaban Machine ketika Tom menanyakan hal serupa:

"You know the best part of killing someone? The look on their face. It's that look. Not when they're threatened. Not when you hurt them. Not even when they see the knife. It's when they feel the knife go in. That's it. It's surprise. They just can't believe it's really happening to them........"

Kenapa ada orang semacam ini? Semuanya berupaya mencari kepuasan. Dengan caranya masing-masing.

Saya kembali mengingat Neill, pendiri Summerhill School, tesisnya orang yang bermasalah berasal dari keluarga atau lingkungan bermasalah. Kebahagiaan atau ketidakbahagiaan muncul darisana. Saya sendiri lebih memilih keluarga sebagai inti dari semuanya. Saya percaya kasih sayang antar keluarga mampu membentuk pribadi-pribadi yang kuat. Ada rasa saling memiliki.

Di akhir film 8 mm, Ny. Christian memberikan secarik catatan pada Tom, ia menulis: "I hated you for telling the truth, but now I realize you and I are probably the only people that ever really cared about Mary Ann."

Saya sungguh mengutuk para pelaku pedofili anak-anak jalanan. Anak-anak jalanan itu punya keluarga. Setidaknya mereka lahir dari rahim seseorang. Dan para pembunuh itu, apakah dia tidak pernah menyadari bahwa dia pernah dilahirkan oleh seseorang? Apakah dia tidak pernah merasakan ikatan dengan sesama? Saya kira jika semua orang di dunia ini merasakannya, empati pun akan tumbuh dengan sendirinya.

Terakhir, tentu saja saya mendoakan arwah Asep. Buat saya yang percaya keberadaan surga, saya sungguh ingin membayangkan Asep bermain-main dengan riang disana.



















Tidak ada komentar: