Rabu, 11 Juli 2007

Memahami Data Kemiskinan BPS

3 Juli 2007
(Tulisan ini ditulis pada 3 Juli tapi baru ditayangkan pada 11 Juli dengan editing)

Tanggal 2 Juli kemarin Biro Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan hasil survei terbarunya. Temuannya: jumlah penduduk miskin di Indonesia per bulan Maret 2007 ini sebesar 37,17 juta orang. Dibanding bulan Maret 2006 lalu yang sebesar 39,30 juta, berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Apa penyebab penurunan angka kemiskinan ini tidak dijelaskan BPS secara pasti. Sementara itu, komentar bernada miring bermunculan meragukan kebenaran data tersebut. Bagaimana sebaiknya kita membaca dan memahami temuan BPS ini?

BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Menurut rilis media BPS, metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan..

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Dengan menggunakan konsep dan metode seperti tersebut di atas, maka yang disebut dengan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.

Jika mengacu pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan Bappenas (2005), maka apa yang disebut miskin oleh BPS barulah mendeskripsikan sebagian dari kondisi kemiskinan itu sendiri. Menurut dokumen tersebut, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan
hak lainnya.

Inilah konsep kemiskinan berbasis hak. Konsep ini menegaskan kembali kewajiban negara untuk menghormati kemiskinan dan menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Ada pengakuan bahwa kondisi kemiskinan yang mendera seseorang karena akibat dari luar, bukan karena dirinya semata. Oleh karena itu negara berkewajiban untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan akibat-akibat tersebut.

Konsep kemiskinan yang dipergunakan BPS mempergunakan teori pemenuhan kebutuhan dasar Maslow. Mari kita tengok teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan manusia sifatnya berjenjang ke atas, jika seseorang mampu memenuhi kebutuhan yang paling rendah, barulah ia menanjak ke kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan manusia terbagi menjadi kebutuhan dasar atau yang disebut basic needs berupa kebutuhan fisik, keamanan, rasa memiliki dan kasih sayang, dan aktualisasi diri. Selanjutnya, jika seseorang telah berhasil memenuhi kebutuhan dasarnya maka ia akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (higher needs) atau yang disebut sebagai kebutuhan ideal (ideal needs) berupa pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu dan estetika.

Jika diterapkan dalam kehidupan keseharian, teori Maslow bisa jadi menyatakan bahwa seseorang dengan kondisi perut lapar tidak akan mampu menjadi orang pintar. Benarkah demikian?

Pengamat sosiologi lingkungan Michael Mayerbfeld Bell (1998) mengkritik Maslow. Semisal, ada seseorang yang begitu senangnya membaca buku sehingga ia lupa makan. Dalam beberapa kasus, teori Maslow tak bisa diterapkan. Kita ingat nama-nama tiga anak Papua penerima Satya Lencana Wirakarya dari Pemerintah yaitu Septinus George Saa, Anike Boare, dan Rudolf Surya Bonay. Ketiganya meraih penghargaan the first step to nobel prize dalam bidang fisika dan kimia secara berturutan mulai tahun 2004, 2005 dan 2006. Apakah ketiga anak itu berasal dari keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya? Tidak juga.

Atau apakah jika seseorang sudah kaya dalam artian terpenuhi kebutuhan fisiknya ia lantas belajar dengan giat? Atau berupaya untuk menikmati karya seni yang bercita rasa tinggi? Beberapa orang mungkin melakukannya. Tapi kebanyakan memanfaatkan kekayaannya untuk bersenang-senang saja atau membeli barang-barang bermerek tanpa memikirkan soal selera. Dalam kasus lain kita dapati seorang aktivis politik yang rela tidak makan minum demi memperjuangkan ideologi yang diyakininya.

Apa yang diklaim BPS sebagai kemiskinan sesungguhnya hanyalah sebagian dari ketidak mampuan masyarakat dalam memenuhi hak hidupnya secara bermartabat. Pernyataan ini bisa diartikan jika BPS mengklaim bahwa orang miskin berkurang, bisa saja kita artikan sebagai sebagian ketidakmampuan masyarakat berkurang. Bukan berarti seseorang itu lantas tidak terbebaskan dari kondisi kemiskinan. Bisa jadi ia hanya mampu memenuhi kebutuhan tertentu akan tetapi merelakan tidak terpenuhinya kebutuhan yang lain.

Saya kemudian berpendapat, bahwa dengan demikian sebenarnya data kemiskinan yang disosialisasikan BPS adalah data yang masih kasar. Sesungguhnya data kemiskinan kita jauh lebih besar dari angka itu. Bukan berarti saya mengecilkan hasil riset BPS. Hanya saja, angka itu menurut saya baru menyentuh permukaan wilayah kemiskinan di Indonesia.

Jadi, belum bisa dipastikan apakah benar orang miskin di Indonesia berkurang? Jangan-jangan malah bertambah. Pembenaran bisa dicari dengan memegang definisi soal kemiskinan seturut perspektif masing-masing.

Yang pasti, buka mata hati dan pikiran kita untuk mengentaskan kemiskinan. Asah empati dan perangi korupsi. Mari bangun hidup sederhana dan ramah lingkungan.

Tidak ada komentar: