13 Juli 2007
Menurut teori Spranger, ada 6 tipe manusia: manusia teoritis, manusia estetis, manusia politis, manusia ekonomis, manusia sosial, dan manusia religius.
Benny Susetyo menggunakan teori ini dalam bukunya berjudul Politik Pendidikan Penguasa (LKiS, 2005) sebagai acuan untuk menggambarkan akan menjadi manusia apa kira-kira anak bangsa kita dengan sistem pendidikan seperti yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas No.20/2003. Ia menyoroti terutama pada bab V tentang Peserta Didik, pasal 12 ayat (1) yang menyatakan: "Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".
Spranger membuat pembagian tipe manusia ini berdasarkan pada nilai-nilai tertentu yang menguasai jalan pikiran,perasaan, dan tingkah laku dalam kehidupan manusia. Misalnya, manusia politik adalah manusia yang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan kekuasaan an sich. Manusia religius adalah manusia yang mengorientasikan perjalanan hidupnya yang memuncak dalam Nilai Tertinggi yaitu Yang Ilahi.
Menurut Benny, pendidikan agama yang ditonjolkan dalam UU Sisdiknas No.20/2003 lebih berhasrat untuk mencetak manusia politik ketimbang manusia religius. Pemahaman agama yang sentralistis dalam kurikulum pendidikan agama yang sentralistis akan menjebak anak didik untuk memahami agama secara parsial saja. Pemahaman agamayang sifatnya sempit hanya akan mementingkan dirinya dan meninggalkan yang lainnya. Pendidikan agama yang diberikan menonjolkan aspek formalitas dan kaku. Agama dipandang secara sempit, dan bukan dilihat dalam pengertian realitasnya. realitasnya adalah pluralisme agama yang hidup di bumi Indonesia.
Usulan Benny adalah agar penguasa lebih menekankan pada aspek pemahaman religiusitas untuk mencetak manusia-manusia religius. Manusia religius adalah manusia yang memahami hakikat agama dalam bingkai pluralisme. Dia tidak akan mempolitisasi agamanya untuk kepentingan kekuasaan, karena kekuasaan/politik adalah untuk menjatuhkan lawan dan selamanya akan demikian. Sementara agama bersifat suci. Dengan demikian, agama lebih dimaknai dalam konteks privat bukannya publik. Menurut Benny, dalam UU Sisdiknas yang baru ini agama diletakkan dalam konteks publik; disandera oleh kepentingan kekuasaan.
Spranger membagi lagi manusia religius menjadi beberapa tipe. Pertama, yang bersifat mistik-imanen yang melihat bahwa Yang Ilahi terletak di dalam ini sari kehidupan ini. Kedua, yang bersifat mistik-transeden, yang melihat bahwa Yang Ilahi terletak di belakang atau di atas dunia ini, terpisah dari nilai-nilai vital yang oleh karenanya harus disangkal. Ketiga, adalah manusia religius yang memiliki gabungan dari kedua sifat tersebut.
Berdasarkan penjabaran tersebut, Benny mengusulkan agar arah pendidikan kita diarahkan untuk mencetak anak didik yang religius dan memiliki sifat mistik-imanen. Agar anak didik melihat agama untuk menjawab tantangan realitas, bukan untuk dirinya sendiri. Agama untuk menyelesaikan berbagai problem kemiskinan dan pembodohan. Agama bukan terpisah dari realitasnya dimana ia teruntuk dirinya sendiri (mistik transeden). Jika yang terakhir yang terjadi maka para pemeluk agama akan menyatakan bahwa perang suci kepada pemeluk lainnya adalah tindakan menjalankan agama. Perlakuan agama seperti ini menjadi hampa toleransi dan hampa dialog.
Saya sepakat dengan Spranger bahwa memahami hakikat agama hendaknya dilakukan dalam konteks pluralisme. Namun, ada kalimat Benny yang saya tidak paham yaitu "agama untuk menyelesaikan berbagai problem kemiskinan dan pembodohan". Juga pernyataan bahwa agama untuk menjawab tantangan realitas. Saya kurang paham maksudnya. Bukankah agama itu sendiri tidak realistis? Soal mengimani, soal mempercayai pada sesuatu. Ada banyak cerita soal mukzizat di dalamnya. Bukankah pandangan yang mempercayai bahwa surga atau neraka itu ada adalah pandangan utopian? Lantas bagaimana sesuatu yang tidak realistis digunakan untuk menjawab tantangan yang realistis? Saya kok tidak paham.
Saya sendiri menganggap diri sebagai manusia religius. Saya memeluk agama Katolik dan menjalankan praktik yang diajarkannya. Saya berusaha ke gereja setiap minggu, membuat tanda salib untuk mengawali doa, melakukan devosi pada Maria bulan Mei dan Oktober, berdoa novena untuk ujub-ujub pribadi dan mendidik anak saya secara Katolik.
Kehidupan material saya biasa saja. Naik turun. Seringkali kehabisan uang, tekor. Tapi bagaimana cara saya menutup kekurangan di akhir bulan? Ya saya ke bank, pinjam uang tabungan dan bulan depan saya kembalikan lagi. Bagaiman agama membantu saya? Ya dengan cara berdoa saja. Agama lebih membuat saya merasa nyaman menghadapi banyak persoalan. Kadang di gereja saya tidak menyimak sepenuhnya jalannya misa, karena harus meladeni anak saya. Tapi kalau tidak ke gereja rasanya ada yang kurang. Sepulang gereja saya merasa lebih mantap. Ada sugesti. Seperti pergi ke dukun dan disuruh minum segelas air putih. Atau barangkali ke dokter dan disuntik. Mana kita tahu apa yang dimasukkan dalam tubuh kita? Ada sugesti yang membuat kita merasa nyaman dan bugar. Padahal barangkali saja kekebalan tubuh kita lah yang bekerja. Sembuh itu berasal dari kita sendiri.
Kembali ke soal kenyamanan tadi. Dengan merasa nyaman saya bisa berpikir jernih, tidak takabur. Dalam kondisi seperti itu saya jadi bisa memilah apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang tidak. Saya sadar, apa yang saya lakukan sekarang tidak saja punya konsekuensi pada diri pribadi, tapi terutama untuk anak saya. Karenanya saya berharap bisa tetap 'nyaman' dalam kondisi yang paling buruk sekalipun.
Lantas, bagaimana soal pendidikan agama di sekolah? Saya mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sedari TK hingga SMA. Saya sempat sekolah 2,5 tahun di sekolah negeri ketika SD, sehingga saya punya pengalaman sedikit soal pendidikan agama di sekolah. Waktu itu, saya tinggal di kota kecil yang belum memiliki sekolah Katolik. Ibu saya lah yang berinisiatif mendirikan TK Katolik untuk pertama kalinya di samping gereja sehingga nomor induk saya adalah nomor 001. Ketika SD saya masuk sekolah negeri yang hanya mengajarkan pelajaran agama Islam. Satu kelas hanya 3 orang anak yang beragama non-Islam. Setiap kali pelajaran agama kami dibebaskan memilih, boleh tinggal atau keluar kelas. Jika sedang malas keluar saya di dalam kelas saya menyimak pelajaran agama Islam, sehingga sampai sekarang saya masih hapal satu doa. Jika di luar, ya kami main ke gereja yang letaknya di sebelah sekolah.
Selanjutnya saya memilih sekolah Katolik terus hingga SMA meskipun orang tua saya tidak menganjurkan, bahkan mereka menyarankan masuk ke negeri saja dengan alasan soal jarak. Tapi saya enggan karena sekolah Katolik lebih bersih dan apik, disiplin, dan saya merasa lebih nyaman di sana. Di SMA ini saya berkenalan dengan seorang suster yang luar biasa dari ordo Amal Kasih Darah Mulia, bahkan sampai sekarang saya masih berhubungan dengan beliau. Saya amat kagum pada beliau.
Soal pelajaran agama tadi - ah, saya memang suka melantur kemana-mana, semenjak saya punya anak saya merasa bahwa sekolah berbasis agama sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Saya punya pengalaman: ketika ibu RT membuka kelompok bermain di dekat rumah. Hampir semua teman-teman anak saya sekolah di sana, sementara anak saya tidak bisa karena kelompok bermain itu berbasis agama tertentu. Saat itu saya hampir menangis melihat anak saya hanya bisa melihat di balik pagar sementara teman-temannya di dalam. Saya jengkel. Kenapa tidak ada orang yang berinisiatif membuka sekolah yang tidak berbasis agama?
Jaman dulu ketika SD saya mendapat pelajaran budi pekerti. Menurut saya itu pelajaran yang bagus sekali. Saya kok cenderung mengusulkan agar pelajaran agama dihapus dan diganti pelajaran budi pekerti saja. Ada tentang sopan santun, toleransi, menghargai sesama, cara hidup sederhana, kebersihan. Sepertinya itu lebih bagus. Pelajaran agama biarlah urusan agama itu sendiri. Gereja mengadakan Sekolah Minggu atau Bina Iman, Mesjid juga menyelenggarakan TPA atau apa ya kepanjangannya, Tempat Pengajian Anak (?). Yang lainnya seperti agama Budha atau Hindu pasti ada juga semacam itu.
Jadi, biarlah soal agama menjadi urusan privat.
Selain itu, saya mengusulkan juga agar sekolah-sekolah swasta yang berbasis non-agama diperbanyak. Saya himbau agar para investor membantu pendirian sekolah-sekolah semacam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar