Rabu, 18 Juli 2007

Bukan Asep

19 Juli 2007

Posting kali ini saya tulis untuk koreksi atas posting terdahulu tentang Asep Ridwan. Media massa sejak petang kemarin menyiarkan berita tentang ditemukannya Asep Ridwan Saefulloh yang ternyata masih hidup. Asep ditemukan pada sekitar pukul 13.30 di stasiun Purwakarta oleh rombongan Kusnadi (ayah kandung), Kamalludin (ayah tiri), Jasiman (kakak kandung Asep), dan Juanda (tetangga) yang sedang dalam perjalanan ke Jakarta untuk memenuhi panggilan polisi. Adalah Kamalludin yang mengenali Asep. Saat itu Asep sedang memunguti sampah di stasiun. Rombongan itu lantas mengajak Asep pulang kembali ke Bandung. Ibunya, Nawangsih menyambutnya dengan gembira. Asep kini kembali berkumpul bersama keluarganya.

Lantas siapa sebenarnya korban mutilasi di Klender itu? Polisi harus bekerja dari awal untuk mengidentifikasi korban dan mencari pelakunya.

Saat ini, menurut media, Asep masih belum mau banyak bicara. Apakah Asep tak mendengar sama sekali kasusnya melalui media massa? Di stasiun, banyak sekali harian yang dijual oleh anak-anak jalanan. Apakah mereka tidak saling membicarakannya? Menurut saya, Asep tahu. Cuma mengapa ia membiarkan saja keluarganya menangisi kehilangannya? Lantas, saat ditanya Kamalludin, "Dibawa kemana saja sama si gondrong?" (orang yang dimaksud adalah Ade yang selama ini disangka sebagai pelaku mutilasi). Asep menjawab, "Sekarang mah sudah botak". Apakah Ade tahu dan sengaja mencukur habis rambutnya untuk menyaru?

Masih banyak misteri. Yang utama adalah mencaritahu siapa sesungguhnya si korban. Meski begitu saya tetap berpendapat sama seperti yang pernah saya tulis di posting terdahulu. Bahwa anak-anak jalanan itu bukannya bukan siapa-siapa. Hanya nasib saja yang meminggirkan mereka. Saya salut pada aksi sekitar 500 anak jalanan yang rata-rata berusia 10 tahun pada hari Minggu (15/7) lalu. Di bundaran HI mereka berorasi minta agar pemerintah menghentikan sodomi dan mutilasi terhadap anak-anak jalanan yang sering terjadi.

Saat ini saya bertanya-tanya. Siapakah ibu anak korban mutilasi itu? Masih hidupkah? Sudah meninggalkah? Saya barangkali termasuk orang yang naif untuk hal-hal seperti ini. Pernah saya mengunjungi sebuah panti asuhan. Disana saya menemui bayi umur 2 minggu, kata perawat bayi itu baru saja masuk. Hgh..saat melahirkan anak saya sekitar 4,5 tahun lalu saja saya masih mengingat rasanya. Bagaimana ya rasanya berpisah dengan anak yang keluar dari rahimnya sendiri? Selama 9 bulan lebih anak telah menjadi satu bagian dari tubuh sang ibu. Bagaimana ibunya tega berpisah dengan bagian dari tubuhnya?

Memang saya pernah mendengar ada pernyataan (saya lupa dimana) bahwa pengorbanan paling besar bagi ibu adalah memisahkan diri dengan anaknya demi hidup sang anak. Tapi tidak selalu pernyataan ini benar. Buktinya, Woo Kap Sun (50 th), ibu dari Hee Ah Lee (22 th) pianis klasik dari Korea Selatan yang cacat mental dan fisik itu bertekat terus membesarkan anaknya sendiri meskipun saudara-saudaranya memaksanya untuk menyerahkan Ah Lee ke panti asuhan. Meskipun hanya hidup bersahaja dari uang pensiun almarhum suaminya, Woo perjuangan Kap Sun untuk membekali anaknya agar mandiri membuahkan hasil.

Saya juga pernah melihat talkshow di televisi swasta tentang bagaimana seorang ibu memilih untuk bercerai dari suami dan merawat anaknya yang autis. Melalui ketelatenan sang ibu, sang anak mampu memiliki ketrampilan menulis. Sebuah buku telah dia hasilkan. Sang ibu bahkan membuka sebuah yayasan yang didedikasikan untuk anak-anak autis.

Kedua ibu tersebut memiliki pengalaman yang serupa. Keduanya juga memilih untuk tidak bekerja di kantor demi buah hatinya. Saya mengagumi semangat ibu-ibu itu. Mohammad Yunus sang peraih nobel 2006, mendapat inspirasi kredit mikro untuk kaum miskin dari ibu-ibu dan janda-janda miskin di Bangladesh yang berjuang mati-matian demi memberi makan anak-anaknya. Baginya, membantu para wanita miskin itu berarti menyelamatkan satu generasi bangsa. Dan benar saja, nyatanya banyak anak-anak dari keluarga miskin yang sekarang sudah 'orang', bahkan ada yang meraih gelar doktor.

Dan jika melihat anak-anak jalanan itu saya sering bertanya-tanya sendiri, "Dimana ibunya?"

Tidak ada komentar: