Selasa, 17 Juli 2007

Jam Karet Transportasi Kita

18 Juli 2007

Kemarin saya pulang sangat awal. Naik KRL jam 16.15. Saya nebeng teman yang kebetulan lewat Sudirman. Dari kantor jam 16.00. Di mobil sedikit chit chat terjadi. Teman saya menanyakan, "Apa bisa kekejar?" Saya jawab, "Bisalah. Nggak pernah ada cerita kereta tepat waktu, selalu terlambat". Teman saya menimpali, "Di Depok pernah sekali tempo keretanya tepat waktu. Karena berangkat tepat waktu, banyak penumpang yang terlambat, ngomel-ngomel semua".

Nyatanya, saya sampai di Stasiun Sudirman jam 16.13. Sedikit berlari saya beli tiket, kata mas yang jaga keretanya sebentar lagi sampai. Di bawah saya sempat mampir ke penjual DVD. Sempat pilih-pilih dan beli film. Tak berapa lama kereta saya pun datang. Saya melirik jam hape, 16.19. Tumben. Menurut saya ini termasuk tepat waktu. Biasanya kereta terlambat sampai sekitar 15 menit-30 menit. Tak bosan-bosannya petugas jaga yang biasa mengumumkan kedatangan dan keberangkatan kereta mengatakan "Kami mohon maaf atas keterlambatan ini". Saya hapal benar kalimat ini. Karena hampir tiap hari diucapkan.

Suami saya sangat tidak suka naik kereta. Dia lebih memilih feeder bus karena kenyamanan dan ketepatan waktunya. Bukannya saya tidak suka, tapi feeder bus adalah alternatif moda transportasi saya yang berada di peringkat atas untuk tingkat kemahalannya. Saya naik feeder biasanya kalau pagi, kalau pulang kantor mending naik kereta. Kecuali kalau pulang malam ya saya naik feeder karena kereta cuma sampai jam 18.25. Feeder terakhir dari Ratu Plaza jam 19.55. Lagipula kalau pulang naik feeder saya harus menyeberang. Dan menyeberang jalan ini melelahkan saya yang jarang olahraga. Itupula sebabnya saya malas naik busway karena perjalanannya menuju pintu loket yang membuat kaki pegal. Apalagi kalau pas terburu-buru, waduh, sampai putus napas saya.

Kembali ke soal ketepatan. Di Indonesia saya kira ketepatan waktu dalam hal transportasi masih menjadi barang langka. Bulan Januari lalu kami sekeluarga terpaksa merelakan kepergian Papi sendiri menghadap Tuhan gara-gara pesawat yang akan kami tumpangi telat 30 menit. Alasan yang diberikan waktu itu ada pesawat lain yang tidak dinyatakan tidak layak terbang oleh DepHub sehingga mengganggu jadual keberangkatan pesawat lainnya. Waktu itu memang DepHub sedang galak-galaknya memantau setiap pesawat yang akan berangkat gara-gara peristiwa hilangnya Mandala di Sulawesi.

Itu pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Membekas seumur hidup. Bayangkan saja, kami hanya terlambat sekitar 10 menit dari kepergian Papi. Dan itu adalah menit-menit yang sebenarnya sangat-sangat berharga.

Saat baru menyadari soal tidak adanya konsep waktu di transportasi sewaktu mengambil kuliah di IPB. Jarak antara Serpong-Bogor sebenarnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 1 jam. Namun karena para supir angkutan umum itu tidak mengenal konsep waktu, saya harus memberikan toleransi sebanyak 1 jam. Waktu sebanyak itu saya sebut "waktu empati". Waktu yang harus saya sisihkan demi merasakan bagaimana susahnya mencari uang sebagai supir angkutan umum. Artinya jika penumpang sepi, maka saya ikut ngetem. Nunggu di dalam kendaraan. Adanya peraturan tidak tertulis antara para supir bis soal jarak antar bis juga harus saya alami. Maksudnya, begini. Para supir bis itu nampaknya punya kesepakatan untuk memberi ruang waktu sekitar 10 menit supaya bis di depannya bisa mencari penumpang. Jika jaraknya terlalu dekat, maka bis yang di belakang harus mengalah. Ngetem dulu meskipun bis sudah penuh dan sesak dan penumpang ngomel kepanasan. Sang sopir tak peduli dengan berbagai komentar penumpang, dia tetap saja santai ngerokok di depan kemudinya.

Saya pernah ngomel-ngomel karena bis ngetem lama dan memilih untuk pindah naik angkutan kecil-kecil. Ketika saya turun saya sempat mendengar supir bis menanyakan kenapa saya turun. Kondekturnya menjawab, "Tauk tuh, mau naik taksi dia". Itu sindiran buat saya.

Saya juga sering pindah keluar bis yang masih ngetem ke bis yang berangkat lebih dulu. Kebiasaan ini dikritik suami saya, "Jangan dong, katanya. Kasihan para sopir bis itu", katanya. Saya tak peduli. Saya jawab saja, "Ah, kalau kita terlambat mereka juga nggak peduli kok sama kita". Akhirnya upaya masing-masing saja lah yang dijalankan. Jika sopir ngetem, kita ikut ngetem. Jika sopir terburu-buru, ya beruntunglah kita, bisa sampai lebih cepat. Pokoknya apa mau sopir lah. Kecuali jika kita punya uang lebih ya bisa lah naik taksi dari Serpong sampai ke Bogor. Atau kalau badan sedang dalam kondisi fit, alternatif nya naik angkutan kecil-kecil model hijet tapi sambung-menyambung, tidak langsung sampai ke Bogor. Dan naik turun angkutan kemudian mencari lagi itu cukup melelahkan karena harus melawan debu dan terik matahari.

Kembali ke soal ketepatan transportasi, saya sebenarnya heran kenapa ya jam mereka selalu molor? Selalu ngaret? Memang, akhir-akhir ini bisnis transportasi ada yang mulai merintis ketepatan. Seperti misalnya travel Jakarta-Bandung yang mengklaim keberangkatan setiap satu jam dan bisa sampai dalam waktu 2 jam. Travel semacam ini laris karena mengunggulkan ketepatan. Tapi memang, kondisi jalanan sangat mendukung.

Singapura pernah menawarkan city tour gratis bagi para penumpang pesawat yang transit di negeri singa itu selama lebih dari satu jam. City tour itu hanya akan memakan waktu satu jam saja. Sharp. Saya tidak tahu apakah sekarang masih ada atau tidak. Saya kagum gagasan ini. Di samping untuk promo wisata, juga pamer ketepatan waktu. Singapura cukup jeli menangkap peluang sebagai negara yang sering dijadikan tempat transit. Saya tidak pernah yakin apakah kita mampu melakukan hal seperti ini.

Menurut saya, ketepatan waktu adalah soal kebiasaan. Tapi ya mengubah kebiasaan sekian ratus juta orang bukan perkara mudah. Sebagai penganut agama Katolik saya mengenal ketepatan waktu dari jam misa di gereja. Belum pernah saya dengar ada jam misa yang ngaret. Meskipun kondisi petugas belum siap, tetap saja harus dimulai pada jam-jam yang telah ditetapkan sebelumnya. Maka beberapa kali pernah ada misa yang terpaksa tidak menggunakan musik karena pemain organnya terlambat datang atau tanpa koor di awal karena jadual petugas misa yang kacau. But, the show must go on.

Pelajaran soal ketepatan waktu juga pernah saya dapat di sekolah. Sekolah saya -swasta Katolik- sangat galak soal waktu. Gerbang sekolah saya dikunci pada satu jam pelajaran pertama. Selanjutnya ya silakan masuk, tapi tentu saja penilaian guru terhadap saya sudah berbeda. Saya sendiri cukup beruntung karena bekerja di tempat-tempat yang memperbolehkan karyawannya masuk kantor jam berapa saja asal tenggat waktu dipatuhi. Peraturan ini membuat saya tidak terlalu stres dengan soal transportasi.

Sulit membayangkan jika saya harus bekerja di kantor dengan jam-jam yang sudah ditentukan. Kembali ke kisah yang diceritakan teman saya tadi. Ngomelnya penumpang kereta di Depok karena keretanya berangkat tepat waktu adalah hal yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Jadi bagaimana dong seharusnya? Terlambat penumpang ngomel, tepat waktu eh..ngomel juga.

Menurut saya, ya biar saja penumpang ngomel. Pernah ada kejadian di feeder bus, seorang ibu bilang ke sopir bis, supaya menunggu suaminya yang sedang dalam perjalanan ke terminal. Heh...si ibu ini aneh-aneh aja. Kontan seluruh penumpang protes. Beruntung sopir bis tidak memihak ke ibu itu. Si ibu akhirnya mengalah dan terpaksa turun bis.

Ya..begitu memang seharusnya. Mestinya angkutan kita lebih egois, bukannya penumpang yang harus diikuti. Di Indonesia ini penumpang kelewat dimanja memang. Bisa berhenti semaunya dan ditunggu kedatangannya. Saya cuma bisa berharap ada lebih banyak lagi angkutan umum yang tepat waktu. Mungkin gak ya?





Tidak ada komentar: