Senin, 25 Juni 2007

Buku Pin Yathay


26 Juni 2007

Kemarin saya datang ke acara peluncuran buku di Bentara Budaya. Buku ini ditulis oleh Pin Yathay, seorang insinyur Kamboja yang berhasil lolos dari rezim Khmer Merah di tahun 1976. Buku berjudul Pertahankan Hidupmu Anakku ini berisi pengalaman pribadi Pin, juga buku kedua setelah sebelumnya ia meluncurkan L'Utopie Meurtriere (Utopi Berdarah) yang ditulis dalam bahasa Perancis. Kedua bukunya sama-sama mengungkapkan suasana mencekam di Kamboja. Setidaknya itu yang dituliskan oleh David Chandler dalam kutipan pengantar buku keduanya.

Saya sendiri belum membaca, saya kira kemarin saya dapat gratis buku itu dan ternyata tidak. Mau beli tidak cukup uang. Meski sudah didiskon. Ya sudah lain kali saja.

Yang menarik adalah acara diskusinya. Pembicaranya Hilmar Farid seorang sejahrawan muda yang cerdas dan Mugiyanto dari IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang). Mugiyanto merasakan peristiwa Pin sama dengan apa yang terjadi di Indonesia yaitu mengenai penghilangan paksa. Orang-orang Kamboja yang menolak Khmer Merah di bawa ke hutan dan kemudian tidak diketahui bagaimana nasibnya. Menurut Farid, penghilangan paksa ini menimbulkan efek teror yang lebih mengerikan dibanding dengan peristiwa di Rwanda dimana tentara membunuh warga secara demonstratif di jalanan.

Saya kok tidak begitu sependapat, bagi saya dua-duanya sama-sama mengerikan. Bedanya yang pertama saya melihat langsung, misalnya saudara saya dipancung di depan mata kepala saya sendiri. Saya tidak yakin apakah di lain hari saya masih menjadi manusia normal? Saya kira peristiwa itu teramat menyakitkan. Menimbulkan trauma yang luar biasa. Dan, bagaimana jika saya kehilangan saudara saya yang sampai sekarang saya tidak tahu kemana rimbanya? Negatifnya saya bisa menjadi pemurung karena hanya memikirkan nasibnya, imajinasi saya bisa kemana-mana, barangkali saudara saya dibunuh dengan kejam, atau langsung didor, ataukah disiksa terlebih dahulu? Jika disiksa, bagaimana bentuk penyiksaannya? Sungguh mengerikan. Positifnya, ya kalau itu bisa disebut positif, saya masih diperbolehkan berharap bahwa saudara saya masih hidup, bisa selamat dan sekarang hidup wajar. Mungkin kami akan bertemu kembali atau mungkin tidak.

Kedua-duanya sama-sama menyedihkan dan mengerikan, menurut saya.

Di tengah diskusi, ada seorang penanya yang mengkritik rakyat Kamboja itu penakut, kenapa tidak berani memberontak waktu itu? Heh..menurut saya ini kritik keterlaluan! Teganya dia berkata seperti itu. Kedua pembicara berusaha membela Pin. Mugiyanto mengatakan bahwa adakalanya seseorang berada pada situasi yang memang tidak bisa melawan. Sementara Farid mengatakan bahwa ketika itu yang terjadi adalah atomisasi. Berusaha menyelamatkan diri sendiri karena situasi memang kacau. Upaya untuk menegakkan solidaritas dan kebersamaan telah dimatikan oleh Khmer Merah.

Buat saya, tetep si bapak penanya itu yang keterlaluan dan tidak punya empati. Sudah dijawab, eh dia masih ngeyel. Pertanyaan yang sama dilontarkan dua kali.

Yang menarik adalah kalimat Farid di penghujung diskusi. Ia mengatakan bahwa meskipun banyak museum dan tugu peringatan dibangun, data dan dokumentasi dikumpulkan, dan pengadilan digelar; tetap saja tanggul dan sawah lah yang menjadi locus horribilis sesungguhnya - masih tetap menjadi bagian hidup sehari-hari. Imaji kengerian tetap membayang dan menghantui betapa pun orang memilih untuk tidak mengingatnya lagi.

Saya sepakat dengan ini. Seperti kalimat pembuka dalam film Osama (tentang kekejaman Taliban di Afganistan) yang saya tonton beberapa waktu lalu ada kutipan Nelson Mandela:
I can forgive, but not forget.


Tidak ada komentar: