20 Juni 1997
Semenjak saya tidak punya mobil, andalan saya adalan angkutan kota. Tapi ada banyak hal yang bisa saya pelajar dari berkendara dengan fasilitas publik ini. Terutama adalah bahwa pengalaman ini mengusik rasa sosial saya.
Pertama, saya merasa lebih menghargai uang. Bayangkan saja hanya dengan 2000 perak saya bisa melakukan mobilitas berkilo-kilometer jauhnya. Atau bahkan dengan 1500 perak -jika naik KRL ekonomi-, bahkan bisa lebih jauh lagi. Bandingkan dengan jika saya membawa mobil sendiri. Uang "segitu" rasanya tidak banyak berarti, buat parkir saja tidak cukup. Buat beli bensin, jaman sekarang minimal 25ribu perak. Pengalaman ini membuat saya kemudian belajar menyimpan uang dengan hati-hati dan lebih cermat. Seringkali koin-koin 500perak dan uang seribu bertebaran di rumah, entah di atas kulkas, di atas meja, di jendela, atau di atas rak. Kadang ketika saya hitung jumlah koin-koin itu jumlahnya bisa sekitar 5rb-an. Jika dihitung sebagai biaya perjalanan, wah, saya bisa melakukan mobilitas yang lumayan jauhnya. Dengan asumsi, pilihan angkot adalah moda transportasi massal berkelas ekonomi.
Kedua, saya melihat lebih banyak dan menjadi tahu lebih banyak. Mengapa begitu? Saya termasuk warga negara yang tidak alergi dengan berbagai macam jenis moda transportasi. Naik apapun hayo. Hampir semua pernah saya rasakan dari yang jenis taksi (untuk yang ini saya pilih merek demi keamanan- yaitu express atau bluebird), KRL (ekonomi dan ac), bis (bis kota reguler, patas non-ac, patas ac, feeder busway, busway), roda tiga (bajaj diesel, bajaj bensin/gas, bemo) hingga roda dua (ojek). Satu yang belum pernah saya nikmati yaitu kapal dari moda transportasi waterway karena masih sangat baru, tapi suatu saat saya ingin juga mencoba. O, ya monorail juga sebentar lagi akan jadi. Yang satu ini membuat saya tak sabar menunggu.
Kembali ke soal kita, menggunakan transportasi umum berarti membuat kita lebur ke dalam masyarakat, kita menjadi masyarakat kebanyakan. Banyak sekali yang sudah saya lihat, dan membuat saya tersadar bahwa Indonesia ini masih sangat perlu berbenah. Maksud saya adalah pembangunan buat mereka yang terpinggirkan. Saya tuliskan disini jenis mereka yang terpinggirkan itu seturut yang saya lihat di sepanjang perjalanan.
1. pengemis; ada yang dengan luka nanah berbau busuk menyengat, ada yang bawa bayi dengan payudara menjuntai, ada perempuan bawa bayi tapi dengan susu botol atau cuma diisi air (barangkali bayi pinjaman), ada perempuan gemuk dan tegap yang gandeng laki-laki buta (barangkali suaminya atau sekadar sebagai alat), ada anak umur sekitar 5 atau 6 th yang bawa-bawa patahan sapu sekadar bersih-bersih kereta, ada juga abg cowok yang nggak ngomong apa-apa tapi langsung nyodorin tangan minta uang, juga ada yang ngaku-aku habis lepas dari penjara dan butuh uang, ada juga yang ngaku bapaknya lagi di rumah sakit dan perlu operasi.
2. pengamen; ada pengamen puisi, pengamen cerita anak (saya salut juga, kok ya darimana idenya bacain cerita dari selembar kertas lusuh kalau nggak salah tentang semar gareng petruk dan si kuncung), pengamen lagu (dari lagu jawa, sunda (kalau yang bagus suaranya bikin ngantuk), betawi, pop, dangdut, keroncongan, rohani-bisa kristen, bisa islam). Favorit saya adalah rombongan pengamen yang mangkal di pasar serpong. Mereka membawa peralatan komplit, biola, gendang, dan gitar. Lagu-lagunya biasanya dangdut punya Roma Irama yang dinyanyikan hanya sekali tapi sangat rapi pembawaannya - sepertinya mereka sering berlatih. Kabarnya mereka anak-anak dari sanggar akar yang bermarkas di Tangerang.
3. peminta sumbangan; untuk pembangunan mesjid atau sekolah anak yatim piatu dengan modal kotak kayu, amplop, atau fotokopian yang sudah lusuh.
Barangkali bagi banyak pengguna transportasi umum lainnya, apa yang saya lihat ini adalah pemandangan biasa. Dan, memang itulah yang lama-lama saya rasakan. Saya menjadi terbiasa. Karena menjadi terbiasa kemudian saya tidak memikirkannya lagi. Sepanjang perjalanan melakukan aktivitas ringan-baca buku, merajut, melamun, memikirkan ide-ide baru, bersenandung. Jika berangkat kerja saya memikirkan apa yang akan saya lakukan nanti di kantor, jika pulang kerja saya akan memikirkan anak saya yang sedang menunggu di rumah. Terkadang saya memang mencari-cari ide baru atau gagasan-gagasan yang kiranya bisa dituangkan jadi tulisan atau jadi bahan penelitian. Yang tentunya harapan saya adalah akan menambah pemasukan. Yang kemudian direncanakan adalah saya akan membeli sesuatu dari uang itu atau melakukan sesuatu seperti liburan atau sekadar mengajak anak saya jalan-jalan.
Apakah saya terpikir untuk melakukan sesuatu untuk mereka yang saya tulis tadi?
Tentu saja tidak! Saya akan berpikir bahwa saya ini hanyalah warga negara biasa yang tidak pada tempatnya memikirkan hal itu. toh, ada Dinas Sosial, toh ada pemerintah daerah, toh, ada tramtib yang seharusnya memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mereka.
Saya ingat ada seorang pengusaha kerajinan Yogya yang mendirikan semacam yayasan untuk menampung anak-anak yang dia temui di setiap perempatan jalan. Ide itu muncul setelah ia pulang dari Jerman dan terkaget-kaget melihat banyaknya anak jalanan di Yogya. Ia kemudian menampung mereka dan memberi pelatihan berbagai kerajinan tangan. Pendapatan dari penjualan itu digunakan untuk membiayai hidup mereka. Panti tempat menampung anak-anak jalanan itu terletak di belakang rumah utama. Jaraknya hanya lima meter saja. Mirip seperti panti asuhan lainnya, isinya tempat tidur susun berderet rapi. Tak jauh dari bangunan itu ada bengkel kerja. Isinya sedikit berantakan, ada berbagai barang kerajinan di sana baik yang sudah selesai maupun yang masih dalam proses. Kebanyakan adalah barang-barang dari tanah liat yang kemudian diberi modifikasi. Nampak pula beberapa tukang yang tengah menyelesaikan bangunan baru - rupanya akan ada perluasan karena bangunan yang lama dirasa kurang besar untuk menampung anak-anak yang jumlahnya makin bertambah.
Saya ketika itu hanyalah staf redaksi yunior dari sebuah terbitan berkala untuk kalangan sendiri yang diberi tugas untuk membuat tulisan tentang anak yang terbuang. Seingat saya, saya datang tiga kali ke sana. Pertama untuk janjian wawancara, kedua untuk bertemu dengan anak-anak, dan ketiga saya lupa untuk apa, barangkali untuk menyerahkan hasil tulisan atau untuk bertemu isterinya. Isterinya seorang Jerman yang tengah hamil tua. Wajahnya nampak muram, kusut dan terlihat letih.
Usai wawancara saya duduk sebentar di teras belakang untuk menikmati secangkir teh dan hidangan ala kadarnya. Sang isteri menemani saya karena suaminya sedang tak di rumah. Tanpa saya duga, ia menawari saya pekerjaan sebagai staf yayasan. Ia menceritakan bahwa pekerjaan di rumah sungguh banyak, dari mengurus tukang hingga anak-anak. Ia harus memasak untuk mereka dan mengecek sekiranya ada yang diperlukan. Selain itu ia juga harus mengurus soal pendanaan dari luar negeri. Semua ia urus sendiri, sementara suami sibuk bepergian untuk memasarkan produk kerajinan. Dengan kondisi hamil tua, saya bisa memaklumi keluhannya.
Begitulah, ia menawari pekerjaan sebagai staf di yayasan tersebut dengan gaji 30rb sebulan. Ketika itu memang saya belum memiliki pekerjaan tetap, kerja di majalah internal ini cuma sebulan sekali dengan bayaran ala kadarnya. Saya sempat bimbang, tapi di tahun-tahun itu gaji fresh graduate macam saya seharusnya 400-500ribu sebulan. Gaji yang ditawarkan jauuuuh lebih sedikit, meskipun saya paham ini kerja sosial. Saya mempertimbangkan juga soal lokasi yang lumayan jauh dari rumah. Aduuh, dengan halus saya menolak. Ketika itu saya benar-benar mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan pemasukan yang lumayan karena saya ingin membantu keluarga.
Selang sekitar satu bulan dari hari itu saya dikejutkan oleh berita di koran lokal. Isteri pengusaha itu bunuh diri pagi hari di kamar mandi dengan cara minum baygon. Perasaan saya kacau. Sungguh, saya merasa menjadi bagian dari peristiwa itu. Ada perasaan bersalah dalam hati saya. Seandainya saya menerima tawaran itu barangkali kejadian itu tidak akan pernah terjadi. Atau seandainya saya sekadar membantu untuk sementara sambil saya cari kerjaan, kan bisa meringankan beban pikirannya?
Sampai sekarang kejadian ini masih terus melekat di benak saya. Ironi menurut saya. Ini pengalaman yang menurut saya orang harus mampu membantu dirinya sendiri jika berniat membantu orang lain. Idealisme yang muncul kurang diimbangi dengan kemampuan materiil. Memang sih ada satu dua orang yang mampu membantu orang lain hingga mengesampingkan dirinya sendiri. Kebanyakan mereka yang berkegiatan di bidang sosial adalah orang-orang yang mampu. Setidaknya ini berdasarkan pengalaman saya mengamati perilaku teman-teman. Mereka yang aktif di LSM ataupun organisasi non-profit lainnya adalah mereka yang berasal dari keluarga mampu. Atau setidaknya memiliki materi yang cukup untuk menyokong kegiatan sosialnya. Para tokoh LSM rata-rata memiliki gaya hidup yang khas. Terkadang dari sekadar penampilan fisik saja sudah terlihat.
Bagaimana dengan saya sendiri? Saya memang lebih nyaman bekerja di organisasi non-profit. Tapi saya tidak memiliki kecukupan materi untuk mendukung kinerja saya menjadi optimal. Pergerakan saya terbatas karena saya tidak punya moda transportasi sendiri. Juga karena saya perempuan yang sudah beranak. Jika menggunakan fasilitas umum, tentunya taksi jadi pilihan jika hari sudah terlalu malam. Tapi untuk naik taksi jika sering-sering, jelas tidak mampu saya. Bisa-bisa susu anak jadi tidak terbeli. Sekarang saja saya merasa kewalahan karena sering nombok pengeluaran kantor.
Ironi lagi. Saya merasa ingin melakukan sesuatu untuk mereka yang saya lihat di sepanjang perjalanan. Tapi saya tidak mampu. Saya gemas dengan pemerintah, gemas dengan koruptor. Seharusnya dana untuk membuat mereka hidup lebih nyaman itu ada. Dana yang bukan sekadar kado sinterklas, tapi yang membuat mereka menjadi sosok manusia yang mandiri dan eksis di masyarakat. Tiba-tiba saya jadi ingat diskusi saya ketika SMA. Di hari peringatan 17 Agustus 1986 itu saya memberi judul makalah presentasi dengan "Satu Kata Merdeka buat Mereka". Yang dimaksud mereka di sini memang adalah kelompok marjinal ya salah satunya adalah mereka yang saya sebut di awal tadi.
Dan sampai kini pun judul makalah itu masih patut saya pertanyakan sendiri, apakah mereka itu sudah menikmati kata merdeka? Sudah mengecap pembangunan? Sudah menjadi bagian dari pembangunan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar