Minggu, 10 Juni 2007

Hau

11 Juni 2007

Saya menemukan kata "hau" dalam buku An Invitation to Environmental Sociology karya Michael Mayerfeld Bell. Hau adalah salah satu elemen kebijakan yang ada di suku Maori, New Zealand. The social spirit that attaches to gifts. Semisal begini, A mendapatkan benda dari B, jika A kemudian memperoleh keuntungan (bisa berupa finansial atau material atau yang lain) dari benda tersebut. Maka A sebaiknya membagi keuntungan tersebut dengan B. Jika tidak maka A akan mendapatkan kesialan yang berat, bisa jadi berupa kematian. "This is he nature of the hau, the hau of personal property, the hau of the gift, the hau of the forest...", kata Tamati Ranaipirir, salah satu orang bijak dari suku Maori.

Kata hau itu sendiri secara harafiah berarti "angin" dan "semangat". Persis seperti kata spirit dalam bahasa Latin yang berarti "angin" dan "semangat".

Hau menjadi pengikat yang terus mengikuti pergerakan benda yang diberikan dari A ke B, atau mungkin bisa ke C atau D, dan seterusnya. Seorang antropolog, Marcell Mauss menyatakan "this represents an intermingling. Souls are mixed with things; things are mixed with souls". Jika diterapkan di masa kini, artinya kira-kira menjadi jangan pernah meremehkan pemberian orang lain; juga jangan melupakan si pemberi karena dengan menerima pemberian orang lain jiwa kita sudah terikat dengan mereka - dengan barangnya ataupun pemberinya. Ada momen yang tidak boleh dilupakan. Momen kebaikan dan barangkali ada alasan kenapa seseorang memberikan sesuatu pada kita.

Di masyarakat modern, apakah tradisi macam ini ada? Ya. Coba kita renungkan, apakah kita memiliki barang-barang yang menimbulkan kenangan? Tentunya ada banyak. Atau ketika kita menghadiri acara perkawinan, ada pernak pernik ucapan terima kasih yang kemudian bisa dijadikan pajangan atau bisa juga fungsional jadi gantungan kunci atau bukaan botol atau kipas. Beberapa tahun kemudian ketika kita sadar kita mengingat "ooh...ini dari si anu..yang ini dari si itu...". Jika kita mau merenungkan sejenak; pasangan pengantin itu berniat berbagi momen kebahagiaan dengan kita. Momen saat cinta antara mereka berdua tengah merekah dan kemudian terikat dalam tali perkawinan. Bukankah momen yang sangat indah dan layak untuk dibagi? Meskipun hanya sebentuk barang yang nilainya tak seberapa.

Saya sendiri punya pengalaman untuk hal ini. Ketika pulang ke rumah di Yogyakarta, saya selalu terkesan melihat meja belajar saya ketika SMA dulu. Meja belajar saya itu penuh tempelan stiker. Stiker itu hasil karya kami - se gank. Desainnya khas tahun 80-an, agak norak. Isinya cuma nama-nama kami segank. Setiap kali saya melihat stiker itu memori saya berjalan mundur ke belakang, mengingat masa-masa jaman SMA. Masa-masa produktif - bandel, aktif di kegiatan sekolah, pacaran, dan berprestasi. Sampai kini saya masih berhubungan dengan beberapa dari mereka. Stiker itu menjadi semacam pemercik yang mengingatkan saya akan masa muda saya, masa-masa penuh energi. Menjadi pengikat hubungan saya dengan teman-teman se-gank.

Menurut Bell, barang-barang semacam stiker norak saya itu ataupun ucapan terima kasih tadi bukan sekadar "benda mati" yang pada waktu itu barangkali untuk gagah-gagahan atau untuk menunjukkan bahwa si pasangan mampu memberi ucapan terima kasih yang mahal. They are also the means by which we remind ourselves, and indeed even create, the web of sentimental ties that help support our feelings of social communion.

Indah bukan?

Tidak ada komentar: