Kamis, 07 Juni 2007

Realist vs Konstruksionist


6 Juni 2007

Inilah perseteruan yang barangkali tak akan ada habisnya. Kadang membuat permasalahan lingkungan tak kunjung terselesaikan; sementara korban sudah benar-benar kepayahan dan kerusakan terus menjadi tak kunjung reda.

Menurut para penganut realisme (kaum realist) permasalahan lingkungan tidak bisa dipahami terpisah dari ancaman-ancaman yang ada dalam hubungan-hubungan ekologis yang dimiliki masyarakat. Mereka percaya bahwa para ilmuwan sosial bisa menderita jika menolak kebenaran materiil dalam permasalahan lingkungan (the materiil truth of environmental problems). Para penganut konstruksionisme (kaum konstruksionist) tidaklah sependapat; mereka lebih menekankan pada pengaruh kehidupan sosial pada bagaimana kita mengkonseptualisasikan "ancaman-ancaman" tersebut atau kekurangan "ancaman-ancaman" tersebut. Kaum konstruksionist memfokuskan pada asal muasal ideologi permasalahan lingkungan - termasuk pendefinisian mereka terhadap masalah (atau sebagai bukan masalah).

Misalnya saja, kaum realist berpendapat bahwa lubang ozone adalah konsekuensi dari bagaimana kita mengorganisir kehidupan sosial. Kaum konstruksionist berpendapat alih-alih mengakui bahaya - atau bahkan keberadaan - dari lubang ozone tersebut, kita harus menggunakan kacamata ideologi dan budaya yang sesuai terlebih dahulu.

Pendek kata, perdebatan kaum realist dan konstruksionist adalah tentang penjelasan materialis vs idealist terhadap suatu permasalahan lingkungan. Mirip dengan perdebatan antar orang buta yang disuruh mengatakan seperti apakah binatang gajah melalui rabaan tangan.

What we believe depends on what we see and feel, and what we see and feel depends on what we believe.


Seperti apakah bentuk gajah itu yang sebenarnya? Semua orang buta harusnya duduk bersama dan saling membicarakan apa yang mereka rasakan dan mereka pikirkan. Dialog antar mereka yang tak sependapat seharusnya terjadi. Inilah yang disebut dengan ecological dialogue - the never ending dialogue.

Menurut saya, masing-masing orang buta harus duduk dan membicarakan hasil rabaan dan apa yang mereka pikirkan. Masing-masing harusnya memiliki sekeping puzzle agar bisa diperoleh gambar yang utuh. Atau barangkali ada proses hibridisasi. Ada yang saling melengkapi atau menambah. Sehingga kita punya alat baru untuk memandang sekaligus memecahkan persoalan lingkungan bersama-sama.

Ambil contoh kasus Lapindo. Kaum realist akan berpendapat lumpur mengalir karena kesalahan manusia yang melakukan pengeboran. Selanjutnya harus ada penanganan secara hukum. Harus ditindak. Para korban seharusnya memperoleh gantirugi sesuai yang diharapkan. Pencegahan agar di masa depan tidak ada kasus yang sama adalah: penguatan SDM agar didapat teknisi yang lebih handal serta peraturan yang lebih ketat dan tegas baik untuk mengatur teknis kegiatan perusahaan dalam melakukan pengeboran ataupun peraturan pemerintah yang lebih tegas lagi untuk menindak perusahaan yang teledor.

Kaum konstruksionist berpendapat lain. Permasalahan lapindo disebabkan oleh adanya kapitalisme yang menyebabkan para pengusaha melakukan nepotisme (Bakrie brothers) demi memperoleh keuntungan. Kapitalisme menjadi pangkal penyebab ekstraksi sumberdaya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Pencegahan agar kasus yang sama tidak terulang adalah jangan menggunakan kapitalisme tapi sosialisme. Sumber daya alam harusnya digunakan untuk kemaslahatan bersama, bukan milik segelintir orang. Sumberdaya alam adalah milik bersama dan hendaknya menjadi tanggung jawab bersama pula. Pendidikan untuk melestarikan sumberdaya alam sangatlah penting. Kegagalan dalam melestarikan sumberdaya alam adalah juga kegagalan pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang baik bagi rakyatnya.

Yang mana Anda? Saya sendiri cenderung mengidentifikasikan diri sebagai kaum konstruksionist.



Tidak ada komentar: