Selasa, 26 Juni 2007

Presiden Turun Gunung


27 Juni 2007

Ada dua berita soal Presiden SBY yang menarik perhatian saya hari ini. Pertama, soal Presiden berkantor di Sidoarjo; kedua, Presiden akan meresmikan rel ganda Tanah Abang-Serpong. Menurut saya, kedua peristiwa itu memiliki benang merah; soal apa yang bisa dilihat dan tidak bisa dilihat seorang Presiden.

Yang pertama, yang kemudian diistilahkan sebagai 'turun gunung'. Setelah mendengar paparan para korban Lapindo di Cikeas beberapa hari lalu SBY merasa harus datang dan melihat sendiri kehidupan di Sidoarjo. Bahkan, menurut kabar, SBY menangis mendengar derita para korban. Saking empatinya, SBY kemudian mengemasi barang-barangnya dan berangkatlah ia ke Sidoarjo dan berniatkan untuk berkantor di Surabaya. SBY memilih mes perwira Angkatan Laut yang menurut media dijaga superketat. SBY datang dengan serombongan pejabat elite. Kemarin, SBY memang meninjau lokasi, tapi dengan menggunakan helikopter. Menurut KoranTempo (27/7) kegiatan SBY ini diprotes korban Lapindo karena yang diinginkan adalah SBY menengok langsung ke lokasi. Dan ketika helikopter mendarat, hanya terlihat sekerumunan warga Porong menyambut. Yang lainnya lebih memilih nonton lomba karaoke dangdut yang diadakan Kepolisian Resor Sidoarjo. Penduduk yang diwawancara KoranTempo mengungkapkan kekecewaannya "Percuma, paling cuma janji doang". Yang lainnya mengungkapkan kalimat senada, "Sudah banyak pejabat datang cuma tebar pesona".

Itu tadi soal peristiwa pertama.

Yang kedua, adalah rencana peresmian rel ganda Tanah Abang-Serpong. Sudah sejak kemarin
Kompas memuat berita tentang derita para penghuni gubuk liar di sekitar rel yang terpaksa mengungsi karena gubuk mereka dibongkar tramtib. Hari ini, Kompas memuat lagi sekilas tentang satu malam yang mereka lewatkan beratapkan langit. Seorang anak kecil nampak tak bisa tidur tenang karena digigit nyamuk. Ya, Presiden mau lewat sehingga pinggiran rel harus bersih dan rapi.

Dari dua peristiwa tadi, persamaannya adalah soal apa yang terjadi ketika Presiden berada di tengah rakyat. Saat ketika Presiden turun gunung. Yang pertama untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya. Untuk menyaksikan penderitaan rakyatnya yang tertimpa bencana. Pemerintah pun memfasilitasi dengan menyediakan helikopter agar Presiden bisa melihat lebih jelas.

Sementara yang kedua, untuk melihat apa yang sebenarnya tidak terjadi. Presiden akan melewati jalur kereta yang terletak di lokasi kumuh. Pemerintah memfasilitasi perjalanan dengan cara menggusur hunian liar agar Presiden tak melihat betapa kumuhnya daerah sekitar stasiun Tanah Abang.

Paradoks.

Apa yang ingin dilihat? Penderitaan macam apa yang ingin dirasakan Presiden? Siapa sebenarnya yang berhak menentukan apa yang bisa dilihat dan apa yang tidak bisa dilihat seorang Presiden? Barangkali memang bukan salah sang Presiden semata. Saya kok cenderung menuduh pada sekelompok invisible hands dengan mata licik dan terus mengikik jika sedang merencakan sesuatu (tiba-tiba mengingatkan saya pada tokoh coyote jahat di film-film kartun dengan matanya yang merah menyala licik). Gerombolan ini ada di hampir setiap pemerintahan. Penuh tipu muslihat, haus kekuasaan dan pemburu materiil.

Di jaman Orde Baru, pemerintah pernah membuat program kunjungan mendadak, yang biasa disebut sidak (saya lupa apa kepanjangannya). Sampai sekarang program ini cukup efektif untuk melihat penyimpangan yang terjadi di lapangan. Biasanya dilakukan sesudah libur panjang untuk melihat apakah para pegawai negeri mematuhi tanggal masuk kantor, atau di pasar melalui 'operasi pasar' untuk melihat harga riil komoditas tertentu di pasar tradisional.

Namun, hanya sebatas itu. Kegiatan berkunjung secara mendadak nampaknya hanya terbatas pada apakah suatu peraturan dipatuhi ataukah tidak. Kunjungan mendadak ini juga belum mampu membuka mata para pejabat soal penderitaan rakyat yang sebenarnya.

Saya gemas. Saya berharap para pejabat itu benar-benar turun ke jalan. Merasakan sengat matahari dan semburan debu.

Tidak ada komentar: