6 Juni 2007
Dapat cerita dari suami, di harian Media Indonesia ada cewek nyilet-nyilet wajah cewek lain gara-gara cemburu. Di kantor polisi si cewek sadis ini bilang dapat ide dari sinetron. Katanya pernah liat adegan yang sama, kok kayaknya keren. Si cewek ini kabarnya juga keluar dari SMP karena dapat inspirasi dari sinetron. Katanya mau kerja aja buat beli hape karena di sinetron semua ceweknya pada punya hape bagus-bagus. Kan keren punya hape kayak sinetron.
Alamak!
Sebegitu inspiratifnya sinetron itu. Sampai si penonton tak bisa menyaring mana yang baik mana yang tidak. Tapi nurut aja apa yang ada. Siapa yang patut dipersalahkan? Si pembuat sinetron? Manajemen TV swasta? Orangtua si cewek? Guru-guru si cewek? Teman-teman si cewek? ato Pemerintah, karena tak memberikan lingkungan yang sehat bagi rakyatnya? Kalau pemerintah, pemerintah yang mana? Bagaimana kalo kita lantas menyalahkan si cewek sadis itu? Bisakah kita menyalahkan dia? Kasihan....kalo menurut saya. Dia itu korban juga. Itu menurut pandangan saya. Kok bisa dia jadi sebodoh dan sepicik itu sampai nggak bisa jadi dirinya sendiri.
Kehidupan semu yang dipertontonkan oleh media massa telah sedemikian memanipulasi kehidupan pribadinya sendiri. Sampai ia tak punya memiliki kepribadiannya sendiri.
Siapa yang bertanggung jawab pada pendidikan kepribadian anak? Orang tua tentu. Keluarga. Sesudah itu pendidikan sekolah. Sisanya diharapkan bisa disaring oleh si anak itu sendiri seiring dengan perjalanannya menuju kedewasaan. Saringan itulah yang seharusnya dipintal dan dijalin oleh orangtua dan keluarga plus pendidikan sekolah.
Saya termasuk yang percaya bahwa semua hal bermula dari keluarga inti. Meski ada juga satu dua peristiwa yang tidak sejalan dengan teori saya ini. Misalnya, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan penjahat. Apakah dia akan dengan sendirinya menjadi penjahat? Belum tentu.
Orang tua adalah dasar buat anak. Itu nomer satu. Tapi keluarga juga pegang peran. Konsep keluarga bisa diperluas menjadi mereka yang menjalin hubungan intens dengan si anak. Jadi bukan cuma ayah, ibu, kakak, adik, tante, om, eyang, atau sepupu. Di lingkungan anak panti asuhan, konsep keluarga tak cuma direduksi oleh mereka yang memiliki ikatan darah semata. Konsep keluarga berkembang menjadi mereka yang memiliki ikatan kepercayaan yang teguh satu sama lain. Antar anggota keluarga memiliki nilai-nilai yang saling dianut teguh. Nilai-nilai yang menurut mereka mampu menjadi pegangan hidup, mampu menyelamatkan mereka dalam keterpurukan, mampu memberi kebahagiaan, mampu memberikan rasa nyaman. Ini terlepas dari baik atau buruk nilai itu menurut pandangan umum.
Buat saya, sebagai ortu, saya ingin anak saya mendapatkan keluarga dengan nilai-nilai yang sama atau lebih baik dari yang diajarkan ortu nya. Dan, saya, darimana saya dapatkan nilai-nilai untuk ditularkan ke anak? Yang pasti adalah agama, meskipun akhir-akhir ini kritik terhadap ajaran agama sangat gencar. Buat saya, agama adalah tempat yang nyaman untuk sejenak mengasingkan diri dari hingar bingar. Yang lainnya adalah pelajaran budi pekerti dari ortu saya, turun temurun. Paling tidak, saya berusaha memintal saringan buat anak.
Dan itulah pekerjaan yang tidak akan pernah selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar