21 Juni 2007
Judul blog ini saya kutip dari hasil wawancara Ruth Benedict, tokoh antropologi budaya yang sudah almarhum yang diterbitkan dalam bukunya yang terkenal Patterns of Culture (1934). Wanita cantik ini melakukan wawancara dengan seorang kepala-suku Indian-Penggali bernama Ramon untuk mencari tahu mengenai adat kebiasaan suku Indian-Penggali.
Ramon beragama Kristen yang juga dikenal sebagai ahli penanam pohon persik dan tanaman abrikos (rosaceae). Ramon sangat suka bercerita soal makanan yang diolah dari tanaman gurun yang dipetik dengan kasih sayang karena menyadari pentingnya keberadaan tanaman itu bagi sukunya. Ramon sangat tidak menyukai makanan dalam kaleng yang kini dengan mudah dapat diperoleh di tukang daging karena dianggap memerosotkan tabiat bangsanya.
Pada suatu hari, Ramon tiba-tiba menghentikan ceritanya tentang cara melembutkan mesquite (semacam kacang) dan cara membuat sop biji pohon oak. Kemudian berkatalah ia tanpa ada perubahan tekanan suara: "Mula-mula Tuhan memberi sebuah cawan, cawan dari tanah, kepada setiap bangsa. Dan dari cawan tersebut mereka minum hidupnya. Mereka mencobai air itu. Akan tetapi cawannya tidak sama. Cawan kita sekarang pecah. Cawan itu sudah tidak ada lagi".
Ruth menerjemahkan kalimat-kalimat Ramon ini sebagai berikut: Hal-hal yang memberi makna kepada hidup Indian-Penggali, tatacara makan di rumah, kewajiban-kewajiban berdasarkan sistem ekonominya, serangkaian upacara di dusun, saat kerasukan ketika melakukan tarian-tarian beruang, norma tentang baik dan buruk - semuanya telah hilang dan hilanglah pula bentuk dan makna hidup mereka.
Menurut Ruth, Ramon barangkali tak bermaksud mengatakan bahwa bangsanya telah musnah. hanya saja dalam pikirannya terbayang kehilangan sesuatu yang sama nilainya dengan hidup itu sendiri; yakni keseluruhan dari norma-norma dan kepercayaan bangsanya. Memang, tulis ruth, masih ada cawan-cawan lain yang berisi air hidup dan mungkin airnya sama saja, akan tetapi apa yang telah terjadi itu tak bisa dibetulkan lagi. Kita tak bisa menambah sepotong di sini dan mengurangi sepotong di sana. Bentuknya hakiki, satu dan tak bisa dipecah-pecah. Dan, lagi cawan itu adalah cawan mereka sendiri.
Ini adalah soal keprihatinan generasi sebelumnya terhadap kehidupan masa kini. Keprihatinan akan hilangnya kebudayaan yang selama ini dijunjung tinggi, terkikis oleh kebudayaan baru. Oleh apa yang generasi sekarang sebut sebagai modernisasi. Menjadi modern bila mengkonsumsi makanan kaleng yang mungkin dirasa lebih praktis ketimbang mencari tanaman di gurun.
Peristiwa ini menurut saya sangat mungkin akan terus terulang. Satu kebudayaan bisa tergerus oleh kebudayaan yang baru. Keprihatinan demi keprihatinan akan terus bermunculan. Saya pun mulai merasakan hal yang sama. Umur mulai beranjak, anak saya sudah lahir, zaman bergulir, banyak perubahan di sekitar saya. Terkadang, saya kangen masa lalu. Kangen makanan tradisional yang makin jarang dijumpai macam gerontol (jagung rebus yang ditaburi gula dan parutan kelapa), pecel keong mas, cui (ini saya tidak tahu dari apa, tapi bentuknya seperti jongkong dan warnanya oranye). Saya juga kangen mainan gudir (semacam agar-agar tapi tidak bisa dimakan) yang harus dibikin sendiri dari buah (saya lupa namanya tapi persis seperti buah flamboyan yang sudah hitam, kulitnya lah yang diperas-peras di air kemudian disaring, air saringannya didiamkan sebentar dan jadi persis seperti agar-agar).
Jaman sekarang mainan anak-anak instan semuanya. Beberapa mainan anak laki yang ingin saya ajarkan pada anak saya sulit dicari. Senang rasanya masih bisa lihat mainan tradisional itu dari serial si Bolang di teve 7. Ada meriam bumbung yang terbuat dari bambu besar yang kemudian direkayasa sedemikian rupa jadi meriam. Atau main tulup pake peluru karuk (kuncup bunga jambu), atau kertas atau lempung. Tulupnya dibuat dari bambu kecil. Tapi nyatanya anak saya lebih tertarik pada kabel listrik, pada cd, dan pada komputer.
Saya berusaha memperkenalkan anak saya pada alam. Saya ajak dia berkebun, saya ajak ke kebun raya, saya perlihatkan film-film David Attenborough. Saya biasakan dia nonton si Bolang. Nyatanya dia lebih tertarik pada serial si Unyil yang berkunjung ke pabrik-pabrik. Tadi pagi saya perlihatkan film David Attenborough tentang tanaman dan serangga, tapi cuma sebentar kemudian dia tinggal.
Soal musik. Karena saya penyuka jazz, saya belikan kaset "jazz for kids" untuk anak saya. Tidak semua dia suka, tapi anak saya sangat menyukai kaset spirogyra "love and other obsession", juga dia menyukai lagu-lagu klasik karena saya belikan khusus untuk dia, "classics for babies". Sekarang anak saya memang jadi suka menyanyi, tapi favoritnya adalah lagu bertempo cepat macam lagu ska tip-ex dan lagunya project pop yang terbaru (saya lupa judulnya metal vs....). Beberapa lagu pop dia juga suka. Nonton MTV Ampuh adalah kegemarannya.
Saya sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi ya..tidak semuanya diterima. Mungkin inilah pergeseran generasi. Saya punya keinginan agar ada yang bisa ditularkan, ada kebiasaan yang bisa saya wariskan ke anak saya. Tapi saya harus merelakan mereka menyaringnya. Barangkali mereka hanya akan sekadar tahu atau barangkali mereka akan memodifikasinya sesuai kebutuhan jamannya. Dan yang lama kemudian menjadi sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar